Tuesday, May 26, 2009

Jargon Kebaikan dan Keburukan

Oleh Marsigit

Orang tua berambut putih:
Hemm indah betul dunia itu. Semakin diungkap semakin banyak pula yang tidak aku tahu. Kenapa aku tidak bisa istirahat? Ancamannya adalah mitos. Tetapi diperbatasan sana aku telah menemukan bahwa mitos itu logos, dan logos itu mitos, tidak itu iya dan iya itu tidak, awal itu akhir dan akhir itu awal, berubah itu tetap dan tetap itu berubah. Tetapi aku sekarang sedang melihat para jargon telah menguasai dunia. Maka aku sedang menyaksikan bahwa dunia itu jargon dan jargon itu dunia. Samar-samar aku melihat di kejauhan ada pertengkaran antara jargon keburukan dan jargon kebaikan. Wahai jargon keburukan dan jargon kebaikan dengarlah diriku sebentar. Mengapa engkau kelihatannya sedang berselisih. Jargon keburukan kelihatan sangat ganas dan kejam, sedangkan jargon kebaikan kelihatan sedang bersedih dan rendah diri. Bolehkah aku mengetahui pokok persoalannya?

Jargon keburukan:
Wahai orang tua berambut putih. Kenalkanlah aku adalah jargon keburukan. Sebenar-benar jargon itu adalah milikku. Maka tiadalah selain diriku dapat mengaku-aku memiliki jargon. Barang siapa selain diriku mengaku-aku memiliki jargon, maka akan aku binasakan mereka itu. Maka saksikanlah wahai orang tua berambut putih, dengan lantang dan dengan penuh hikmat dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya aku proklamasikan bahwa jargon itu tidak lain tidak bukan adalah diriku. Jargon itu adalah kuasaku, jargon itu adalah jiwaku. Jika tidak ada jargon pada diriku maka tiadalah diriku itu. Maka beritahukanlah kepada kebaikan agar jangan sekali-kali mengklaim memiliki jargon. Jika para kebaikan tetap teguh pendirian maka dengan bengisnya aku akan hadapi mereka semua.

Jargon kebaikan:
Wahai orang tua berambut putih. Kenalkanlah aku adalah jargon kebaikan. Saya menyadari bahwa jargon para keburukan itu begitu kuat dan mengerikan bagiku. Tetapi ketahuilah bahwa sebenarnya diriku juga berhak mempunyai jargon. Maka perkenankanlah bahwa diriku juga memiliki jargon. Maka saksikanlah wahai orang tua berambut putih, serendah-rendah dan sekecil-kecil diriku, maka aku itu sebetulnya adalah jargon juga. Jargon itu pelindungku. Jargon itu jiwaku. Jika tidak ada jargon pada diriku maka tiadalah diriku itu. Maka beritahukanlah kepada keburukan agar menyadari bahwa diluar dirinya itu sebetulnya terdapat jargon diriku. Itulah sebenar-benar dan sebesar-besar ancaman bagi diriku, yaitu jargon para keburukan.

Orang tua berambut putih:
Wahai jargon keburukan. Supaya aku lebih mengerti tentang dirimu, maka ceriterakanlah tentang dirimu itu kepadaku. Siapakah dirimu, bagaimana dirimu, macam-macam dirimu, tujuan dirimu, dst.

Jargon keburukan:
Terimakasih orang tua berambut putih. Aku adalah jargon keburukan. Jikalau emosiku sudah terkendali maka aku dapat bercerita banyak tentang diriku kepadamu. Sebetul-betul yang terjadi tadi adalah aku telah sedikit berbohong kepadamu. Aku sebetulnya mengetahui bahwa jargon itu bukan hanya milikku, tetapi kebaikan pun mempunyai jargon. Tetapi ini off the record, jangan sampaikan kepada kebaikan. Mengapa? Karena jika engkau katakan hal ini kepada kebaikan maka kedudukanku sebagai keburukan akan terancam. Ketahuilah bahwa setinggi-tinggi tujuanku adalah menjadi keburukan yang kuat, yaitu sebenar-benar keburukan. Dalam rangka untuk mencapai tujuanku sebagai keburukan sejati maka aku harus mengelola semua kebaikan sedemikian rupa sehingga semua kebaikanku itu terkendali dan dapat sepenuhnya aku kuasai. Maka aku melakukan segala daya dan upaya termasuk menggunakan jargonku agar kebaikan selalu dapat aku kuasai. Sebenar-benar ancaman bagi diriku di dunia ini adalah jargon-jargon para kebaikan. Maka aku sangat sensitif terhadap jargon para kebaikan. Dari pada jargon kebaikan menimbulkan masalah bagi diriku, maka lebih baik aku binasakan saja sebelum mereka lahir ke bumi.

