Oleh Marsigit
Orang tua berambut putih:
Hemm indah betul dunia itu. Semakin diungkap semakin banyak pula yang tidak aku tahu. Kenapa aku tidak bisa istirahat? Ancamannya adalah mitos. Tetapi diperbatasan sana aku telah menemukan bahwa mitos itu logos, dan logos itu mitos, tidak itu iya dan iya itu tidak, awal itu akhir dan akhir itu awal, berubah itu tetap dan tetap itu berubah, subyek itu obyek dan obyek itu subyek,...dst. Tetapi aku sekarang sedang melihat para jargon telah menguasai dunia. Maka aku sedang menyaksikan bahwa dunia itu jargon dan jargon itu dunia.
Samar-samar aku melihat di kejauhan ada pertengkaran antara jargon subyek dan jargon obyek. Wahai jargon subyek dan jargon obyek dengarlah diriku sebentar. Mengapa engkau kelihatannya sedang berselisih. Jargon subyek kelihatan sangat ganas dan kejam, sedangkan jargon obyek kelihatan sedang bersedih dan rendah diri. Bolehkah aku mengetahui pokok persoalannya?
Jargon subyek:
Wahai orang tua berambut putih. Kenalkanlah aku adalah jargon subyek. Sebenar-benar jargon itu adalah milikku. Maka tiadalah selain diriku dapat mengaku-aku memiliki jargon. barang siapa selain diriku mengaku-aku memiliki jargon, maka akan aku binasakan mereka itu. Maka saksikanlah wahai orang tua berambut putih, dengan lantang dan dengan penuh hikmat dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya aku proklamasikan bahwa jargon itu tidak lain tidak bukan adalah diriku. Jargon itu adalah kuasaku, jargon itu adalah jiwaku. Jika tidak ada jargon pada diriku maka tiadalah diriku itu. Maka beritahukanlah kepada obyek agar jangan sekali-kali mengklaim memiliki jargon. Jika para obyek tetap teguh pendirian maka dengan bengisnya aku akan hadapi mereka semua.
Jargon obyek:
Wahai orang tua berambut putih. Kenalkanlah aku adalah jargon obyek. Saya menyadari bahwa jargon para subyek itu begitu kuat dan mengerikan bagiku. Tetapi ketahuilah bahwa sebenarnya diriku juga berhak mempunyai jargon. Maka perkenankanlah bahwa diriku juga memiliki jargon. Maka saksikanlah wahai orang tua berambut putih, serendah-rendah dan sekecil-kecil diriku, maka aku itu sebetulnya adalah jargon juga. Jargon itu pelindungku. Jargon itu jiwaku. Jika tidak ada jargon pada diriku maka tiadalah diriku itu. Maka beritahukanlah kepada subyek agar menyadari bahwa diluar dirinya itu sebetulnya terdapat jargon diriku. Itulah sebenar-benar dan sebesar-besar ancaman bagi diriku, yaitu jargon para subyek. Ketahuilah tiadalah subyek itu jika tidak ada obyek.
Orang tua berambut putih:
Wahai jargon subyek. Supaya aku lebih mengerti tentang dirimu, maka ceriterakanlah tentang dirimu itu kepadaku. Siapakah dirimu, bagaimana dirimu, macam-macam dirimu, tujuan dirimu, dst.
Jargon subyek:
Terimakasih orang tua berambut putih. Aku adalah jargon subyek. Jikalau emosiku sudah terkendali maka aku dapat bercerita banyak tentang diriku kepadamu. Sebetul-betul yang terjadi tadi adalah aku telah sedikit berbohong kepadamu. Aku sebetulnya mengetahui bahwa jargon itu bukan hanya milikku, tetapi obyek pun mempunyai jargon. Tetapi ini off the record, jangan sampaikan kepada obyek. Mengapa? Karena jika engkau katakan hal ini kepada obyek maka kedudukanku sebagai subyek akan terancam. Ketahuilah bahwa setinggi-tinggi tujuanku adalah menjadi subyek yang kuat, yaitu sebear-benar subyek. Dalam rangka untuk mencapai tujuanku sebagai subyek sejati maka aku harus mengelola semua obyek sedemikian rupa sehingga semua obyekku itu terkendali dan dapat sepenuhnya aku kuasai. Maka aku melakukan segala daya dan upaya termasuk menggunakan jargonku agar obyek selalu dapat aku kuasai. Sebenar-benar ancaman bagi diriku di dunia ini adalah jargon-jargon para obyek. Maka aku sangat sensitif terhadap jargon para obyek. Dari pada jargon obyek menimbulkan masalah bagi diriku, maka lebih baik aku binasakan saja sebelum mereka lahir ke bumi.
