Sunday, May 24, 2009

Jargon Pertengkaran antara Atasan dan Bawahan

Oleh Marsigit

Orang tua berambut putih:
Hemm indah betul dunia itu. Semakin diungkap semakin banyak pula yang tidak aku tahu. Kenapa aku tidak bisa istirahat? Ancamannya adalah mitos. Tetapi diperbatasan sana aku telah menemukan bahwa mitos itu logos, dan logos itu mitos, tidak itu iya dan iya itu tidak, awal itu akhir dan akhir itu awal, berubah itu tetap dan tetap itu berubah, atasan itu bawahan dan bawahan itu atasan,...dst. Tetapi aku sekarang sedang melihat para jargon telah menguasai dunia. Maka aku sedang menyaksikan bahwa dunia itu jargon dan jargon itu dunia. Samar-samar aku melihat di kejauhan ada pertengkaran antara jargon atasan dan jargon bawahan. Wahai jargon atasan dan jargon bawahan dengarlah diriku sebentar. Mengapa engkau kelihatannya sedang berselisih. Jargon atasan kelihatan sangat ganas dan kejam, sedangkan jargon bawahan kelihatan sedang bersedih dan rendah diri. Bolehkah aku mengetahui pokok persoalannya?

Jargon atasan:
Wahai orang tua berambut putih. Kenalkanlah aku adalah jargon atasan. Sebenar-benar jargon itu adalah milikku. Maka tiadalah selain diriku dapat mengaku-aku memiliki jargon. Barang siapa selain diriku mengaku-aku memiliki jargon, maka akan aku binasakan mereka itu. Maka saksikanlah wahai orang tua berambut putih, dengan lantang dan dengan penuh hikmat dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya aku proklamasikan bahwa jargon itu tidak lain tidak bukan adalah diriku. Jargon itu adalah kuasaku, jargon itu adalah jiwaku. Jika tidak ada jargon pada diriku maka tiadalah diriku itu. Maka beritahukanlah kepada bawahan agar jangan sekali-kali mengklaim memiliki jargon. Jika para bawahan tetap teguh pendirian maka dengan bengisnya aku akan hadapi mereka semua.

Jargon bawahan:
Wahai orang tua berambut putih. Kenalkanlah aku adalah jargon bawahan. Saya menyadari bahwa jargon para atasan itu begitu kuat dan mengerikan bagiku. Tetapi ketahuilah bahwa sebenarnya diriku juga berhak mempunyai jargon. Maka perkenankanlah bahwa diriku juga memiliki jargon. Maka saksikanlah wahai orang tua berambut putih, serendah-rendah dan sekecil-kecil diriku, maka aku itu sebetulnya adalah jargon juga. Jargon itu pelindungku. Jargon itu jiwaku. Jika tidak ada jargon pada diriku maka tiadalah diriku itu. Maka beritahukanlah kepada atasan agar menyadari bahwa diluar dirinya itu sebetulnya terdapat jargon diriku. Itulah sebenar-benar dan sebesar-besar ancaman bagi diriku, yaitu jargon para atasan. Ketahuilah tiadalah atasan itu jika tidak ada bawahan.

Orang tua berambut putih:
Wahai jargon atasan. Supaya aku lebih mengerti tentang dirimu, maka ceriterakanlah tentang dirimu itu kepadaku. Siapakah dirimu, bagaimana dirimu, macam-macam dirimu, tujuan dirimu, dst.

Jargon atasan:
Terimakasih orang tua berambut putih. Aku adalah jargon atasan. Jikalau emosiku sudah terkendali maka aku dapat bercerita banyak tentang diriku kepadamu. Sebetul-betul yang terjadi tadi adalah aku telah sedikit berbohong kepadamu. Aku sebetulnya mengetahui bahwa jargon itu bukan hanya milikku, tetapi bawahan pun mempunyai jargon. Tetapi ini off the record, jangan sampaikan kepada bawahan. Mengapa? Karena jika engkau katakan hal ini kepada bawahan maka kedudukanku sebagai atasan akan terancam. Ketahuilah bahwa setinggi-tinggi tujuanku adalah menjadi atasan yang kuat, yaitu sebear-benar atasan. Dalam rangka untuk mencapai tujuanku sebagai atasan sejati maka aku harus mengelola semua bawahan sedemikian rupa sehingga semua bawahanku itu terkendali dan dapat sepenuhnya aku kuasai. Maka aku melakukan segala daya dan upaya termasuk menggunakan jargonku agar bawahan selalu dapat aku kuasai. Sebenar-benar ancaman bagi diriku di dunia ini adalah jargon-jargon para bawahan. Maka aku sangat sensitif terhadap jargon para bawahan. Dari pada jargon bawahan menimbulkan masalah bagi diriku, maka lebih baik aku binasakan saja sebelum mereka lahir ke bumi.

Orang tua berambut putih:
Maaf jargon atasan, saya belum begitu jelas dengan uaraian-uraianmu itu. Dapatkah engkau memberikan contoh konkritnya. Jika perlu silahkan para mu menyampaikan kepadaku.

Jargon atasan :
Wahai orang tua berambut putih. Kenalkanlah saya adalah jargon atasan. Mulanya biasa saja bagi diriku, ketika aku sebagai bawahan. Tetapi kemudian tidak biasa bagi diriku ketika aku, entah kenapa, bisa terpilih sebagai atasan. Ketika aku menjadi atasan maka aku merasakan seluruh tubuhku bergetar dan bergemuruh mengalami perubahan jargon. Tadinya aku sangat menyayangi jargon-jargon ku sebagai bawahan. Maka setelah aku menjadi atasan aku mulai kehilangan jargon bawahan, dan kemudian mulailah aku di dominasi oleh jargon atasan. Ketahuilah bahwa dalam rangka untuk mempertahankan diriku sebagai atasan, maka aku telah mengambangkan banyak tak berhingga jargon-jargon. Contoh sederhana dari jargonku itu adalah: sebagai bawahan itu harus jujur, sebagai bawahan itu harus peduli, sebagai bawahan harus patuh, sebagai bawahan harus bijak. Begitu aku menemukan para bawahanku tidak sesuai dengan jargonku maka aku segera menggunakan kekuasaanku sebagai atasan. Kekuasaanku sebagai atasan itu mengalir melalui jargon-jargonku: sebagai atasan itu harus jujur, sebagai atasan itu harus peduli, sebagai atasan itu harus patuh, sebagai atasan itu harus bijak. Tetapi begitu aku menemukan bahwa diriku tidak sesuai dengan jargon-jargon, ternyata muncul jargon-jargonku yang lain: atasan harus terhormat, atasan harus wibawa, jangan tampakkan kelemahanmu,..dst. Maka jargon yang paling populer bagi diriku sebagai atasan adalah: kurang baik demi kebaikan, kurang adil demi keadilan, menghukum demi membebaskan..dst. Ternyata muncul jargon populer berikutnya: manusia itu tidak pernah terlepas dari kesalahan, maka demi menjaga statusku sebagai atasan terpaksa aku harus menggunakan jargon topeng, yaitu topeng kepribadian. Sebenar-benar jargon topeng adalah menutupi segala kelemahanku dan dosa-dosaku di hadapan para bawahan. Kalau bisa apakah jargon topengku itu dapat menyembunyikan diriku dari Tuhan? Oh orang tua berambut putih, janganlah engkau teruskan pertanyaanmu itu, dan janganlah rongrong kewibawaanku sebagai atasan. Itulah diriku, yaitu sebenar-benar jargon atasan. Maka aku sangat menyukai semua kesempatan di mana aku bisa memproduksi semua jargon-jargon atasan, agar diketahui oleh para bawahan-bawahanku. Aku akan memanfaatkan seoptimal mungkin berbagai kesempatan seperti seminar, konferensi, workshop, pengajian, diskusi, kampanye, koran, radio, TV, debat ...untuk memproduksi jargon-jargonku.