Orang tua berambut putih:
Maaf jargon keburukan, saya belum begitu jelas dengan uaraian-uraianmu itu. Dapatkah engkau memberikan contoh konkritnya. Jika perlu silahkan para mu menyampaikan kepadaku.

Jargon keburukan :
Wahai orang tua berambut putih. Kenalkanlah saya adalah jargon keburukan. Mulanya biasa saja bagi diriku, ketika aku sebagai kebaikan. Tetapi kemudian tidak biasa bagi diriku ketika aku, entah kenapa, di tetapkan sebagai keburukan. Ketika aku menjadi keburukan maka aku merasakan seluruh tubuhku bergetar dan bergemuruh mengalami perubahan jargon. Tadinya aku sangat menyayangi jargon-jargon ku sebagai kebaikan. Maka setelah aku menjadi keburukan aku mulai kehilangan jargon kebaikan, dan kemudian mulailah aku di dominasi oleh jargon keburukan. Ketahuilah bahwa dalam rangka untuk mempertahankan diriku sebagai keburukan, maka aku telah mengembangkan banyak tak berhingga jargon-jargon. Kekuasaanku sebagai keburukan itu mengalir melalui jargon-jargonku. Maka demi menjaga statusku sebagai keburukan terpaksa aku harus menggunakan jargon topeng, yaitu topeng kepribadian. Sebenar-benar jargon topeng adalah menutupi segala kelemahanku dan dosa-dosaku di hadapan para kebaikan. Kalau bisa apakah jargon topengku itu dapat menyembunyikan diriku dari Tuhan? Oh orang tua berambut putih, janganlah engkau teruskan pertanyaanmu itu, dan janganlah rongrong kewibawaanku sebagai keburukan. Itulah diriku, yaitu sebenar-benar jargon keburukan. Maka aku sangat menyukai semua kesempatan di mana aku bisa memproduksi semua jargon-jargon keburukan, agar dapat mengendalikan jargon-jargon kebaikan.

Orang tua berambut putih:
Wahai jargon kebaikan. Supaya aku lebih mengerti tentang dirimu, maka ceriterakanlah tentang dirimu itu kepadaku. Siapakah dirimu, bagaimana dirimu, macam-macam dirimu, tujuan dirimu, dst.

Jargon kebaikan:
Terimakasih orang tua berambut putih. Aku adalah jargon kebaikan. Jikalau aku terbebas dari segala tekanan maka aku dapat bercerita banyak tentang diriku kepadamu. Sebetul-betul yang terjadi tadi adalah aku telah menyampaikan apa adanya kepadamu. Aku sebetulnya tidak merdeka dan merasa takut oleh aktivitas para keburukan. Tetapi ini off the record, jangan sampaikan kepada keburukan. Mengapa? Karena jika engkau katakan hal ini kepada keburukan maka jiwaku bisa terancam. Padahal segenap jiwa ragaku itu ingin terbebas sepenuhnya dari jargon-jargon keburukan. Ketahuilah bahwa setinggi-tinggi tujuanku adalah terbebas dari segala ancaman dan tekanan para keburukan. Dalam rangka untuk mencapai tujuanku sebagai kebaikan sejati maka aku harus memproduksi jargon-jargonku. Maka aku melakukan segala daya dan upaya termasuk menggunakan jargonku agar dapat terhindar dari perbuatan sewenang-wenang para keburukan. Sebenar-benar ancaman bagi diriku di dunia ini adalah jargon-jargon para keburukan. Maka aku sangat sensitif terhadap jargon para keburukan. Tetapi apalah dayaku sebagai kebaikan. Maka sebenar-benar diriku adalah tetap ingin terbebas dari para jargon keburukan.

Orang tua berambut putih:
Maaf jargon kebaikan, saya belum begitu jelas dengan uaraian-uraianmu itu. Dapatkah engkau memberikan contoh konkritnya. Jika perlu silahkan para mu menyampaikan kepadaku.

Jargon kebaikan :
Wahai orang tua berambut putih. Kenalkanlah saya adalah jargon kebaikan. Mulanya biasa saja bagi diriku, ketika aku sebagai kebaikan. Tetapi kemudian tidak biasa bagi diriku ketika aku bertemu dengan jargon keburukan. Ketika aku bertemu denganjargon keburukan, aku merasakan seluruh tubuhku bergetar dan bergemuruh mengalami perubahan jargon. Tadinya aku sangat menyayangi jargon-jargon ku sebagai kebaikan. Maka setelah aku bertemu dengan jargon keburukan aku mulai kehilangan jargon kebaikan, dan kemudian mulailah aku merasa akan di dominasi oleh jargon keburukan. Ketahuilah bahwa dalam rangka untuk mempertahankan diriku sebagai yang kebaikan hakiki, maka aku telah mengembangkan banyak tak berhingga jargon-jargon. Begitu aku menemukan diriku tidak sesuai dengan jargonku maka aku segera mohon ampun kepada Tuhan ku. Sementara kekuasaan jargon keburukan itu mengalir melalui jargon-jargon nya. Maka demi menjaga statusku sebagai kebaikan sejati terpaksa aku harus menggunakan jargon topeng, yaitu topeng kepribadian. Sebenar-benar jargon topeng adalah menutupi segala kelemahanku dan dosa-dosaku di hadapan para keburukan, agar aku selamat dari cengkeraman para jargon keburukan. Kalau bisa apakah jargon topengku itu dapat menyembunyikan diriku dari Tuhan? Oh orang tua berambut putih, janganlah engkau teruskan pertanyaanmu itu, dan janganlah rongrong kedudukanku sebagai kebaikan. Itulah diriku, yaitu sebenar-benar jargon kebaikan . Maka aku sangat menyukai semua kesempatan di mana aku bisa memproduksi semua jargon-jargon kebaikan , agar aku bisa berlindung dari ancaman jargon para keburukan.

Orang tua berambut putih:
Sudah jelas duduk perkaranya. Ternyata semuanya memerlukan jargon. Keburukan memerlukan jargon untuk memantapkan kedudukannya sebagai keburukan, sedangkan kebaikan memerlukan jargon untuk melindungi dirimya. Ketahuilah bahwa Tuhan itu maha bijaksana. Tuhan telah menciptakan segalanya termasuk suasana di mana keburukan itu merupakan ujian bagi kebaikan. Maka solusi yang terbaik adalah menterjemahkan dan diterjemahkan. Wahai para kebaikan, menterjemahkan dan diterjemahkanlah agar engkau mampu mengenali jargon-jargon keburukan. Aku ingin memperingatkan para keburukan, bolehlah engkau menggoda dan mengganggu para kebaikan, tetapi jangan sekali-sekali dan berani-berani engkau menggoda para kebaikan yang selalu ingat dan beriman kepada Tuhan YME. Aku juga ingin mengingatkan para kebaikan agar ta’aruf dan tawadu’ dalam menegakkan kebaikan. Maka semua jargon keburukan niscaya akan hilang lenyap dikarenakan oleh keikhlasan para kebaikan. Amien.

7 comments:

herry prasetyo said...

Yah memang benar semua yang ada didunia ini berawal dari hal-hal yang baik….
Dengan kata lain kebaikan adalah yang pertama. Tinggal bagaimana manusianya saja, akan menuju kemana dia.

MEINA berlianti said...

ass...wr...wb...


Tak ada yang abadi……
Tak ada yang abadi….
Tak ada yang abadi….
Itulah sepenggal lirik lagu dari peterpan yang mungkin bisa menggambarkan keadaan sebuah kebaikan dan keburukan didalam diri manusia. Tak ada manusia didunia ini yang dengan abadi mampu memproduksi sebuah kebaikan, begitu juga tak ada manusia didunia ini yang dengan abadi mampu memproduksi keburukan karena sebenar-benarnya didalam kebaikan dan keburukan ada sebuah jargon. Siapakah gerangan yang memproduksi jargon didalam kebaikan dan keburukan????? Siapa lagi kalau bukan manusia. Sebesar-besarnya produsen jargon adalah manusia karena manusia terlahir dengan akal dan nafsu yang menggebu-gebu, entah itu nafsu kebaikan maupun nafsu keburukan. Bagaikan “senjata makan tuan” , bagi siapa yang memproduksi jargon maka dia lah yang akan tersiksa dengan jargon-jargonnya sendiri. Karena jargon lah yang mampu mengubah keburukan menjadi sebuah kebaikan dan mengubah kebaikan menjadi keburukan ( sungguh mengerikan).

listia_akhmad@yahoo.com said...

Akhmad S, PMA, 09709251019

Kebaikan dan keburukan senantiasa berjalan pada jalan yang tidak tidak seiring maka ketika diri anda berada pada Jargon kebaikan pertahankanlah dan banyak dhikir dan isthigfar pada Alloh SWT dan ketika dirimu berada pada jargon keburukan tengok dan lihatlah dirimu agar tidak tersesat dan cepat tarik dirimu agar menjadi manusia yang ingat akan Tuhan. Ya Alloh bimbing dan arahkanlah diri hamba ini agar senantiasa ingat dan tawadhu' kepadaMU.

rahmah purwahida zaiko said...

"PERTANYAAN YANG MENGGUGAT"

Ternyata kebaikan dan keburukan membutuhkan jargon. Berarti pula ku bertemu bahwa jargon-jargonku dan juga jargon-jargonmu akan mempengaruhi tiap-tiap kebaikan-kebaikanku dan juga keburukan-keburukanmu. itulah mengapa ada perbedaan persepsi kebenaranku dan kebenaranmu dan juga keburukanku dan keburukanmu.

Perbedaan itu adalah ruang yang memungkinkan tumpahnya pertemuan kebaikan dan keburukan. Maka sesungguhnya ruang itulah medan yang mempertemukan jargon kebaiakn dan keburukan dengan kata lain campu-aduk antara kebaikan dan keburukan lahir. Itulah mengapa ada PUTIH dan HITAM. Ditengah-tengahnya ada ABU-ABU.

Setidaknya kutemukan tiga dimensi dalam setiap hal dalam hidupku yang berkaitan dengan "kebaikan" dan "keburukan" serta "kebaiakan-keburukan".

juga kutemukan dalam hidupku tentang keberadaaan "yang sesungguhnya ada", "yang sesungguhnya tidak ada", "yang mungkin ada".

Bapak, kutemukan keberadaan itu tiga bukan dua? setidaknya itulah pemikiranku. Bagaimana pak?

Marsigit said...

Sdr Rahmah Purwahida Zaiko..aku akan menjawabnya dari konteks tesis dan anti-tesis. Baik buruk dapat aku dudukkan dalam konteks tesis dan anti tesis, maka keduanya telah menciptakan keseimbangan terhadap semua tesis dan anti tesis yang ada dan yang mungkin ada. Aku bisa mengenal baik karena pernah mendengar buruk, maka aku bisa mengenal tesis karena ada anti-tesis, itulah cara berpikir bipolar manusia. Teantu tesis itu meliputi yang ada dan yang mungkin ada, jadi jika hanya 3 (tiga) itu pun belum sebangang dengan yang ada dan yang mungkin ada. Jika kita ekstensikan maka aku pun akan mempunyai tripolar, quapolar, penta polar. Maka dengan pertanyaanmu itu ternyata aku telah menemukan bahwa hidupku itu ternyata bersifat multipolar. Itulah setidaknya ketika aku masih menyadari diriku yang masih berada di dunia ini. Itulah juga aku telah menemukan bahwa dunia itu tidak lain tidak bukan adalah himpunan dari tesis dan antitesisnya. Sedangkan aku dapat mendefinisikan hidupku sebagai sisntesisnya. Maka hidupku itu adalah himpunan sintesis-sintesisku.Sedangkan aku ternyata juga menemukan adanya monopolar itulah tiada lain tiada bukan monisme, suatu ketentuan dari sang Pencipta alam ini yaitu Allah SWT. Amiin.

rahmah purwahida zaiko said...

seharian ku merenung dan "menjelajahi" koleksi buku ku. Hingga kini ku masih berlari agar bisa menemukan jawaban dari pertanayaan-pertanyaanku tentang komen Bapak...

sampai berjumpa di komen berikutnya pak...

wS.

Norfadilah MY said...

Menarik sungguh tulisan Dr. Marsigit, sayang sekali saya kurang memahami penulisan Dr..

namun begitu saya masih tidak berpuas hati kerana banyak pertanyaan berlegar di fikiran saya tentang tulisan ini... :(