Orang tua berambut putih:
Maaf jargon subyek, saya belum begitu jelas dengan uaraian-uraianmu itu. Dapatkah engkau memberikan contoh konkritnya. Jika perlu silahkan para anggotamu menyampaikan kepadaku.
Jargon subyek ketua :
Wahai orang tua berambut putih. Kenalkanlah saya adalah jargon subyek ketua. Mulanya biasa saja bagi diriku, ketika aku sebagai anggota. Tetapi kemudian tidak biasa bagi diriku ketika aku, entah kenapa, bisa terpilih sebagai ketua. Ketika aku menjadi ketua maka aku merasakan seluruh tubuhku bergetar dan bergemuruh mengalami perubahan jargon. Tadinya aku sangat menyayangi jargon-jargon ku sebagai anggota. Maka setelah aku menjadi ketua aku mulai kehilangan jargon anggota, dan kemudian mulailah aku di dominasi oleh jargon ketua. Ketahuilah bahwa dalam rangka untuk mempertahankan diriku sebagai ketua, maka aku telah mengambangkan banyak tak berhingga jargon-jargon. Contoh sederhana dari jargonku itu adalah: sebagai anggota itu harus jujur, sebagai anggota itu harus peduli, sebagai anggota harus patuh, sebagai anggota harus bijak. Begitu aku menemukan para anggotaku tidak sesuai dengan jargonku maka aku segera menggunakan kekuasaanku sebagai ketua. kekuasaanku sebagai ketua itu mengalir melalui jargon-jargonku: sebagai ketua itu harus jujur, sebagai ketua itu harus peduli, sebagai ketua itu harus adil, sebagai ketua itu harus bijak. Tetapi begitu aku menemukan bahwa diriku tidak sesuai dengan jargon-jargon, ternyata muncul jargon-jargonku yang lain: ketua harus terhormat, ketua harus wibawa, jangan tampakkan kelemahanmu, tutupilah kesalahanmu..dst. Maka jargon yang paling populer bagi diriku sebagai ketua adalah: berbohong demi kebaikan, tidak adil demi keadilan, menghukum demi membebaskan..dst. Ternyata muncul jargon populer berikutnya: manusia itu tidak pernah terlepas dari kesalahan, maka demi menjaga statusku sebagai ketua terpaksa aku harus menggunakan jargon topeng, yaitu topeng kepribadian. Sebenar-benar jargon topeng adalah menutupi segala kelemahanku dan dosa-dosaku di hadapan para obyek. Kalau bisa apakah jargon topengku itu dapat menyembunyikan diriku dari Tuhan? Oh orang tua berambut putih, janganlah engkau teruskan pertanyaanmu itu, dan janganlah rongrong kewibawaanku sebagai ketua. Itulah diriku, yaitu sebenar-benar jargon subyek ketua. Maka aku sangat menyukai semua kesempatan di mana aku bisa memproduksi semua jargon-jargon subyek ketua, agar diketahui oleh para obyek-obyekku. Seminar, konferensi, workshop, pengajian, diskusi, kampanye, koran, radio, TV, debat ...semuanya aku manfaatkan untuk memproduksi jargon-jargonku.
Orang tua berambut putih:
Wahai jargon obyek. Supaya aku lebih mengerti tentang dirimu, maka ceriterakanlah tentang dirimu itu kepadaku. Siapakah dirimu, bagaimana dirimu, macam-macam dirimu, tujuan dirimu, dst.
Jargon obyek:
Terimakasih orang tua berambut putih. Aku adalah jargon obyek. Jikalau aku terbebas dari segala tekanan maka aku dapat bercerita banyak tentang diriku kepadamu. Sebetul-betul yang terjadi tadi adalah aku telah menyampaikan apa adanya kepadamu. Aku sebetulnya mengetahui tidak merdeka dan merasa takut oleh aktivitas para subyek. Tetapi ini off the record, jangan sampaikan kepada subyek. Mengapa? Karena jika engkau katakan hal ini kepada subyek maka jiwaku bisa terancam. Padahal segenap jiwa ragaku itu tergantung sepenuhnya oleh subyek-subyekku. Ketahuilah bahwa setinggi-tinggi tujuanku adalah terbebas dari segala ancaman dan tekanan para subyek. Dalam rangka untuk mencapai tujuanku sebagai obyek sejati maka aku harus memproduksi jargon-jargonku. Maka aku melakukan segala daya dan upaya termasuk menggunakan jargonku agar dapat terhindar dari perbuatan sewenang-wenang para subyek. Sebenar-benar ancaman bagi diriku di dunia ini adalah jargon-jargon para subyek. Maka aku sangat sensitif terhadap jargon para subyek. Tetapi aplah dayaku sebagai obyek. Maka sebenar-benar diriku adalah tetap menjadi obyeknya para jargon subyek.