Orang tua berambut putih:
Wahai jargon bawahan. Supaya aku lebih mengerti tentang dirimu, maka ceriterakanlah tentang dirimu itu kepadaku. Siapakah dirimu, bagaimana dirimu, macam-macam dirimu, tujuan dirimu, dst.

Jargon bawahan:
Terimakasih orang tua berambut putih. Aku adalah jargon bawahan. Jikalau aku terbebas dari segala tekanan maka aku dapat bercerita banyak tentang diriku kepadamu. Sebetul-betul yang terjadi tadi adalah aku telah menyampaikan apa adanya kepadamu. Aku sebetulnya tidak merdeka dan merasa takut oleh aktivitas para atasan. Tetapi ini off the record, jangan sampaikan kepada atasan. Mengapa? Karena jika engkau katakan hal ini kepada atasan maka jiwaku bisa terancam. Padahal segenap jiwa ragaku itu tergantung sepenuhnya oleh atasan-atasanku. Ketahuilah bahwa setinggi-tinggi tujuanku adalah terbebas dari segala ancaman dan tekanan para atasan. Dalam rangka untuk mencapai tujuanku sebagai bawahan sejati maka aku harus memproduksi jargon-jargonku. Maka aku melakukan segala daya dan upaya termasuk menggunakan jargonku agar dapat terhindar dari perbuatan sewenang-wenang para atasan. Sebenar-benar ancaman bagi diriku di dunia ini adalah jargon-jargon para atasan. Maka aku sangat sensitif terhadap jargon para atasan. Tetapi apalah dayaku sebagai bawahan. Maka sebenar-benar diriku adalah tetap menjadi bawahannya para jargon atasan.

Orang tua berambut putih:
Maaf jargon bawahan, saya belum begitu jelas dengan uaraian-uraianmu itu. Dapatkah engkau memberikan contoh konkritnya. Jika perlu silahkan para mu menyampaikan kepadaku.

Jargon bawahan :
Wahai orang tua berambut putih. Kenalkanlah saya adalah jargon bawahan. Mulanya biasa saja bagi diriku, ketika aku sebagai bawahan. Tetapi kemudian tidak biasa bagi diriku ketika aku mempunyai atasan baru. Ketika aku mempunyai atasan baru aku merasakan seluruh tubuhku bergetar dan bergemuruh mengalami perubahan jargon. Tadinya aku sangat menyayangi jargon-jargon ku sebagai bawahan. Maka setelah aku mempunyai atasan aku mulai kehilangan jargon , dan kemudian mulailah aku di dominasi oleh jargon atasan. Ketahuilah bahwa dalam rangka untuk mempertahankan diriku sebagai yang bawahan hakiki, maka aku telah mengembangkan banyak tak berhingga jargon-jargon. Contoh sederhana dari jargonku itu adalah: sebagai atasan itu harus jujur, sebagai atasan itu harus peduli, sebagai atasan harus patuh, sebagai atasan harus bijak. Begitu aku menemukan diriku tidak sesuai dengan jargonku maka aku segera mohon ampun kepada Tuhan ku. Sementara kekuasaan atasanku itu mengalir melalui jargon-jargon atasan: sebagai bawahan itu harus jujur, sebagai bawahan itu harus peduli, sebagai bawahan itu memang harus komit, sebagai bawahan itu harus disiplin. Tetapi begitu aku menemukan bahwa atasanku tidak sesuai dengan jargon-jargonnya, ternyata muncul jargon-jargonku yang lain: atasan harus melindungi , atasan harus menolong , dst. Maka jargon yang paling populer bagi diriku sebagai bawahan adalah: yang penting selamat, hidup itu tidak neko-neko, manusia itu hanya mampir ngombhe, apalah gunanya status itu, atasan itu tidak penting yang penting amal perbuatannya. Ternyata muncul jargon populer berikutnya: semua manusia itu pada hakekatnya sama saja, maka demi menjaga statusku sebagai bawahan sejati terpaksa aku harus menggunakan jargon topeng, yaitu topeng kepribadian. Sebenar-benar jargon topeng adalah menutupi segala kelemahanku dan dosa-dosaku di hadapan para atasan. Agar aku selamat dari ketidak adilan para jargon atasan. Kalau bisa apakah jargon topengku itu dapat menyembunyikan diriku dari Tuhan? Oh orang tua berambut putih, janganlah engkau teruskan pertanyaanmu itu, dan janganlah rongrong kedudukanku sebagai bawahan. Itulah diriku, yaitu sebenar-benar jargon bawahan . Maka aku sangat menyukai semua kesempatan di mana aku bisa memproduksi semua jargon-jargon bawahan , agar aku bisa berlindung dari ancaman jargon para atasan. Tetapi aku ternyata tidak bisa menggunakan seminar, konferensi, workshop, pengajian, diskusi, kampanye, koran, radio, TV, debat ...untuk memproduksi jargon-jargonku. Jangankan memproduksi jargon, untuk menghindar dari jargon atasan saja kerepotan ketika saya berada di forum-forum itu.

Orang tua berambut putih:
Sudah jelas duduk perkaranya. Ternyata semuanya memerlukan jargon. Atasan memerlukan jargon untuk memantapkan kedudukannya sebagai atasan, sedangkan bawahan memerlukan jargon untuk melindungi dirimya. Ketahuilah bahwa Tuhan itu maha bijaksana. Tuhan telah menciptakan segalanya termasuk suasana di mana atasan dan bawahan dapat hidup bersama-sama dalam jargon-jargonnya. Maka solusi yang terbaik adalah menterjemahkan dan diterjemahkan. Wahai engkau para atasan dan bawahan, menterjemahkan dan diterjemahkanlah agar engkau saling memahami jargonmu masing-masing. Ketahuilah bahwa di batas sana, atasan itu adalah bawahan, dan bawahan itu adalah atasan.
Aku ingin memperingatkan atasan agar bijaksana terhadap bahawan. Aku juga ingin mengingatkan bawahan agar ta’aruf dan tawadu’ dalam bekerja. Maka semua jargonmu itu akan lenyap diperbatasan pikiranmu masing-masing. Hidup harmonilah bersama jargon-jargonmu. Sebenar-benar bukan jargon adalah kuasa dan milik Tuhan YME.

5 comments:

izatul ifada said...

atasan dan bawahan..
barangkali tiap orang pernah jadi atasan, jadi bawahan, tau bahkan perna menjadi atasan dan bawahan sekaligus dalam waktu yang sama..
ya, karena tasan adalah bawahan, dan bawahan adalah atasan.

belajar untuk bijaksana..
kata Mario Teguh,, "orang cerdik, berhati- hati saat di hadapan orang lain, orang bijaksana, berhati- hati dalam kesendiriannya"

pak, apa maksud bapak dengan "bawahan harus ta'aruf dan tawadhu'"? apa arti kata ta'aruf?
dan bukankah jadi seorang atasan juga harus tawadhu' agar ia tidak semena- mena?

Marsigit said...

Izatul Ifada...itulah yang sering dan sering terjadi, yaitu sebagian orang, khususnya orang-orang yang mempunyai kekuasaan (dalam arti yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya) selalu menggunakan jargon-jargon untuk mengukuhkan kekuasaannya. Ingatlah bahwa dirimu itu juga termasuk golongan mempunyai kekuasaan untuk banyak sekali hal. Maka renungkanlah.

herry prasetyo said...

Pak, kalau menurut saya yang paling baik adalah atasan yang bijaksana dan bawahan yang sabar dan tawakal. Saya yakin dengan begitu semua akan lebih indah. Trimakasih

Nini Wahyuni said...

I think, this writing is talk about level(kedudukan). Dimana kedudukan disini digambarkan dengan kata2 "atasan" dan "bawahan".

Jika mau jujur, kedudukan merupakan hal yang amat sangat penting di negara kita.Karena semakin tinggi kedudukan seseorang maka akan semakin tinggi penghargaan.

Tak percaya?? Cobalah kita jawab pertanyaan berikut. Pernahkah kita menghormati para pemungut sampah yang setiap harinya membawa barang2 kotor dan bau dari rumah kita? Pernahkah kita memberi salam terhangat dan belaian lembut kepada pembantu yang setiap hari all out memberikan servis terbaiknya tuk kita?? atau pernahkah kita berjabat tangan dan sedikit saja bertanya kabar dengan tukang parkir yang dengan senang hati menjaga kendaraan kita?

Mungkin ada yang menjawab pernah.. tapi saya yakin jumlahnya 1 di antara 100.Jujurlah ... kita bahkan mungkin tak pernah mengganggap keberadaan mereka ada.

Kita akan appreciate atau sangat menghormati orang yang dianggap berkedudukan lebih di atas, seperti direktur, general manager, pejabat, anggota dewan, pegawai bank, orang kaya dll.Di mata sebagian kita, mereka itu adalah orang2 hebat... Yg keberadaannya amat sangat diperhitungkan.

Namun apapun itu ... dari tulisan ini saya bisa mengambil kesimpulan bahwa .. apapun JARGON yang tengah kita lakoni, baik sebagai jargon "atasan" ataupun "bawahan", maka tetaplah menjadi manusia JUJUR, PEDULI, BIJAK dan KOMIT.

Ketika kita berperan sebagai Jargon atasan maka ingatlah ada langit di atas langit. Dan jikapun kita mendapat peran sebagai jargon bawahan maka percayalah ... dibawah tanah masih ada kerak bumi.

Jadi apa yang mesti di banggakan atau di risaukan ... Toh Tuhan saja tak pernah mempersoalkan jabatan kita. Bagi-NYA yang penting adalah sejauh mana kita memerankan Jargon sebagai seorang HAMBA.

Sebagai penutup, saya kutipkan sebuah kata bijak:

" YOUR ALTITUDE DOES NOT DEPEND ON YOUR APTITUDE, BUT DEPEND ON YOUR ATTITUDE, SO YOU CAN MAKE MAGNITUDE " (Ketinggian dan Harga diri Anda tidak ditentukn oleh BAKAT,POSISI, JABATAN, atau HARTA Anda, tapi terletak pada SIKAP Anda)

R. ADAWIYAH HAMZAH said...

berdalih demi profesionalisme dan kedisiplinan dalam bekerja, seringkali para atasan bertindak semena-mena pada para bawahan, berdalih demi kedisiplinan kerja seringkali para atasan menzalimi para bawahan. bertopeng profesionalisme dalam bekerja para atasan tak menyadari bahwa tanpa bawahan ia tak kan menjadi atasan dan tak berarti apa-apa, maka hilanglah rasa saling menghargai dan sikap mengayomi sebagai atasan.
berdalih demi sesuap nasi, seringkali para bawahan rela menjilat pada para atasan dan berlaku aniaya pada dirinya sendiri. berdalih demi membahagiakan keluarga, seringkali para bawahan bersilat lidah pada para atasan. bertopeng demi sesuap nasi dan membahagiakan keuarga para bawahan tidak menyadari bahwa yang sebenar-benar atasan adalah Dia yang Maha Tinggi.maka hilanglah nilai kejujuran dan sikap menghormati sebagai bawahan..
maka apa yang bisa kita dapat jikalau sudah hilang rasa saling menghormati dan saling menghargai pada sesama..