Orang tua berambut putih:
Maaf jargon obyek, saya belum begitu jelas dengan uaraian-uraianmu itu. Dapatkah engkau memberikan contoh konkritnya. Jika perlu silahkan para anggotamu menyampaikan kepadaku.
Jargon obyek anggota :
Wahai orang tua berambut putih. Kenalkanlah saya adalah jargon obyek anggota. Mulanya biasa saja bagi diriku, ketika aku sebagai anggota. Tetapi kemudian tidak biasa bagi diriku ketika aku mempunyai ketua baru. Ketika aku mempunyai ketua baru aku merasakan seluruh tubuhku bergetar dan bergemuruh mengalami perubahan jargon. Tadinya aku sangat menyayangi jargon-jargon ku sebagai anggota. Maka setelah aku mempunyai ketua aku mulai kehilangan jargon anggota, dan kemudian mulailah aku di dominasi oleh jargon ketua. Ketahuilah bahwa dalam rangka untuk mempertahankan diriku sebagai anggota yang hakiki, maka aku telah mengambangkan banyak tak berhingga jargon-jargon. Contoh sederhana dari jargonku itu adalah: sebagai anggota itu harus jujur, sebagai anggota itu harus peduli, sebagai anggota harus patuh, sebagai anggota harus bijak. Begitu aku menemukan diriku tidak sesuai dengan jargonku maka aku segera mohon ampun kepada Tuhan ku. Sementara kekuasaan ketuaku itu mengalir melalui jargon-jargon ketua: sebagai ketua itu memang harus jujur, sebagai ketua itu memang harus peduli, sebagai ketua itu memang harus patuh, sebagai ketua itu memang harus bijak. Tetapi begitu aku menemukan bahwa ketuaku tidak sesuai dengan jargon-jargonnya, ternyata muncul jargon-jargonku yang lain: ketua harus melindungi anggota, ketua harus menolong anggota, dst. Maka jargon yang paling populer bagi diriku sebagai anggota adalah: yang penting selamat, hidup itu tidak neko-neko, manusia itu hanya mampir ngombhe, apalah gunanya status itu, ketua itu tidak penting yang penting amal perbuatannya. Ternyata muncul jargon populer berikutnya: semua manusia itu tidak pada hakekatnya sama saja, maka demi menjaga statusku sebagai anggota sejati terpaksa aku harus menggunakan jargon topeng, yaitu topeng kepribadian. Sebenar-benar jargon topeng adalah menutupi segala kelemahanku dan dosa-dosaku di hadapan para subyek. Agar aku selamat dari penindasan para jargon subyek. Kalau bisa apakah jargon topengku itu dapat menyembunyikan diriku dari Tuhan? Oh orang tua berambut putih, janganlah engkau teruskan pertanyaanmu itu, dan janganlah rongrong kedudukanku sebagai anggota. Itulah diriku, yaitu sebenar-benar jargon obyek anggota. Maka aku sangat menyukai semua kesempatan di mana aku bisa memproduksi semua jargon-jargon obyek anggota, agar aku bisa berlindung dari ancaman para subyek. Aku ternyata tidak bisa menggunakan seminar, konferensi, workshop, pengajian, diskusi, kampanye, koran, radio, TV, debat ...untuk memproduksi jargon-jargonku. Jangankan memproduksi jargon, untuk menghindar dari jargon subyek saja kerepotan ketika saya berada di forum-forum itu.
Orang tua berambut putih:
Sudah jelas duduk perkaranya. Ternyata semuanya memerlukan jargon. Subyek memerlukan jargon untuk memantapkan kedudukannya sebagai subyek, sedangkan obyek memerlukan jargon untuk melindungi dirimya. Ketahuilah bahwa Tuha itu maha bijaksana. Tuhan telah menciptakan segalanya termasuk suasana di mana subyek dan obyek dapat hidup bersama-sama dalam jargon-jargonnya. Maka solusi yang terbaik adalah menterjemahkan dan diterjemahkan wahai engkau para subyek dan obyek agar engkau saling memahami jargonmu masing-masing. Ketahuilah bahwa di batas sama subyek itu adalah obyek, dan obyek itu adalah subyek. Maka semua jargonmu itu akan lenyap diperbatasan pikiranmu masing-masing. Dengan ini aku peringatkan kepada subyek. Janganlah engkau bertindak melebihi batas. Tiadalah manusia itu pernah menjadi subyek sejati. Sebenar-benar subyek absolut adalah Tuhan YME. Sebenar-benar bukan jargon adalah kuasa dan milik Tuhan YME.
Friday, May 22, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment