Wednesday, February 25, 2009

Elegi Bendungan Komte dan Sungai Positive

Oleh : Marsigit

Sungai transenden:
Aku adalah sungai transenden. Aku mengalirkan air. Air sungaiku bisa mengalir kemana-mana, bisa melewati siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Tetapi engkau mungkin tak percaya bahwa aku juga bisa mengalirkan air ke bawah maupun mengalirkan air ke atas. Tetapi selebar-lebar sungaiku adalah pikiran kritismu. Maka sebenar-benar sumber air sungaiku adalah pada tempat yang paling dalam di pikiranmu. Sumber air sungaiku tidaklah tunggal. Sumber air sungaiku bisa diam bisa juga bergerak. Tetapi engkau mungkin tak percaya bahwa sumber air sungaiku bisa mengeluarkan air sekaligus memasukkan air. Itulah aku sungai transenden. Tetapi engkau mungkin juga tak percaya bahwa sumber airku dapat pula menjadi muaraku. Maka sebenar-benar diriku adalah muaraku sekaligus sumber air sungaiku.

Mencari ikan di sungai transenden

Pencari ikan:
Wahai sungai transenden, dimanakah aku bisa mencari ikan di sini?

Sungai transenden:
Disetiap tempat di sini terdapat ikan. Terserahlah apa yang engkau kehendaki. Ikan besar. Ikan kecil. Semuanya ada di sini.

Pencari ikan:
Lalu bagaimanakah aku bisa menangkap ikan-ikan itu?

Sungai transenden:
Gunakanlah akal dan pikiranmu?

Pencari ikan:
Janganlah engkau memperolok-olok diriku. Bukankah engkau tahu bahwa aku sudah menggunakan akal dan pikiranku.

Sungai transenden:
Sebenar-benar ikan adalah pikiranmu itu. Maka jika engkau tidak mampu menangkap ikan maka bukankah itu pertanda engkau belum menggunakan pikiranmu? Untuk itu cobalah engkau cari umpan agar engkau mampu menangkap ikan-ikan itu.

Pencari ikan:
Saya tidak mempunyai umpan. Kalau begitu apakah umpan-umpan dari ikan yang ada dalam sungai transenden itu?

Sungai transenden:
Umpannya adalah hati nuranimu. Jikalau engkau mengaku tidak mempunyai umpan bukankah itu pertanda engkau belum menggunakan hati nuranimu.

Pencari ikan marah kepada sungai transenden dan melaporkannya kepada komte

Pencari ikan:
Wahai sungai transenden, keterlaluan amat engkau itu. Aku bertanya sederhana, maka jawabanmu berbelit-belit. Aku bertanya pendek, maka jawabanmu panjang. Aku bertanya jujur maka jawabanmu telah menghinaku. Engkau bahkan telah menuduhku tidak menggunakan pikiran. Yang lebih menyakitkan engkau telah menuduhku tidak menggunakan hati nuraniku. Maka tunggulah balasanku. Aku akan melaporkan kesombonganmu itu kepada tuanku komte.

Pencari ikan:
Wahai tuanku komte, perkenankanlah diriku mengadukan kepadamu tentang kesombongan sungai transenden. Sungai transenden telah berlaku sangat sombong dan telah menghinaku.

Komte:
Wahai pencari ikan, sebenar-benar yang terjadi adalah bahwa aku telah mengetahui semua yang engkau alami. Aku bahkan mendengar dan mengerti setiap dialog antara engkau dan sungai transenden. Ketahuilah sebenar-benar yang terjadi adalah bahwa aku mengalami hal yang serupa dengan dirimu, lebih dari yang engkau alami. Maka ketahuilah bahwa aku sedang menyusun rencanaku dan kekuatanku untuk membuat bendungan. Oleh karena itu maka panggilah semua teman dan saudaramu untuk membantu aku membuat bendungan yang aku beri nama bendungan komte.

Komte bertitah:
Wahai para transenden, saatnya sudah engkau berhenti. Wahai kualitas, saatnya sudah engkau berhent. Wahai relatif, saatnya sudah engkau berhenti. Wahai para mimpi, saatnya sudah engkau berhenti. Wahai nurani, saatnya sudah engkau berhenti. Wahai a priori, saatnya sudah engkau berhenti. Wahai intuisi, saatnya sudah engkau berhenti. Wahai ideal, saatnya sudah engkau berhenti. ahai absolut, saatnya sudah engkau berhenti. Wahai subyektif, saatnya sudah engkau berhenti. Wahai abstrak, saatnya sudah engkau berhenti. Wahai empati, saatnya sudah engkau berhenti. Wahai ruang dan waktu, saatnya sudah engkau berhenti. Wahai pertanyaan-pertanyaan, saatnya sudah engkau berhenti. Wahai orang tua berambut putih, saatnya sudah engkau berhenti. Wahai geisteswishenshaften, saatnya sudah engkau berhenti. Dengan bendunganku ini, maka engkau semua telah aku tangkap. Engkau semua itulah sebenar-benar ikan sungai transenden. Wahai pencari ikan, itulah sebenar-benar kebodohanmu, sehingga engkau tidak dapat mengenali ikan-ikannya sungai transenden. Itu disebabkan karena engkau hanya berlayar di atasnya saja, sedangkan engkau malas untuk menyelamnya. Maka ditipu dan dihina itulah perolehanmu.

Komte membuat sungai positive

Komte:
Wahai masa depanku, aku telah sediakan sungai yang lebih besar ketimbang sungai transenden. Lupakan saja sungai transenden itu. Inilah sebenar-benar sungai. Aku telah menciptakan sungai positive buatmu. Sungai positive inilah sebagai hasil karyaku dengan bendunganku ini, yaitu bendungan komte. Maka sebenar-benar sungai adalah sungai positive. Maka tumbuh dan berkembanglah benih-benih kedalam sungaiku ini.

Komte menabur benih:
Wahai benih objektif, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih kepastian, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih ilmiah, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih prosedur, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih logico, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih hipotetiko, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih induksi, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih manipulasi, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih kuantitative, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih simplifikasi, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih konkrit, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih eksperimen, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih formula, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih statistik, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih standard, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih terukur, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih reliabilitas, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih industri, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih keniscayaan, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih random, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih representasi, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih lambang, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih wadah, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih rekayasa, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih model, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih cuplikan, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih remote, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih mesin, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. . Wahai benih kapital, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih material, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih praktis, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih otomatis, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih teknologi, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih rumah kaca, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai benih monokultur, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang. Wahai naturweistesshaften, saatnya sudah engkau tumbuh dan berkembang.

Di muara sungai komte, tumpukan sampah menggunung dan banyak ikan-ikan mati

Sampah1:
Wahai sampah2 temanku, mengapa engkau tertidur di situ tak berdaya. Engkau terlihat mati tak mau, hiduppun enggan.

Sampah2:
Wahai sampah1 temanku, ketahuilah bahwa sebenar-benar diriku bukanlah ikan dari sungai positive. Jika aku dipaksa hidup di sungai positive ini maka tunggu waktu sajalah kematianku. Kalau boleh aku pun ingin bertanya, wahai sampah1 temanku. Kenapa pula, engkau tertidur di situ tak berdaya. Engkau terlihat mati tak mau, hiduppun enggan.

Sampah1:
Wahai sampah1 temanku, ketahuilah bahwa sebenar-benar diriku bukanlah ikan dari sungai positive. Jika aku dipaksa hidup di sungai positive ini maka tunggu waktu sajalah kematianku. Kalau boleh aku pun ingin bertanya, wahai sampah1 temanku. Kenapa pula, engkau tertidur di situ tak berdaya. Engkau terlihat mati tak mau, hiduppun enggan.
Kalau boleh marilah kita bertanya, kepada ikan-ikan itu. Wahai ikan-ikan, kenapa pula, engkau tertidur di situ tak berdaya. Engkau terlihat mati tak mau, hiduppun enggan.

Ikan-ikan:
Wahai sampah1 dan sampah2 temanku, ketahuilah bahwa sebenar-benar diriku bukanlah ikan dari sungai positive. Jika aku dipaksa hidup di sungai positive ini maka tunggu waktu sajalah kematianku. Kalau boleh aku pun ingin bertanya, wahai sampah-sampah sungai positive temanku. Bagaimana pula kita bisa tetap hidup di sini. Itu ada orang tua lewat. Mari kita tanyakan kepadanya, bagaimana kita tetap hidup. Wahai orang tua, bukankah engkau termasuk yang sudah ditangkap oleh komte. Padahal aku tahu bahwa komte telah membuat bendungan besar. Tetapi kenapa engkau bisa sampai di sungai positive ini?

Orang tua berambut putih:
Itulah sebenar-benar diriku. Aku adalah pertanyaan bagi semuanya. Sehebat-hebat bendungan komte, tidak akan bisa mencegah diriku hadir dalam pertanyaanmu. Maka begitu engkau bertanya tentang masa depan hidupmu, maka aku hadirlah di hadapanmu. Sebenar-benar diriku adalah pertanyaan mereka. Sebenar-benar diriku adalah ilmu mereka, yaitu bagi semua ikan-ikan baik ikan-ikannya sungai transenden maupun ikan-ikannya sungai positive.

Sampah-sampah dan ikan-ikan bersama-sama bertanya:
Wahai orang tua berambut putih, jawablah pertanyaanku ini, bagaimana agar aku bisa tetap hidup.

Orang tua berambut putih:
Sebenar-benar dirimu adalah sama semua bagi yang lain penghuni sungai positive ini. Mereka semua juga terancan kematian sepertimu. Jika mereka tampak gagah perkasa, itu hanyalah bersifat sementara dan manipulatif. Namun sebenar-benar mereka sebetulnya sedang menuju kematiannya. Maka agar engkau tetap hidup, serta-merta menujulah ke rembesan air sungai transenden. Mengapa? Karena pada rembesan air sungai transenden itulah engkau akan berjumpa teman-temanmu.

Sampah dan ikan:
Siapakah sebenar-benar teman diriku yang akan membuatku tetap hidup.

Orang tua berambut putih:
Itulah sebenar-benar temanmu, yaitu hati nuranimu. Temuilah kualitas, karena itu bagian dari hidupmu.Temuilah relatif, karena itu bagian dari hidupmu. Temuilah mimpi, karena itu bagian dari hidupmu.Temuilah nurani, karena itu bagian dari hidupmu. Temuilah ka priori, karena itu bagian dari hidupmu.Temuilah intuisi, karena itu bagian dari hidupmu. Temuilah ideal, karena itu bagian dari hidupmu.Temuilah absolut, karena itu bagian dari hidupmu. Temuilah subyektif, karena itu bagian dari hidupmu.Temuilah abstrak, karena itu bagian dari hidupmu. Temuilah empati, karena itu bagian dari hidupmu.Temuilah ruang dan waktu, karena itu bagian dari hidupmu. Temuilah pertanyaan, karena itu bagian dari hidupmu. Temuilah geisteswishenshaften, karena itu bagian dari hidupmu. Temuilah spiritual, karena itu bagian dari hidupmu.

Sungai positive semakin besar beserta cabang-cabangnya, bagaimana nasib sampah dan ikan-ikan itu?
Ruang dan waktu akan menjawabnya pada Elegi berikutnya.

Tuesday, February 24, 2009

Elegi Pengakuan Orang Tua Berambut Putih

Oleh Marsigit

Kini aku merasa sudah saatnya aku berterus terang. Aku ingin berterus terang kepada semuanya. Tetapi ketahuilah tidak berterus terang bukanlah berarti bohong. Mengapa aku ingin berterus terang? Karena aku tidak tahu kapan aku berakhir, sedemikian juga seperti ketidaktahuanku kapan aku mulai. Supaya pengakuanku mempunyai bobot yang cukup baik, maka aku akan mencari saksi. Tetapi sebelum aku bertanya kepada saksi-saksi terlebih aku ingin sampaikan bahwa sebenar-benar sebenar-benar saksi tidak lain tidak bukan adalah aku sendiri. Aku ingin mengaku bahwa aku mengetahui segala sesuatu, tetapi jika mereka bertanya kepadaku maka dengan serta merta aku tidak mengetahuinya. Mengapa? Karena sebenar-benar diriku adalah pertanyaan mereka. Bagaimana mungkin aku mengerti tentang pertanyaanku sendiri? Maka sebodoh-bodoh orang adalah diriku ini, karena aku selalu bertanya tentang segala hal, tetapi aku selalu tidak dapat menjelaskannya. Tetapi bukankah mengerti bahwa aku tidak dapat menjawab itu pertanda bahwa tidak tidak mengerti. Maka dapat aku katakan bahwa sebenar-benar diriku adalah tidak tidak mengerti. Hendaknya jangan terkejut bahwa tidak tidak mengerti itu sebenarnya adalah mengerti pula. Maka bukanlah aku yang ingin mengatakan, tetapi mereka yang boleh mengatakan bahwa aku selalu mengerti tentang pertanyaanku itu. Bukankah di sini mereka tahu bahwa sebenar-benar diriku adalah kontradiksi, karena aku sekaligus mengerti dan tidak mengerti. Itulah sebenar-benar ilmu, yaitu kontradiktif. Tetapi janganlah salah paham, kontradiksi itu adalah ilmu, tempat tinggalnya ada dalam pikiranmu.

Orang tua berambut putih berjumpa Socrates, Plato, Aristoteles, George Berkely, Rene Descartes, dan Immanuel Kant.
Wahai Socrates, Plato, Aristoteles, Rene Descartes, David Hume dan Immanuel Kant, ..., bolehka aku bertanya kepadamu. Menurut kesaksianmu, siapakah sebenar-benar dirimu dan sebenar-benar diriku?

Socrates:
Wahai orang tua berambut putih. Sebenar-benar diriku adalah pertanyaanku. Maka aku akan bertanya kepada siapapun tentang segala hal yang aku sukai. Sedangkan sebenar-benar dirimu adalah diriku juga. Maka sebenar-benar dirimu tidak lain adalah pertanyaanku juga pertanyaanmu. Jawaban para pakar dan para ahli itulah sebenar-benar tempat tinggalmu. Itulah sebenar-benar ilmu yaitu pertanyaanmu.

Plato:
Sebenar-benar dirimu adalah pikiranku. Sebenar-benar dirimu adalah imajinasiku. Tidak aku panggil, engkau sudah ada dalam pikiranku. Maka dirimu yang absolut itulah yang selalu aku pikirkan. Semuanya tentang dirimu sudah ada dalam pikiranku. Hanya terkadang aku sulit mengenalimu. Tetapi aku sadar, bahwa banyak orang mencoba mirip-mirip dengan mu. Itulah mereka yang dapat aku lihat dan dapat aku raba. Mereka jumlahnya sangat banyak. Tetapi mereka semuanya bersifat sementara. Maka sebenar-benar dirimu adalah ide-ide ku. Tempat tinggalmu ada dalam pikiranku. Tetapi aku selalu mengkhawatirkanmu, karena dalam pikiranku selalu ada lubang gelap seperti gua. Gua-gua seperti itulah yang menyebabkan aku sulit mengenalmu. Aku juga mengkhawatirkan akan badanku, karena badanku inilah penyebab munculnya gua-gua itu. Maka sebenar-benar dirimu adalah hamba yang terlepas dari penjara badanku. Maka sebenar-benar dirimu adalah pikiranku yang berada di luar gua kegelapanku dan terbebas dari badanku. Itulah sebenar-benar ilmu, tidak lain tidak bukan adalah pikiranku. Tetapi aku mengalami kesulitan untuk menjelaskan kepada orang-orang tentang tempat tinggalmu itu.

Aristoteles:
Aku agak berbeda dengan guruku Plato. Menurutku, sebenar-benar dirimu adalah adalah pengalamanku. Maka tempat tinggalmu adalah pada pengalamanku. Begitu aku menggapai pengalamanku maka dengan serta merta muncullah dirimu itu. Maka menurutku, sebenar-benar dirimu adalah yang dapat aku lihat, aku raba, dan aku indera. Maka sebenar-benar dirimu adalah diluar diriku. Padahal aku tahu bahwa dirimu adalah diriku. Maka aku tidak lain tidak bukan adalah sekaligus bukan aku. Mengapa? Karena aku mengalami kesulitan memahami engkau yang berada diluar diriku. Dan juga mengalami kesulitan bagaimana aku dapat menjelaskan kepada orang-orang bahwa engkau yang berada di luar diriku itu sebenar-benarnya adalah diriku.

George Berkely:
Menurutku, engkau adalah yang aku lihat atau aku persepsi. Jikalau engkau tidak adalah di situ, maka tidak adalah sebenar-benarnya engkau itu. Esse est percipi itulah kata-kataku. Maka sebenar-benar engkau adalah tipuanmu belaka. Engkau adalah fatamorgana. Maka sebenar-benar engkau yang adapat aku lihat adalah tipuan juga. Jadi apalah artnya sesuatu yang dapat engkau lihat itu, kecuali hanya tipuan belaka. Maka dunia ini tidak lain tidak bukan adalah tipuan belaka. Itulah sebenar-benar dirimu itu. Padahal aku tahu bahwa dirimu adalah diriku juga, maka sebenar-benar ilmu itu tidak lain tidak bukan adalah tipuan butamu.

Rene Descartes:
Menurutku, sebenar-benar dirimu adalah mimpiku. Tiadalah aku dapat menemukanmu tanpa mimpi-mimpi itu. Bagiku mimpi adalah nyata. Dan yang nyata bisa juga menjadi mimpiku. Maka sebenar-benar diriku adalah tidak dapat membedakan apakah kenyataan atau mimpiku. Namun aku selalu risau karena jika aku ingin berjumpa denganmu aku selalu dihadang makhluk hitam yang akan menyesatkanku, sehingga aku selalu salah mengertimu. Maka selalulah terjadi bahwa aku selalu meragukan keberadaanmu. Maka sebenar-benar dirimu adalah keraguanku itu sendiri. Itulah sebenar-benar ilmu, yaitu keraguanmu. Aku meragukan semuanya tanpa kecuali. Hanyalah ada satu yang tidak dapat aku ragukan yaitu diriku sendiri yang meragukan itu. Itulah satu-satunya kepastian bagiku. Cogito ergosum itulah kata-kataku, yaitu bahwa diriku itu ada karena aku tahu sedang meragukannya. Bukankah itu sebenar-benar dirimu. Maka sebenar-benar keberadaanku adalah diriku yang berpikir ini.

Immanuel Kant:
Menurutku engkau adalah pikiranku sekaligus pengalamanku. Tiadalah dirimu itu ada di situ tanpa pikiranku atau tanpa pengalamanku. Sedangkan tempat tinggalmu adalah di dalam intuisiku. Ketahuilah bahwa aku mempunyai dua intuisi yaitu intuisi ruang dan intuisi waktu. Itulah sebenar-benar tempat tinggalmu. Tetapi untuk mengerti tentang dirimu aku harus bersifat kritis. Maka sebanar-benar dirimu adalah pikiranku yang kritis. Itulah sebenar-benar ilmu, tidak lain tidak bukan adalah pikiran kritismu. Namun ketahui pula bahwa tidaklah mudah menggapai dirimu. Ketika engkau kukejar dengan pikiran kritisku, maka engkau lari menuju keputusanmu. Itulah setinggi-tinggi tempat tinggalmu, yaitu pada keputusanku. Maka sebenar-benar ilmu tidak lain tidak bukan adalah keputusanmu.

Orang tua berambut putih tidak puas dengan jawaban Socrates, Plato, Aristoteles, George Berkely, Rene Descartes, dan Immanuel Kant.
Ah, ngacau semua mereka itu. Jawaban mereka sesuai selera masing-masing. Maka belum puaslah diriku alan jawaban mereka semua. Tetapi aku sadar bahwa aku sedang berada pada jaman jauh sebelum diriku sekarang. Padahal aku belum sempat bertanya kepada orang sekarang yang berseliweran didepanku. Maka aku berjanji akan meneruskan perjalananku untuk bertanya siapa sebenarnya diriku itu?

Orang tua berambut putih bertemu Hegel, Brouwer, Russell, Wittgenstein, Hilbert, Godel, Husserll, dan Ernest
Wahai Hegel, Brouwer, Russell, Wittgenstein, Hilbert, Godel, Husserll, dan Ernest, ..bolehkah aku bertanya kepadamu. Menurut kesaksianmu, siapakah sebenar-benar dirimu dan sebenar-benar diriku itu?
Hegel:
Sebenar-benar dirimu adalah riwayatku. Padahal hidupku telah melampuai masa laluku, dan sedang mengalami waktu kiniku dan bersiap-siap untuk menempuh masa depanku. Itulah sebenar-benar dirimu, adalah sejarah bagimu. Maka akupun tidak lain tidak bukan adalah sejarah itu sendiri. Jadi sebenar-benar ilmu adalah sejarah dirimu. Hidupmu adalah sejarah diriku. Diriku adalah sejarah dunia ini. Maka sebenar-benar dunia adalah mensejarah. Ketahuilah bahwa tiadalah ada di dunia ini beserta wadah dan isinya yang tidak mensejarah. Make tersesatlah wahai orang-orang yang melupakan akan sejarahnya.
Brouwer:
Sebenar-benar dirimu adalah intuisiku. Namun hendaknya engkau ketahui bahwa intuisiku bersifat ganda. Maksudnya adalah jika aku memikirkanmu yang satu maka aku masih dapat mengingat engkau yang lain. Demikianlah seterusnya. Itulah sebenar-benar ilmuku. Yaitu intuisiku yang bersifat ganda.
Russell:
Sebenar-benar dirimu adalah logikaku. Hukum sebab-akibat dalam koherensi itulah sebenar-benar dirimu itu. Dirimu adalah konsistensi logikaku. Dirimu adalah kepastian pikiranku. Dirimu adalah kejelasan pikiranku. Maka sebenar-benar dirimu adalah premis-premis dan kesimpulan yang bersifat rigor. Tiadalah ada dirimu di situ jikalau engkau menyalahi hukum-hukumnya. Tetapi ternyata aku mempunyai musuh yang maha besar yang siap menerkam diriku. Yaitu ketika aku tidak bisa menjawab apakah engkau yang tidak sama dengan engkau itu termasuk anggota dari kumpulan engkau.
Wittgenstein:
Sebenar-benar dirimu adalah kata-kataku. Maka sebenar-benar ilmu itu adalah kata-kata. Kata-kata dan bahasa itulah rumahku. Maka engkau yang besar dapat aku lihat sebagai kumpulan engkau yang kecil-kecil. Engkau yang besar adalah gabungan engkau yang kecil-kecil. Demikianlah sifat kata-kata dan kalimat-kalimat dalam bahasa. Maka barang siapa tidak dapat mengucapkan kata-katanya, maka dia terncam kehilangan ilmunya.
Hilbert:
Sebenar-benar dirimu adalah sistimku. Sebenar-benar dirimu adalah formalitasku. Maka sistimku yang tersusun secara formal itulah sebenar-benar engkau. Itulah engkau yang mampu menaungi semuanya tanpa kecuali. Engkau yang satu adalah tujuanku. Maka tiadalah ilmu yang lain kecuali engkau yang satu itu. Engkau yang satu itulah konsistensi dan kelengkapanmu. Maka sebenar-benar ilmu adalah satu, konsisten dan lengkap. Tetapi aku bermimpi akan ada seseorang muridku yang membalikkan pikiranku ini. Tetapi entahlah.
Godel:
Sebenar-benar dirimu adalah pilihanmu. Engkau tingal memilih salah satu. Jika engkau memilih konsisten, maka tidak akan lengkapkah engkau itu. Jika engkau memilih kelengkapan, maka tidak akanlah engkau itu konsisten. Untuk itu aku berani mempertaruhkan segalanya di depan guruku Hilbert bahwa pernyataanku itu memang benar demikianlah.
Husserll:
Sebenar benar dirimu adalah hanya sebagian dari diriku. Engkau tidak akan mengerti akan dirimu jika engkau berusaha menggapai semuanya. Maka sebenar-benar ilmu adalah phenonemologi, yaitu sebagian darimu yang aku sembunyikan yang lainnya di dalam rumah epoche. Jika aku berpikir tentang satu maka aku singkirkan yang lainnya. Aku bersihkan pikiranku dari memikirkan yang lainnya. Jika aku memikirkan engkau sebagai kubus matematika, maka aku singkirkan semua sifat-sifat yang tidak aku kehendaki. Bukankah ketika aku memikirkan kubus matematika aku tidak perlu memikirkan aroma, aku tidak perlu memikirkan harga jual, aku tidak perlu memikirkan keindahan. Itu semua aku simpan dalam rumah epoche. Sedang yang aku pikirkan hanyalah ukuran dan bentuk dari kubus itu. Itulah sebenar-benar ilmu, yaitu satu atau beberapa sifat dari dirimu yang aku pilih untuk aku pikirkan.
Ernest:
Sebenar-benar dirimu adalah pergaulanmu. Maka tiadalah dirimu itu tanpa pergaulanmu. Itulah sebenar-benar ilmu, yaitu pergaulan itu sendiri. Maka selalu bergaullah antar sesamamu agar engkau memperoleh ilmumu. Itulah sebenar-benar ilmu, yaitu perolehanmu dalam pergaulanmu. Maka socio-constructivist adalah kata-kataku. Yaitu bahwa ilmumu kamu peroleh melalui pergaulanmu.
Orang tua berambut putih ternyata belum puas dengan jawaban Hegel, Brouwer, Russell, Wittgenstein, Hilbert, Godel, Husserll, dan Ernest
Ah, ngacau semua mereka itu. Jawaban mereka sesuai selera masing-masing. Maka belum puaslah diriku akan jawaban mereka semua. Tetapi aku sadar bahwa aku sedang berada perjalananku. Tetapi aku ragu apakah aku mampu memikirkan masa depanku?
Orang tua berambut putih bertemu dengan Teleologi
Wahai seseorang, siapakah dirimu itu. Rasa-rasanya aku pernah melihatmu, tetapi tidaklah begitu jelas. Rasa-rasanya aku pernah pergi bersamamu tetapi aku lupa kemana ketika itu. Rasa-rasanya aku pernah berdiskusi denganmu, tetapi aku lupa tentang apa yang kita diskusikan ketika itu.
Teleologi:
Kenalkanlah namaku adalah teleologi. Aku adalah adalah seorang pembantu. Engkau ingatlah seseorang yang bernama Immanuel Kant. Itulah sebenar-benar tuanku. Aku disuruh oleh Immanuel Kant untuk menemuimu. Mengapa? Karena Immanuel Kant mendengar pertanyaan dan kegelisahan dirimu tentang masa depanmu.
Orang tua berambut putih:
Menurut pengetahuanku, Immanuel Kant mempunyai banyak sekali pembantu. Maka tolong jelaskanlah engkau siapa sebenarnya.
Teleologi:
Aku adalah masa depan. Aku berangkat dari masa lampau. Aku adalah semuanya dalam dimensi ruang dan waktu.
Orang tua berambut putih:
Aku tidak jelas penjelasanmu itu. Tolong bicara yang agak rinci.
Teleologi:
Tiadalah sesuatu itu tidak berasal dari sesuatu yang lain. Tiadalah pula sesuatu itu tidak menjadi sesuatu yang lain. Benda sebesar bumi ini akan menjadi sebuah titik jika engkau melihatnya dari kejauhan. Maka sebaliknya, tidaklah engkau dapat menduga bahwa sebuah titik pun bisa menjadi bumi pada masa depannya. Garis sepanjang ini akan menjadi titik jika engkau melihatnya dari kejauhan. Maka sebaliknya, tidaklah engkau dapat menduga bahwa sebuah titik pun bisa menjadi garis pada masa depannya. Berdasarkan analogi tersebut maka aku mengkhawatirkanmu bahwa di masa depanmu engkau akan bisa berbentuk apa saja. Engkau bisa saja terbang seperti seekor burung jika seribu, sejuta, semilyard keturunanmu selalu menginginkan terbang dan beratih untuk terbang. Itulah sebenar-benar diriku. Itu pulalah sebenar-benar ilmuku dan juga ilmumu. Jadi sebenar-benar ilmu adalah diriku, yaitu teleologi.
Pengakuan oran tua berambut putih:
Oh begitu indah dan hebat titah-titah para filsuf itu. Itu baru sebagian kecil yang aku tanyai. Jika berkenan. dengarkanlah pengakuanku ini. Sekarang aku merasa sangat menyesal atas perbuatanku selama ini. Mengapa? Karena aku telah berlaku sombong. Aku telah merasa bisa untuk bicara tentang apa saja. Padahal semua titaf-titaf para filsuf itu semuanya adalah hebat-hebat bagi diriku. Maka aku ingin bersaksi bahwa tiadalah suatu arti bagi ilmu-ilmu jika tidak tentang pikiran para ilmuwan-ilmuwan atau para filsuf-filsuf. Sebaliknya, adalah buta pulalah ilmu-ilmu itu jikalau tidak minta kesaksian akar dan rumputnya. Maka sebenar-benar diriku adalah pikiran mereka dan kesaksian mereka.

Sunday, February 22, 2009

Elegi Hamba Menggapai Isi dan Wadah

Oleh: Marsigit

Wadah, bangga dengan statusnya
Aku adalah wadah. Wadah bagi semuanya. Ini adalah statusku. Aku sekaligus namaku. Tiadalah suatu isi apapun tidak memerlukan wadah. Maka barang siapa mereka mengaku sebagai isi maka pastilah mereka memerlukanku. Lebih dari itu barang siapa mengaku sebagai wadah maka akupun wadahnya. Maka aku adalah wadah bagi semuanya tanpa kecuali. Oleh karena itu maka sudah pantaslah jika aku memang memperoleh kedudukann istimewa. Aku tidak perlu pusing-pusing mengurusi isi dan juga wadah-wadah yang lain, karena semuanya itu akan masuk kedalamku, yaitu mereka akan selaluterwadahkan oleh ku.

Isi, bangga dengan statusnya
Aku adalah isi. Isi bagi semuanya. Ini adalah statusku. Aku sekaligus namaku. Tiadalah suatu wadah apapun tidak memerlukan isi. Maka barang siapa mereka mengaku sebagai wadah maka pastilah mereka memerlukanku. Lebih dari itu barang siapa mengaku sebagai wadah maka akupun isinya. Maka aku adalah isi bagi semuanya tanpa kecuali. Oleh karena itu maka sudah pantaslah jika aku memang memperoleh kedudukann istimewa. Aku tidak perlu pusing-pusing mengurusi wadah dan juga wadah-wadah yang lain, karena semuanya itu akan memerlukanku, yaitu mereka akan mencari isi.

Siswa tertegun melihat wadah dan isi gurunya:
Aku melihat guru-guru di sana. Kelihatannya mereka adalah wadah-wadah yang besar. Tetapi aku heran mengapa wadah-wadah itu tidak serakus biasanya. Biasanya mereka selalu melahap apapun isi dan wadah. Kenapa untuk pelajaran kali ini dia menginginkan aku sebagai isi. Padahal sebesar-besar tujuan hidupku adalah wadah pula. Tetapi aku pernah melihat dan mendengar bisik-bisik sesama para guru. Aku agak terkejut karena, dalam bisik-bisiknya, para guru itu ternyata sangat menginginkan wadahku pula. Tetapi di depanku mereka hanya menginginkan isiku. Maka aku berkesimpulan bahwa guru-gur itu ternyata bersifat manipulatif.

Mahasisa dan guru tertegun melihat wadah dan isi dosennya:
Aku melihat dosen-dosen di sana. Kelihatannya mereka adalah wadah-wadah yang besar. Tetapi aku heran mengapa wadah-wadah itu tidak serakus biasanya. Biasanya mereka selalu melahap apapun isi dan wadah. Kenapa untuk kuliah kali ini dia menginginkan aku sebagai isi. Padahal sebesar-besar tujuan hidupku adalah wadah pula. Tetapi aku pernah melihat dan mendengar bisik-bisik sesama para dosen. Aku agak terkejut karena, dalam bisik-bisiknya, para dosen itu ternyata sangat menginginkan wadahku pula. Tetapi di depanku mereka hanya menginginkan isiku. Maka aku berkesimpulan bahwa dosen-dosen itu ternyata bersifat manipulatif.

Dosen tertegun melihat wadah dan isi orang tua berambut putih:
Aku melihat para orang tua berambut putih di sana. Kelihatannya mereka adalah wadah-wadah yang besar. Tetapi aku heran mengapa wadah-wadah itu tidak serakus biasanya. Biasanya mereka selalu melahap apapun isi dan wadah. Kenapa untuk kali ini dia menginginkan aku sebagai isi. Padahal sebesar-besar tujuan hidupku adalah wadah pula. Tetapi aku pernah melihat dan mendengar bisik-bisik sesama para orang tua berambut putih. Aku agak terkejut karena, dalam bisik-bisiknya, para orang tua berambut putih itu ternyata sangat menginginkan wadahku pula. Tetapi di depanku mereka hanya menginginkan isiku. Maka aku berkesimpulan bahwa para orang tua berambut putih itu ternyata bersifat manipulatif.

Siswa bertanya kepada mahasiswa:
Wahai kakak-kaka mahasiswa. Bolehkah aku bertanya kepadamu. Sebetul-betul dirimu itu, mementingkan wadah atau isi?Bagaimana menurutmu apakah engkau lebih suka wadah atau isi?

Mahasiswa1:
Wahai adikku siswa yang ku banggakan, bukankah statusku sebagai mahasiswa itu adalah wadah. Itu adalah hak istimewaku. Itulah pula wadah yang mungkin perlu engkau gapai. Terus terang saja, aku lebih suka wadah. Mengapa? Karena selama ini aku hidup dan dihidupkan oleh wadahku. Maka wadah bagiku adalah segala-galanya. Bahkan aku dapat katakan bahwa sebenar-benar diriku adalah wadahku. Buat apalah isi bagiku. Bagiku isi hanyalah basa basi.

Mahasiswa2:
Wahai adikku siswa yang ku banggakan, bukankah selama ini aku tidak pernah
membangga-banggakan wadahku. Apalah artinya kedudukanku sebagai mahasiswa jika aku tidak mampu menunjukkan potensiku sebagai mahasiswa. Maka aku adalah orang yang sangat khawatir dengan wadah. Sebaliknya, seumur-umur hidupku adalah isi itulah tujuanku. Aku bahka rela kulepas statusku sebagai mahasiswa jikalau itu memang perlu demi aku menggapai isiku. Maka sebenar-benar aku, dapat aku katakan bahwa aku adalah isiku.

Guru bertanya kepada dosen:
Wahai para dosenku. Bolehkah aku bertanya kepadamu. Sebetul-betul dirimu itu, mementingkan wadah atau isi?Bagaimana menurutmu apakah engkau lebih menyukai wadah atau isi?

Dosen1:
Wahai guru yang ku banggakan, bukankah statusku sebagai dosen itu adalah wadah. Itu adalah hak istimewaku. Itulah pula wadah yang mungkin perlu engkau gapai. Terus terang saja, aku lebih suka wadah. Mengapa? Karena selama ini aku hidup dan dihidupkan oleh wadahku. Maka wadah bagiku adalah segala-galanya. Bahkan aku dapat katakan bahwa sebenar-benar diriku adalah wadahku. Buat apalah isi bagiku. Bagiku isi hanyalah basa basi.

Dosen2:
Wahai guru yang ku banggakan, bukankah selama ini aku tidak pernah
membangga-banggakan wadahku. Apalah artinya kedudukanku sebagai dosen jika aku tidak mampu menunjukkan potensiku sebagai dosen. Maka aku adalah orang yang sangat khawatir dengan wadah. Sebaliknya, seumur-umur hidupku adalah isi itulah tujuanku. Aku bahka rela kulepas statusku sebagai dosen jikalau itu memang perlu demi aku menggapai isiku. Maka sebenar-benar aku, dapat aku katakan bahwa aku adalah isiku.

Siswa, mahasiswa, guru dan dosen bimbang memikirkan wadah dan isi:
Dari percakapan yang kita dengar tentang wadah dan isi, aku menjadi bimbang. Apa sebetulnya wadah itu? Apa sebetulnya isi itu. Jika aku minum segelas air, maka gelas adalah wadahnya, dan air adalah isinya. Tetapi jika aku sebut air adalah wadah, maka aku belum tahu pasti apakah isinya, mungkin salah satu isinya adalah oksigen. Tetapi jika aku berpikir bahwa oksigen adalah wadah, maka aku semakin bingung apakah sebenarnya isinya. Jika siswa adalah wadah, maka isinya adalah kemampuannya dan kepribadiannya. Jika wadahku adalah mahasiswa maka isiku adalah kemampuan dan kepribadiannya. Jika guru adalah wadahku maka isiku adalah kemampuan dan kepribadiannya. Jika dosen adalah wadahku maka kemampuan dan kepribadianku adalah isinya. Nah ini aku temukan ijasah dan sertifikat. Aku cari-cari dalam daftar tetapi aku tidak menemukan secara tegas bahwa ijasah dan sertifikat adalah isi, tetapi samar-samar tertulis mereka sebagai wadah.

Orang tua berambut putih datang menghampiri siswa, mahasiswa, guru dan mahasiswa

Siswa, mahasiswa, guru dan dosen bersama-sama menegur orang tua berambut putih:
Wahai orang tua berambut putih. Kenapa engkau duduk di situ? Bukankan untuk duduk di situ engkau harus berbekal wadah dan isi. Maka tunjukkan manakah wadah dan isimu?

Orang tua berambut putih:
Ketahuilah bahwa sebenar-benar diriku adalah tidak punya wadah, dan sebenar-benar diriku adalah tidak punya isi. Satu-satunya yang aku punya adalah kemampuanku untuk selalu hadir pada setiap pertannyaanmu.

Siswa bertanya tentang isinya:
Wahai orang tua berambut putih, kalau begitu tunjukkanlah kepadaku, sebagai seorang siswa, apakah isiku itu?

Orang tua berambut putih:
Sebagai seorang siswa, maka isimu adalah rasa syukurmu bahwa engkau telah menjadi siswa, kemudian rasa syukurmu akan menghasilkan rasa senang dan motivasi untuk menjadi siswa yang baik dan berprestasi, untuk mewujudkan cita-citamu itu maka engkau perlu menyesuaikan sikap dan perbuatanmu. Sesuaikanlah sikap dan perbuatanmu itu sebagaimana engkau menginginkan sebagai seorang siswa yang baik dan berprestasi. Tidak hanya itu, engkaupun harus iklhas, tawadu’ dan istiqomah untuk selalu mencari dan menambah-tambah ilmumu agar engkau memperoleh keterampilan sebagaimana engkau dituntut sebagai seorang siswa yang baik dan berprestasi. Janganlah puas sampai disitu, karena sebagai siswa yang baik dan berprestasi juga dituntut untuk mengembangkan dan mencari pengalaman. Itulah sebenar-benar isi dari seorang siswa.

Siswa bertanya tentang wadahnya:
Lalu sebagai seorang siswa, maka apakah wadahku itu?

Orang tua berambut putih:
Sebagai seorang siswa maka wadahmu adalah status, kedudukan, tugas dan tangungjawabmu sebagai siswa. Tetapi harap ingatlah bahwa engkau akan selalu diminta pertanggungjawaban akan wadahmu itu. Maka ada atau tidaknya wadahmu itu tergantung bagaimana mengisi wadah itu. Wadahmu bisa sempit bisa juga luas, bisa kecil bisa juga besar, bisa penting bisa juga tidak penting, bisa ada bisa juga tidak ada. Maka sebenar-benar yang terjadi adalah bahwa wadah tidaklah mempunyai batas dengan isi. Wadahmu akan selalu hadir ketika engkau wujudkan isimu. Maka sebenar-benar wadah tidak lain tidak bukan adalah isi. Maka tersesatlah wahai para siswa yang hanya mengejar wadah tetapi tidak mau mengisinya. Tetapi benar-benar merugilah jika para siswa hanya mengejar isi tetapi tidak mau mengenal wadahnya.

Guru bertanya tentang isinya:
Wahai orang tua berambut putih, kalau begitu tunjukkanlah kepadaku, sebagai seorang guru, apakah isiku itu?

Orang tua berambut putih:
Sebagai seorang guru, maka isimu adalah rasa syukurmu bahwa engkau telah menjadi guru, kemudian rasa syukurmu akan menghasilkan rasa senang dan motivasi untuk menjadi guru yang baik dan berprestasi. Untuk mewujudkan cita-citamu itu menjadi guru yang baik maka engkau perlu menyesuaikan sikap dan perbuatanmu. Sesuaikanlah sikap dan perbuatanmu itu sebagaimana engkau menginginkan sebagai seorang guru yang baik dan berprestasi. Tidak hanya itu, engkaupun harus iklhas, tawadu’ dan istiqomah untuk selalu mencari dan menambah-tambah ilmumu agar engkau memperoleh keterampilan sebagaimana engkau dituntut sebagai seorang guru yang baik dan berprestasi. Janganlah puas sampai disitu, karena sebagai guru yang baik dan berprestasi juga dituntut untuk mengembangkan dan mencari pengalaman. Itulah sebenar-benar isi dari seorang guru.

Guru bertanya tentang wadahnya:
Lalu sebagai seorang guru, maka apakah wadahku itu?

Orang tua berambut putih:
Sebagai seorang guru maka wadahmu adalah status, kedudukan, tugas dan tangungjawabmu sebagai guru. Tetapi harap ingatlah bahwa engkau akan selalu diminta pertanggungjawaban akan wadahmu itu. Maka ada atau tidaknya wadahmu itu tergantung bagaimana mengisi wadah itu. Wadahmu bisa sempit bisa juga luas, bisa kecil bisa juga besar, bisa penting bisa juga tidak penting, bisa ada bisa juga tidak ada. Maka sebenar-benar yang terjadi adalah bahwa wadah tidaklah mempunyai batas dengan isi. Wadahmu akan selalu hadir ketika engkau wujudkan isimu. Maka sebenar-benar wadah tidak lain tidak bukan adalah isi. Maka tersesatlah wahai para guru yang hanya mengejar wadah tetapi tidak mau mengisinya. Tetapi benar-benar merugilah jika seorang guru hanya mengejar isi tetapi tidak mau mengenal wadahnya.

Mahasiwa bertanya tentang isinya:
Wahai orang tua berambut putih, kalau begitu tunjukkanlah kepadaku, sebagai seorang mahasiswa, apakah isiku itu?

Orang tua berambut putih:
Sebagai seorang mahasiswa, maka isimu adalah rasa syukurmu bahwa engkau telah menjadi mahasiswa, kemudian rasa syukurmu akan menghasilkan rasa senang dan motivasi untuk menjadi mahasiswa yang baik dan berprestasi. Untuk mewujudkan cita-citamu itu menjadi mahasiswa yang baik maka engkau perlu menyesuaikan sikap dan perbuatanmu. Sesuaikanlah sikap dan perbuatanmu itu sebagaimana engkau menginginkan sebagai seorang mahasiswa yang baik dan berprestasi. Tidak hanya itu, engkaupun harus iklhas, tawadu’ dan istiqomah untuk selalu mencari dan menambah-tambah ilmumu agar engkau memperoleh keterampilan sebagaimana engkau dituntut sebagai seorang mahasiswa yang baik dan berprestasi. Janganlah puas sampai disitu, karena sebagai seorang mahasiswa yang baik dan berprestasi juga dituntut untuk mengembangkan dan mencari pengalaman. Itulah sebenar-benar isi dari seorang mahasiswa.

Mahasiswa bertanya tentang wadahnya:
Lalu sebagai seorang mahasiswa, maka apakah wadahku itu?

Orang tua berambut putih:
Sebagai seorang mahasiswa maka wadahmu adalah status, kedudukan, tugas dan tangungjawabmu sebagai mahasiswa. Tetapi harap ingatlah bahwa engkau akan selalu diminta pertanggungjawaban akan wadahmu itu. Maka ada atau tidaknya wadahmu itu tergantung bagaimana mengisi wadah itu. Wadahmu bisa sempit bisa juga luas, bisa kecil bisa juga besar, bisa penting bisa juga tidak penting, bisa ada bisa juga tidak ada. Maka sebenar-benar yang terjadi adalah bahwa wadah tidaklah mempunyai batas dengan isi. Wadahmu akan selalu hadir ketika engkau wujudkan isimu. Maka sebenar-benar wadah tidak lain tidak bukan adalah isi. Maka tersesatlah wahai para mahasiswa yang hanya mengejar wadah tetapi tidak mau mengisinya. Tetapi benar-benar merugilah jika seorang mahasiswa hanya mengejar isi tetapi tidak mau mengenal wadahnya.

Dosen bertanya tentang isinya:
Wahai orang tua berambut putih, kalau begitu tunjukkanlah kepadaku, sebagai seorang dosen, apakah isiku itu?

Orang tua berambut putih:
Sebagai seorang dosen, maka isimu adalah rasa syukurmu bahwa engkau telah menjadi dosen, kemudian rasa syukurmu akan menghasilkan rasa senang dan motivasi untuk menjadi dosen yang baik dan berprestasi. Untuk mewujudkan cita-citamu itu menjadi dosen yang baik maka engkau perlu menyesuaikan sikap dan perbuatanmu. Sesuaikanlah sikap dan perbuatanmu itu sebagaimana engkau menginginkan sebagai seorang dosen yang baik dan berprestasi. Tidak hanya itu, engkaupun harus iklhas, tawadu’ dan istiqomah untuk selalu mencari dan menambah-tambah ilmumu agar engkau memperoleh keterampilan sebagaimana engkau dituntut sebagai seorang dosen yang baik dan berprestasi. Janganlah puas sampai disitu, karena sebagai seorang dosen yang baik dan berprestasi juga dituntut untuk mengembangkan dan mencari pengalaman. Itulah sebenar-benar isi dari seorang dosen.

Dosen bertanya tentang wadahnya:
Lalu sebagai seorang dosen, maka apakah wadahku itu?

Orang tua berambut putih:
Sebagai seorang dosen maka wadahmu adalah status, kedudukan, tugas dan tangungjawabmu sebagai dosen. Tetapi harap ingatlah bahwa engkau akan selalu diminta pertanggungjawaban akan wadahmu itu. Maka ada atau tidaknya wadahmu itu tergantung bagaimana mengisi wadah itu. Wadahmu bisa sempit bisa juga luas, bisa kecil bisa juga besar, bisa penting bisa juga tidak penting, bisa ada bisa juga tidak ada. Maka sebenar-benar yang terjadi adalah bahwa wadah tidaklah mempunyai batas dengan isi. Wadahmu akan selalu hadir ketika engkau wujudkan isimu. Maka sebenar-benar wadah tidak lain tidak bukan adalah isi. Maka tersesatlah wahai para dosen yang hanya mengejar wadah tetapi tidak mau mengisinya. Tetapi benar-benar merugilah jika seorang dosen hanya mengejar isi tetapi tidak mau mengenal wadahnya.

Siswa, mahasiswa, guru dan dosen secara bersama-sama bertanya:
Lalu, bagaimanakah agar aku bisa selalu mewujudkan wadahku dan bisa mengisinya?

Orang tua berambut putih:
Serendah-rendah kualitas wadah adalah jika isinya hanya untuk dirimu sendiri. Maka tingkatkanlah wadahmu itu. Tetapi serendah-rendah lagi kualitas hidupmu adalah jika engkau tidak mampu mengisi wadahmu. Karena sebenar-benar yang terjadi adalah bahwa wadahmu tidak lain tidak bukan adalah amanah bagimu. Sedangkan isi adalah usaha dan ikhtiarmu. Tetapi jika engkau mampu mewujudkan bahwa isimu juga bermanfaat bagi orang lain, maka itulah sebenar-benar wadahmu yang meningkat kualitasnya. Barang siapa mampu meningkatkan kualitas wadahnya maka meningkat pula kualitas isinya, dan dengan demikian meningkat pula kualitas dan dimensi hidupnya. Namun tantangan terbesarmu adalah sejauh mana dirimu bekerjasama dengan orang lain, sejauh mana engkau masuk dan memuat jejaring, sejauh mana engkau mampu berkomunikasi, sejauh mana engkau duduk dan berperan pada jejaring yang lebih luas sehingga engkau dapat berperan dan berkontribusi untuk orang-orang banyak pada tataran aatau level yang lebih luas pula. Itulah setinggi-tinggi kualitas wadah dan isimu di dunia ini.

Siswa, mahasiswa, guru dan dosen secara bersama-sama bertanya:
Terimakasih orang tua berambut putih. Kemudian kalau boleh kami masih ingin bertanya. Maka, sebagai orang tua berambut putih apakah wadah dan isimu itu?

Orang tua berambut putih:
Bagi orang-orang yang baru mengenalku, maka jawabanku adalah bahwa sebenar-benar diriku adalah tidak punya wadah dan tidak punya isi. Tetapi karena engkau telah lama mengenal diriku, maka jawabanku adalah bahwa sebenar-benar diriku adalah pengetahuanmu. Diriku adalah ilmumu. Diriku adalah pertanyaanmu. Tempat tinggalku adalah pada batas pengetahuanmu. Maka keberadaanku tergantung dirimu. Maka sebenar-benar tempat tinggalku adalah pada batas antara wadah dan isimu. Tugas dan fungsiku adalah menjadi saksi atas keberadaanmu. Jadi wadahku tidak lain tidak bukan adalah dirimu sendiri. Dan isiku tidak lain-tidak bukan adalah dirimu juga. Maka sebenar-benar diriku adalah semua wadah dan isi mu para siswa. Sebenar-benar diriku adalah wadah dan isi mu pada mahasiswa. Sebenar-benar diriku adalah wadah dan isi mu pada guru. Sebenar-benar diriku adalah wadah dan isi mu pada dosen. Dan sebenar-benar diriku adalah wadah dan isi bagi semua. Itulah ilmu, sekaligus wadah dan isinya bagi semuanya.

Tuesday, February 17, 2009

Elegi Seorang Hamba Menggapai Harmoni

Oleh: Marsigit


Hamba menggapai harmoni meninggalkan gunung menuju ke kota

Hamba menggapai harmoni:
Kini saatnya aku menuruni gunungku. Aku mendapat amanah agar aku segera menuju ke kota. Bayanganku begitu indahnya kota itu. Lain dan sangat kontras dengan keadaanku di gunung ini. Konon berbagai macam kebutuhan ada di kota. Mulai dari sembako, pakaian, dan alat-alat modern ada di kota. Bahkan aku dengar jika aku sudah sampai di kota maka aku bisa bekerja apa saja, membuat pekerjaan apa saja. Lebih dari itu, tetapi yang ini agak mengkhawatirkanku, katanya di kota nanti aku bisa berpikir apa saja dan berbuat apa saja? Begitukah? Tetapi baiklah, karena apapun yang akan terjadi aku harus tetap menuju ke kota.

Hamba menggapai harmoni bertemu dengan satpam kota

Satpam kota:
Wahai seseorang asing, darimanakah engkau dan mau kemanakah engkau itu?

Hamba menggapai harmoni:
Aku orang gunung. Aku ingin ke kota. Bolehkah aku bertanya? Di manakah kota itu dan dimana pula jalan menuju ke sana? Aku ingin ke sana karena aku ingin menjadi orang kota.

Satpam kota:
Wahai orang gunung. Tidak sembarang orang bisa masuk kota. Aalagi engkau ini orang gunung. Maka engkau harus memenuhi persyaratan. Ini persyaratannya ada 10 butir. Jika engkau bisa memenuhi persyaratanku ini maka engkau aku ijinkan masuk kota.

Hamba menggapai harmoni:
Baiklah. Kebetulan aku telah mempersiapkan semua persyaratan itu. Maka terimalah persyaratan ini.

Satpam kota:
Baik. Kalau begitu silahkan lewat.

Hamba menggapai harmoni:
Terimakasih. Tetapi sebelum aku masuk kota, aku ingin bertanya dulu kepadamu. Benarkah di kota itu, terdapat apapun yang aku inginkan.

Satpam kota:
Ha..ha..ha. Pertanyaanmu sungguh lucu. Ya jelaslah. Di kota sebesar ini apa sih yang tidak ada. Semua yang engkau inginkan ada di sini. Aku juga bisa menginginkan segalanya di sini. Tetapi aku tidak bisa. Karena aku hanyalah seorang satpam. Maka aku hanya dapat melihat orang-orang silih berganti ke sana ke mari ke situ ke sini, untuk memuaskan hidupnya di sini. Sedangkan aku hanya terpaksa puas melihatnya saja. Maka kalau aku boleh tahu. Sebetulnya engkau ke kota ingin cari apa?

Hamba menggapai harmoni:
Aku tidak ingin mencari yang macam-macam. Aku hanya ingin mencari harmoni.

Satpam kota:
Ha..lucu juga kedengarannya. Apa itu harmoni? Apakah itu nama gedung bioskop? atau nama seseorang?

Hamba menggapai harmoni:
Harmoni itu jiwa, pikiran, hati, ibadah, badan, perasaan, baju, rumah, tidur, jalan, kebun, sungai, teman, alat, perkataan, program, buku, makan pagi, restoran, sekolah, universitas, pegawai, guru, dosen, ...

Satpam kota:
Sudah..sudah.. Ah sial benar aku ini. Pagi-pagi sudah jumpa orang gila. Ditanya ke tota ingin cari apa, jawabannya ngelantur tak karuan. Sudah sana masuk kota. Aku tidak mau lagi bicara dengan engkau.

Hamba menggapai harmoni:
Terimakasih satpam kota. Ketahuilalah. Bahwa masih banyak kata yang belum sempat aku ucapkan. Salah satunya adalah tentang satpam kota. Ketahuilah bahwa harmoni juga ada pada dirimu. Dirimu itulah harmoni. Maka sebenar-benar dirimu itu adalah harmoni.

Hamba menggapai harmoni diterima sebagai mahasiswa dan mengikuti perkulihan

Dosen:
Saudara mahasiwa yang berbahagia. Prinsip hidup kontemporer adalah menjaga keseimbangan, yaitu keseimbangan semua unsur-unsurnya. Tiadalah satu unsur berlebih-lebihan, dan tiada pula unsur-unsur berkekurangan. Di samping itu keseimbangan juga meliputi hubungan antar unsur-unsurnya. Padahal kita tahu bahwa tiadalah unsur-unsur di dunia ini tidak saling berhubungan. Maka keseimbangan unsur-unsur beserta hubungannya itulah yang disebut harmoni.

Mahasiswa 1:
Bagaimanakah caranya agar kita memperoleh harmoni.

Dosen:
Diperlukan pemahaman yang mendasar bagi seseorang untuk memperolah harmoni. Harmoni itu sendiri harus mempunyai landasan yang kuat dan kokoh. Satu-satunya landasan yang dapat di andalkan adalah iman dan taqwa kepada Tuhan YME. Modal utama memperoleh harmoni adalah niat hidup untuk beribadah. Segala aktivitas untuk beribadah. Segala ilmu untuk beribadah. Segala keterampilan untuk beribadah. Dan segala pengalaman untuk beribadah.

Mahasiswa 2:
Ilmu yang bagaimanakah yang bermanfaat untuk memperoleh harmoni.

Dosen:
Untuk memperoleh harmoni maka pikiran anda harus terbebas dari segalam macam residu yang mengkotori pikiranmu itu. Pikiran murni yang belum terkontaminasi itulah dapat diibaratkan sebagai orang gunung. Jadi untuk memperoleh ilmu harmoni, hendaklah saudara-saudara mahasiswa menjadi orang gunung, kemudian turun ke kota.

Mahasiswa 3:
Apakah sebetulnya yang disebut sebagai pikiran murni?

Dosen:
Pikiran murni adalah berpikir kritis. Jikalau seseorang pikirannya masih bersih maka dia akan mampu berpikir kritis.

Mahasiswa 4:
Apakah yang disebut pikiran bersih?

Dosen:
Pikiran bersih adalah pikiran yang merdeka, yaitu pikirannya orang-orang yang masih merdeka untuk mengutarakan pikirannya. Dengan berpikir merdeka itulah dia akan berpikir kritis.

Mahasiswa 5:
Apakah yang disebut berpikir kritis?

Dosen:
Berpikir kritis adalah mengetahui kekurangan dan kelebihan diri orang yang berpikir. Jadi berpikir kritis tidak lain tidak bukan adalah batas pikiran.

Mahasiswa 6:
Aakah yang disebut batas pikiran?

Dosen:
Batas pikiran adalah jika engkau tahu kapan engkau berpikir dan kapan engkau tidak berpikir?

Mahasiswa 7:
Kapan aku tidak berpikir?

Dosen:
Engkau tidak berpikir jikalau engkau sedang tidur atau sedang berdoa.

Mahasiswa 8:
Mengapa aku berdoa dikatakan tidak berpikir?

Dosen:
Jika ketika engkau berdoa, engkau masih pikir-pikir, itu pertanda doa mu belum khusuk.

Mahasiswa 9:
Kapan doaku dikatakan khusuk?

Dosen:
Tiadalah manusia mengetahuinya, kecuali semata-mata hanya karunia Nya lah bahwa doa mu diterima atau tidak.

Hamba menggapai harmoni:
Menurut engkau wahai dosenku, apakah wajahku ini seperti orang gunung atau seperti orang kota?

Dosen:
Orang gunung itulah pikiran murnimu. Orang gunung itulah pikiran kritismu. Maka orang gunung itulah ilmumu.

Hamba menggapai harmoni:
Apakah saya kira-kira dapat menggapai harmoni?

Dosen:
Harmoni tidaklah diam di suatu tempat. Harmoni itu bergerak pada porosnya dan berjalan pada lintasannya. Maka untuk menggapai harmoni itu, tidak ada cara lain engkau juga harus berputar pada porosmu dan bergerak pada lintasanmu. Demikian juga berlaku bagi yang lainnya.

Mahasiswa 10:
Apa yang dimaksud dengan berputar pada porosnya dan bergerak pada lintasannya.

Dosen:
Itulah sebenar-benar kodrat. Manusia ditakdirkan untuk berusaha dan berikhtiar dalam hidupnya. Maka hati, jiwa dan hidupmu harus berputar pada poros iman dan taqwa mu agar engkau selalu mendapat rakhmat dan hidayah Nya. Itulah habluminallah. Sedangkan hati, jiwa dan hidupmu harus berikhtiar menghampiri sesama yang lain dalam pergaulanmua untuk memperkokoh tali ibadah mu dan ibadah mereka. Itulah habluminanash. Maka barang siapa tinggi putaran pada porosnya maka semakin stabil pulalah hidupnya. Dan barang siapa kuat gerakan pada lintasannya maka semakin mendapat banyak pula perolehannya di dunia. Itulah sifat black-hole. Putaran sangat tinggi sehingga seakan diam. Benda yang tidak tampak padahal kemampuannya luar biasa. Itulah sunatullah. Tuhan telah memberikan contoh-contohnya semata demi kebaikan manusia.

Hamba menggapai harmoni:
Aku merasa lega, karena aku merasa telah memperoleh titik terang bagaimana aku bisa menggapai harmoni. Terimakasih dosen. Bolehkah aku mengutarakan refleksiku tentang harmoni?

Dosen:
Boleh. Silahkan.

Hamba menggapai harmoni:
Nikmat terasa hidup ini. Aku melihat dan merasakan harmoni. Aku melihat harmoni di sekitarku. Mereka bekerja sesuai tugas masing-masing dan mereka saling menjaga harmoni. Mereka berkata-kata harmoni. Tugas-tugasnya adalah harmoni. Kantornya adalah harmoni. Perintahnya adalah harmoni. Gedungnya adalah harmoni. Jurusannya adalah harmoni. Maka sebenar-benar yang terjadi adalah aku telah menemukan universitas harmoni. Tempat parkirnya harmoni. Komunikasinya harmoni. Taman dan jalannya harmoni. Jika yang kulihat adalah harmoni maka pikiranku adalah harmoni. Maka pikiranku dan kiran mereka adalah harmoni. Bahasanya dan bahasaku adalah harmoni. Kasih sayangnya adalah harmoni. Pimpinanya adalah harmoni. Petugasnya adalah harmoni. Dosennya adalah harmoni. Dosennya adalah harmoni. Ilmunya adalah harmoni. Maka aku temukan bahwa hidupku adalah harmoni dan hidup mereka adalah harmoni. Maka aku temukan bahwa dunia adalah harmoni. Maka aku berpikir dan apakah aku boleh berpikir bahwa surga itu adalah harmoni. Jika demikian maka aku berpikir dan apakah aku boleh berpikir bahwa berarti neraka itu adalah disharmoni. Maka surga itulah ada di dalam diri orang-orang harmoni dan neraka itulah ada dalam diri orang-orang disharmoni.


Hamba menggapai harmoni:
Dosen, aku ingin bertanya benarkah klaimku tadi. Memang bisakah saya memproduksi kata disharmoni. Lalu bagaimana contohnya disharmoni itu?

Dosen:
Pertanyaan yang baik. Benar pula apa yang engkau pikirkan. Disharmoni adalah lawan harmoni. Disharomi adalah berlebihan. Disharmoni adalah tidak cocok hubungan. Disharmoni adalah tidak sesuai suasana. Disharmoni adalah tidak sesuai peruntukan. Disharmoni adalah tidak sesuai tugasnya. Disharmoni adalah tidak sesuai fungsinya. Disharmoni adalah mendominasi. Disharmoni adalah tidak adil. Disharmoni adalah tidak jujur. Disharmoni adalah tidak selaras.

Hamba menggapai harmoni:
Maaf aku agak bingung. Bisakah engkau memberikan contoh yang konkrit?

Dosen:
Jika dikelas ini engkau selalu dan ingin selalu menonjol tanpa menghiraukan teman-temanmu, itulah disharmoni. Jika engkau menyampaikan pendapat jauh dari kenyataan itulah disharmoni. Jika engkau berkata aneh, itulah disharmoni. Jikalau sekonyong-konyong engkau bicara dalam Bahasa Inggris padahal konteksnya Bahasa Indonesia, itulah disharmoni. Jikalau engkau menasehati secara berlebihan itulah disharmoni. Jikalau engkau bersifat pamer, itulah disharmoni. Jikalau engkau diam, padahal mestinya engkau harus bicara, itulah disharmoni. Jikalau dalam daftar hanya namamu yang muncul itulah disharmoni. Jikalau engkau menuntut bukan hakmu itulah disharmoni. Jikalau engkau bicara vulgar itulah disharmoni. Jika engkau hanya andalkan pikiranmu saja, itulah disharmoni. Jikalau engkau menasehati tidak tepat waktu itulah disharmoni. Jikalau engkau merasa selalu bisa, itulah disharmoni. Jikalau engkau merasa mempunyai peran yang besar, itulah disharmoni. Jikalau engkau memaksakan kehendakmu, itulah disharmoni. Jikalau engkau mengambil jalan pintas, itulah disharmoni. Jikalah engkau terlalu sibuk, itulah disharmoni. Jikalau engkau terlalu banyak pekerjaan, itulah disharmoni. Jikalau engkau tidak menjawab pertanyaan, itulah disharmoni. Jikalau engkau tidak menjawab sms itulah disharmoni. Jikalau engkau bertengkar, itulah disharmoni. Maka sebenar-benar harmoni adalah surga bagimu. Dan sebenar-benar disharmoni adalah neraka bagimu.

Hamba menggapai harmoni:
Kalau begitu siapakah aku ini. Apakah aku ini orang gunung atau aku ini orang kota?

Dosen:
Sebenar-benar dirimu adalah diriku juga. Dirimu, diriku dan diri anda semua para mahasiswaku, sebenar-benar engkau semua adalah hamba menggapai harmoni. Alhamdullilah. Amien.

Friday, February 13, 2009

Elegi Seorang Hamba Menggapai Keputusan

Oleh: Marsigit

Hamba menggapai keputusan mengingat teman lama:
Melihat photo itu, aku teringat teman lamaku. Aku tidak tahu sekarang dia berada di mana. Tetapi aku masih mempunyai banyak ingatan tentang dia. Hanya saja ingatanku tentang dia juga telah banyak berkurang. Tetapi yang pasti adalah bahwa aku betul betul lupa bagaimana aku bisa mengenalnya dulu. Aku juga lupa bagaimana aku bisa mengenal lebih jauh temanku itu. Aku juga lupa bagaimana prosesnya sehingga temanku itu menjadi sangat penting bagi diriku. Tetapi dengan melihat photo itu, sedikit demi sedikit aku mulai mengingatnya. Kenangan manisku bersamanya mulai teringat kembali. Kadang-kadang terdapat ingatan yang muncul secara pelan tetapi pasti. Sehingga pada suatu saat sepertilah aku melihat bayangannya persis seperti dia sekarang berada di depanku.

Hamba menggapai keputusan berjumpa teman lama:
Wahai teman lamaku, salam. Panjang umurlah engkau. Baru saja aku memikirkanmu, ternyata engkau muncul di depanku. Alhamdullilah, bagaimana khabarnya. Baik-baik saja bukan?

Teman lama:
Salam juga sahabatku. Aku sangat gembira bisa bertemu lagi dengan engkau. Aku tidak mengerti juga kenapa pada saat ini aku berada di sini dan ternyata bertemu dengan engkau. Sungguh mengharukan dan aku merasakannya sebagai karunia dan rizki yang diberikan oleh Nya kepada kita berdua.

Hamba menggapai keputusan:
Sebetul-betulnya yang terjadi adalah bahwa aku sedang memikirkan dan mengingat-ingat tentang persaudaraan kita. Kebetulan sekali, barangkali kedatanganmu dapat membantu aku untuk itu. Maka sebelum kita berbicara banyak dan bercerita panjang lebar, aku ingin tanya kepadamu, bagaimana ya kita dulu bisa saling kenal. Apakah engkau ingat?

Teman lama:
Wah, kebetulan juga sepertinya keadaanku seperti engkau. Aku juga tidak begitu ingat bagaimana kita bisa saling kenal. Tetapi paling tidak aku dapat mengatakan satu hal kepadamu, yaitu bahwa kepergianku selama ini sebenarnya telah mendapat sedikit pengetahuan untuk sekedar mengungkap masalah kenal-mengenal.

Hamba menggapai keputusan:
Baiklah coba katakan dan ceritakan apalah pengetahuanmu itu kepadaku.

Teman lama:
Baiklah. Jika kita berdua sama-sama lupa tentang peristiwa yang menimpa kita bersama pada waktu yang lampau, maka untuk mengingatnya kembali atau lebih dari itu untuk mengerti kembali kita bisa menggunakan pengandaian. Menurut teori yang aku dapat, kenalnya seseorang terhadap sesuatu paling tidak dapat melalui 2 (dua) cara yang berbeda. Cara yang pertama adalah karena engkau diberi tahu oleh seseorang tentang diriku. Sedangkan cara kedua adalah karena engkau melihat dan bertemu langsung denganku. Maka bolehkah aku sekarang bertanya, kira-kira dulu, engkau mengenal aku dengan cara diberitahu oleh seseorang atau karena engkau merasa bertemu langsung denganku.

Hamba menggapai keputusan:
Lha yang ini aku juga lupa. Tetapi misal, bahwa ketika aku dulu mengenal engkau dengan cara aku diberitahu oleh seseorang, lalu apa bedanya dengan jika aku melihat dan bertemu langsung denganmu.

Teman lama:
Jelas sangat berbeda. Jika engkau mengenal aku dengan cara engkau diberitahu terlebih dulu oleh seseorang tentang diskripsi diriku, sementara engkau belum pernah melihatku, itulah sebenar-benar yang disebut sebagai a priori. Pengetahuan a priori mu tentang aku bersifat abstrak dan maya. Itu hanyalah ada dalam pikiran dan memorimu. Itulah juga bersifat seperti halnya sifat sebuah wadah. Jadi pengetahuanmu tentang diriku hanyalah bersifat keterangan-keterangan. Maka tiadalah sebenar-benar nilai kebenaran kecuali hanya berdasar hubungan antara keterangan yang satu dengan keterangan yang lainnya. Itulah sebenar-benar yang disebut kebenaran koherensi. Pengetahuan a priori mu tidaklah hanya berlaku untuk pengetahuan tentang diriku saja, tetapi berlaku untuk semuanya. Engkau dapat memikirkan secara a priori apakah matematika itu, benda-benda, obyek-obyek, hukum, peraturan, dan apapun yang ada dan yang mungkin ada di dunia ini. Maka tiadalah hukum kontradiksi di situ kecuali bahwa yang dimaksud kontradiksi adalah inkonsistensi. Maka sebenar-benar ilmu a priori mu tentang matematika adalah matematika yang terbebas dari inkonsistensi.

Hamba menggapai keputusan:
Lalu bagaimana dengan cara kedua? Yaitu jika aku mengenalmu dengan cara melihat sendiri dan bertemu langsung denganmu?

Teman lama:
Jika engkau pertama-tama melihat diriku dengan mata kepalamu sendiri, padahal engkau sebelumnya belum mempunyai informasi apapun tentang diriku, maka itulah sebenar-benar pengetahuan yang bersifat a posteriori. Dengan pengetahuan a posteriori mu tentang diriku berarti engkau menggunakan panca inderamu untuk mengenal diriku. Engkau melakukan pengamatan fisik tentang diriku, itulah sebenar-benar yang dikatakan sebagai kegiatan mempersepsi. Jadi pengetahuan a posteriori mu tentang diriku, engkau peroleh melalui persepsi mu tentang diriku. Maka tiadalah sebenar-benar nilai benar di situ jikalau pengamatanmu tidak cocok dengan keadaan diriku. Itulah yang sebenar-benar disebut sebagai kebenaran korespondensi, yaitu mencocokkan pengetahuanmu dengan kondisi faktualnya.

Hamba menggapai keputusan:
Kemudian, apapun caranya jika ternyata aku telah mengenal dirimu, apa pula bedanya di dalam pikiranku?

Teman lama:
Dilihat dari asal usulnya, sebenar-benar mereka terdapat perbedaan yang mendasar. Pengetahuan a postriori mu tentang diriku dibangun atas dasar kemampuan imajinasimu dan intuisimu dalam ruang dan waktu. Dengan pengematanmu engkau mengembangkan pula kemampuan sensibilitas untuk mendefinisikan diriku dalam ruang dan waktu. Pengetahunmu tentang diriku dikaitkan kedudukanku dalam ruang dan dalam waktu. Kaitanku dan kedudukanku dalam ruang dan waktu itulah yang menyebabkan engkau selalu dapat mengingat tentang diriku. Maka dalam pengetahuan a posteriorimu tentang diriku, keputusanmu adalah pengetahuanmu yang tertinggi, yaitu keputusan apakah pengetahuanmu sesuai dengan data pengamatanmu dan bersifat korespondensi atau tidak.

Hamba menggapai keputusan:
Kemudian, bagaimana pula tentang pengetahuan a priori ku terhadapmu?

Teman lama:
Pengetahuan a priori mu tentang diriku dibangun atas dasar konsistensi antara keterangan yang satu dengan keterangan yang lainnya. Itulah sebenar-benar yang disebut sebagai logika. Maka semua logika dan matematika murni berlakulah hukum koherensi, yaitu hukum bagi tidak bolehnya ada inkonsistensi atau kontradiksi dalam hubungannya. Maka dalam pengetahuan a priori mu tentang diriku, keputusanmu adalah pengetahuanmu yang tertinggi, yaitu keputusan apakah pengetahuanmu bersifat koheren atau tidak.

Hamba menggapai keputusan:
Kemudian bagaimanakan peran kedua pengetahuanku itu terhadap pengetahuanku tentang dirimu?

Teman lama:
Sebenar-benar yang terjadi adalah jika engkau hanya mempunyai pengetahun a priori tentang diriku, maka pengetahuanmu tentang diriku barulah mencapai lima puluh persen. Demikian juga, sebenar-benar yang terjadi adalah jika engkau hanya mempunyai pengetahun a posteriori tentang diriku, maka pengetahuanmu tentang diriku barulah mencapai lima puluh persen. Maka agar engkau mempunyai pengetahuan tentang diriku sebanyak seratus persen, maka itulah sebenar-benar yang terjadi bahwa pengetahuan a priori yang datangnya dari atas (superserve), bertemu dengan pengetahuan a posteriori yang datangnya dari bawah (subserve).

Hamba menggapai keputusan:
Heubatlah engkau. Namun bukankah aku ingin menggapai keputusan, kemudian dimanakah kepurtusanku itu?

Teman lama:
Janganlah terburu-buru memutuskan sesuatu. Karena terdapatlah makhluk hitam besar yang menakutkan yang akan selalu mengganggumu sehingga engkau sulit melakukan keputusan-keputusan.

Hamba menggapai keputusan:
Makhluk seperti apakah itu?

Teman lama:
Sebesar-besar musuhmu di dunia itulah yang disebut prejudice atau wat-prasangka. Makhluk besar hitam tidak lain tidak bukan adalah prasangka burukmu terhadap diriku. Jikalau engkau telah berprasangka buruk terhadap diriku, maka tertutuplah pengetahuan a priori dan pengetahuan a posteriori mu itu. Maka setiap kesimpulanmu tentang diriku tiadalah bersifat konsisten maupun koresponden dengan faktaku yang sebenarnya. Maka apapau hasilnya, keputusany itulah ynag kemudian di sebut sebagai salah.

Hamba menggapai keputusan:
Tidak aku tidak ingin salah memahamimu.

Teman lama:
Jikalau demikian maka hilangkanlah makhluk-makhluk hitam besar itu. Maka sebenar-benar pengetahuanmu yang paling tinggi tidak lain tidak bukan adalah keputusanmu tentang diriku ini.

Hamba menggapai keputusan:
Jadi?

Teman lama:
Sebenar-benar ilmu adalah keputusan. Maka jangan harap engkau merasa berilmu jikalau engkau tidak dapat mengambil suatu keputusan. Itulah bahkan matematika disebut pula sebagai ilmu tentang pengambilan keputusan.

Tuesday, February 10, 2009

Elegi Seorang Hamba Menggapai Ruang dan Waktu

Oleh: Marsigit

Makhluk pemangsa ruang dan waktu:

Hah... tiadalah satupun di depanku bisa lepas dari kendaliku. Selama ini aku merasa punya kelebihan. Aku merasa tiada satu halpun di dunia ini lepas dari kesadaranku. Aku merasa lebih dari orang-orang disekitarku. Aku bahkan merasa kemampuanku bisa mengendalikan apapun yang aku inginkan. Hah.. orang-orang itu. Di hadapanku, mereka itu tidaklah lebih dari hanya kecoa-kecoa. Jika aku mau maka aku bisa tentukan semua nasib-nasibnya. Yah dasar aku. Aku memang sudah kondhang, dan ketenaranku itu akan aku pertahankan hingga titik darah penghabisan. Tetapi siapalah berani menghalangi setiap langkahku. Kiranya tak ada orang sebanding dengan diriku. Oleh karena itu mengapa aku harus risau. Ah risau tidak ada gunanya. Aku pun tidak memerlukan jasa baiknya. Aku paling banter hanya perlu mereka sebagai bahan bakarku. Yah jika mereka berbaik-baik dan membawa manfaat padaku maka barulah aku singkap ujung mataku. Tiadalah catatan dan kamusnya bahwa diriku tidak dapat menggapai tujuan-tujuan dan keinginanku. Mereka baru bangun aku sudah berpikir. Mereka baru mulai berpikir, aku sudah bertindak. Mereka baru mulai bertindak, aku sudah selesai. Lalu apalah daya mereka. Maka tiadakah daya dan pikiran mereka mampu menghalangiku. Oleh karena kedudukanku yang istimewa maka tentulah aku harus dan harus mempunyai hak istimewa bagi mereka. Aku adalah previligeku. Maka kareka kuasaku yang berlebih bagi mereka maka aku tentulah punya hak atas mereka. Aku umumkan sepihak dan hanya perlu sepihak saja. Aku tidak memerlukan persetujuannya. Kalau perlu aku paksakan saja. Karena mareka sesungguhnya tiadalah arti bagiku. Aku adalah keinginanku. Aku adalah ambisiku. Yah, jika mereka ramai menamaiku bahwa aku adalah nafsuku, peduli amat. Biarkan mereka berkata semaunya. Bahkan jika mereka katakan bahwa aku adalah syaitannya, aku juga tidak perduli. Peduli amat, syaitan dan bukan kan tergantung kacamatanya. Jika kacamataku adalah sensualku maka syaitan itu bisa saja bidadariku. Demikainlah gumamku. Siapakah ingin menguji diriku? Siapakah ingin menjadi kompetitorku. Mari kita bertarung di sembarang ruang dan waktu pun aku okey-okey saja. Ha..ha..ha..sebenar-benar diriku adalah pemangsa ruang dan waktu.

Makhluk pemangsa ruang dan waktu memberi perintah kepada wakilnya:

Wahai wakilku tahukah engkau apa tugas-tugasmu? Aku mengangkatmu bukanlah sekedar kebetulan. Aku sengaja mengangkatmu untuk menyubur-suburkan aku. Aku kuutus engkau pergi kemanapun untuk mencari bahan bakar penyuburku. Maka, patuh adalah absolut untuk mu. Kamu hanya boleh melaporkan yang baik-baik saja kepadaku. Yakinkan bahwa di dunia ini tidak ada yang melebihiku. Jika kau temukan ada orang yang melebihiku, maka segera musnahkanlah. Jika engkau tidak mampu maka laporkanlah kepadaku. Jika engkau tidak lapor kepadaku maka engkau pulalah yang akan aku musnahkan.

Makhluk pemangsa ruang dan waktu mencari tempat berteduh:
Aduhai tidak kusangka aku menemukan tempat begitu teduhnya bagiku. Ah ada makanan juga di sini. Tetapi mengapa aku musti perlu tempat berlindung. Ah keparat. Bukankah seyogyanya aku itu yang menjadi pelindung bagi mereka. Mengapa mesti aku menemukan istilah bahwa aku mesti berlindung. Walaupun tempat berlindungku sekedar tempat. Andaikata ini bukan tempat. Andaikata ini sesama manusia pasti sudah aku hancurkan.

Tempat berteduh ternyata bisa berkata:
Wahai seseorang yang tidak tahu diri. Mengapa engkau datang bertamu tidak meminta ijin terlebih dulu. Lebih dari itu, disamping tidak sopan engkau juga telah memakan makanan yang ada di sini tanpa ijin juga. Lebih dari itu, engkau juga telah bergumam ingin menghancurkanku. Sungguh angkau adalah orang yang tidak tahu balas berbudi. Engkau lahap dan telan apapun yang ada di depanmu.
Engkau rampas setiap hak-hak orang lain. Engkau rampas setiap kesempatan yang ada. Engkau tulisi kertas putihku. Engkau koreksi pekerjaanku tanpa legalitas. Bahkan engkau butakan penglihatanmu. Engkau tidak dapat membedakan batas-batas wilayahku. Engkau tidak mau membaca tanda-tanda. Engkau telah berlaku begitu sombongnya. Engkau telah berlaku sebagai hakim bagi semua manusia. Engkau ambil aku setiap saat, tetapi engkau campakkan pula aku setiap saat. Pantaslah kemudian jika orang-orang menyebutmu sebagai pemangsa ruang dan waktu. Sebenar-benar pemangsa ruang dan waktu adalah jika seseorang tidak kenal ruang dan waktu. Tidak kenal ruang karena engkau tidak mau tahu kepada siapa engkau bicara, apa yang dibicarakan, kepada siapa engkau menuntut hak. Tidak kenal waktu karena engkau tidak peduli kapan engkau bicara, kapan engkau bertindak dan bagaimana engkau bertindak. Sungguh luar biasakah engkau itu. Perilakumu tidak hanya merugikan mereka, tetapi telah mengeliminasi mereka. Tahukah engkau dosa-dosa yang engkau tanggung? Mengeliminasi sifat-sifat sesama tidak lian tidak bukan adalah membunuh sebagian karakter mereka. Maka terkutuklah engkau, wahai pemakan ruang dan waktu. Tetapi ingatlah bahwa aku tidaklah dalam posisi membetul-betulkan perilakumu. Bahkan sebaliknya, jika engkau masih mau, maka aku masih akan menawarkan perlindunganku kepadamu dari teriknya matahari. Itulah semata-mata fungsi dan tugasku, yaitu menolong sesama.

Makhluk pemangsa ruang dan waktu:

Ha..ha..dari banyak kalimatmu yang tidak enak, maka kalimat terakhirmu itulah yang masih bagus. Jika memang engkau mempunyai tugas menolong sesama, maka sekarang akan engkau uji dirimu itu. Tolong pinjamkan pada diriku anak panah dan pedangmu itu kepadaku, karena aku memerlukannya untuk berperang.

Tempat berteduh:
Tengoklah pada lengan dan leherku. Jikalau engkau cermat maka apakah warna darahku itu. Warna darahku adalah putih, itu artinya aku memang ditakhdirkan untuk selalu ikhlas membantu orang lain. Maka apapun permintaanmu kepadaku, begitu memang telah engkau lantunkan, aku kabulkan. Maka ambillah anak panah dan pedangku itu.

Makhluk pemangsa ruang dan waktu:
Terimakasih. Ha..ha.. dasar bodoh. Ketahuilah wahai tempat berlindung, karena dungumu, maka engkau tidak mengetahui bahayamu. Ketahuilah, orang pertama yang akan kubunuh dengan pedangmu ini tidak lain tidak bukan adalah dirimu itu.
Maka terimalah tebasan padangku ini. (Dalam cerita, matilah tempat berteduh tersebut).

Makhluk pemangsa ruang dan waktu:
Wahai semuanya, dimanakah engkau semua. Inilah diriku. Jika tiadalah yang menemuiku maka aku akan protes dan menggugat siapakah penyebab adaku ini.
Mengapa aku harus diciptakan di dunia ini? Kalaupun pertanyaanku tiadalah yang menjawab, maka akan aku bunuh pula sang penciptaku.

Hamba penjaga ruang dan waktu datang:
Astaghfirullah aladzhim, ya Allah ampunilah segala dosa dan kekhilafanku. Ampunilah dosa-dosa leluhurku. Ampunilah dosa-dosa para pemimpinku. Ampunilah dosa-dosa orang-orang yang telah berbuat aniaya dan berbuat kerusakan di atas bumi ini. Ya Allah ya Robbi, turunkan dan berikan rakhmat danhidayah Mu kepada orang-orang yang sabar dan tawakal. Tiadalah daya dan upayaku kecuali atas ridhlo dan kehendakmu ya Allah.

Makhluk pemangsa ruang dan waktu berjumpa hamba penjaga ruang dan waktu

Makhluk pemangsa ruang dan waktu:
Wahai orang asing yang berperilaku aneh. Aku perhatikan engkau komat-kamit sendiri. Sedang bicara apakah engkau. Orang seburuk engkau kenapa engkau duduk di situ. Bukankah tempatmu itu hanya pantas bagi tempat duduk orang-orang seperti ku. Kenapa juga engkau mempunyai banyak harta dan peralatan di situ? Bukankah harta dan peralatan itu hanyalah orang-orang sepertiku yang pantas memilikinya. Aneh juga, mengapa engkau mempunyai banyak rencana-rencana? Bukankah rencana-rencana itu sesungguhnya akulah yang paling pantas memilikinya? Aneh pula mengapa engkau punya banyak program-program, bukankah program-program itu, akulah yang paling pantas mengembangkannya. Aneh pula mengapa engkau punya banyak teman-teman, bukankah teman-temanmu itu sesungguhnya paling pantas adalah temanku. Coba lihat rencanamu, oh kaya beginikah rencanamu itu? Mengapa rencanamu tidak sesuai dengan pikiranku. Kenapa engkau sempat pula berpikir, bukankah hanya dirikulah orang yang paling berhak berpikir? Kenapa engkau sempat menulis, bukankah itu sebenar-benar adalah hak istimewaku? Kenapa engkau sempat bicara lantang, bukankah itu juga hak istimewaku? Maka tidak terimalah diriku ini atas keadaan ini. Tetapi kenapakah engkau tidak duduk di antara ruang-ruang, karena ketika engkau duduk disitulah aku akan mudah memangsamu. Dan kenapa pula engkau tidak duduk di antara waktu-waktu, karena ketika engkau duduk di situlah aku akan lebih mudah memangsamu. Aku tidak peduli engkau kena kutukan atau bukan. Tetapi aku juga tidak peduli titah nenek moyangmu bahwa janganlah berkeliaran di waktu maghrib. Aku tidak pedula nenek moyangmu mengutukku sebagai candik ala.

Hamba penjaga ruang dan waktu:
Alhamdullilah, bahwa Tuhan telah memberi aku kesempatan bersilaturakhim kepadamu. Semoga keselamatan ada pada diri anda dan tentunya diriku juga. Amien.

Makhluk pemangsa ruang dan waktu:
Hah, jangan sok pura-pura alim. Pakai doa-doa segala. Ini, ni ini, engkau tidak becus. Kamu punya banyak hal tetapi semuanya tidak ada yang tepat. Ketahuilah bahwa tepat tidaknya sesuatu milikmu itu jika sesuai dengan pikiranku. Maka tiadalah sebenar-benar kebenaran, jika dia berada di luar diriku. Maka semestinyalah bahwa engkau seharusnya selalu minta ijin kepadaku sebelum engkau melakukan berbagai hal. Tetapi yang sebenar-benar terjadi adalah aku tidak akan pernah ridhlo kepadamu walaupun engkau sudah minta restu kepadaku sekalipun. Satu-satunya ikhlasku adalah jikalau engkau enyah dari depanku. Maka terimalah pukulan dan tebasan padangku ini.

Makhluk pemangsa ruang dan waktu tersungkur terkena pedangnya sendiri

Makhluk pemangsa ruang dan waktu:
Wadala .. oh kenapa Tuhan tidak adil? Kenapa musti aku bisa dikalahkan oleh seseorang buruk rupa. Wahai orang buruk rupa, apa pula yang engkau lakukan kepadaku sehingga aku tersungkur, terkena pedangku sendiri.

Hamba penjaga ruang dan waktu:
Ketahuilah bahwa sebenar-benar yang terjadi adalah aku tidak berbuat apa-apa terhadapmu. Tetapi ulah perbuatan dirimu sendirilah yang telah menyebabkan engkau jatuh tersungkur.

Makhluk pemangsa ruang dan waktu:
Tidak mungkin. Aku tahu persis bahwa engkaulah yang memukulku.

Hamba penjaga ruang dan waktu:
Terserah dirimulah. Tetapi perlu engkau ketahui bahwa yang sebenar-benar terjadi adalah kamu telah diperingatkan oleh Tuhan atas perilakumu yang merusak di atas bumi ini.

Makhluk pemangsa ruang dan waktu:
Wah semakin sombong saja engkau ini. Coba kalau aku mampu berdiri, pasti engkau sudah ku bunuh.

Hamba penjaga ruang dan waktu:

Ketahuilah, inilah sebenar-benar yang akan terjadi. Umurmu tidak akan lama lagi. Adalah kodrat Nya bahwa engkau segera akan mati dan akan menghuni neraka jahanam. Inilah sebenar-benar peringatan agar manusia ingat dan paham akan ruang dan waktu. Sebenar-benar malapetaka di dunia adalah jika orang-orang sudah tidak sadar akan ruang dan waktu. Maka sebenar-benar dirimu adalah godfathernya orang-orang yang tidak kenal dan tidak mau tahu ruang dan waktu. Bukankah mengurusi hal yang bukan haknya itu pertanda engkau tidak kenal ruang dan waktu? Bukankah pekerjaan yang melampaui batas itu pertanda engkau tidak kenal ruang dan waktu. Bukankah menggunakan peralatan tidak sesuai dengan peruntukannya, itu pertanda engkau tidak kenal ruang dan waktu? Bukankah memaksakan kehendak itu pertanda bahwa engkau tidak kenal ruang dan waktu. Bukankah menginginkan sesuatu diluar kemampuan dan wewenang itu juga pertanda engkau tidak kenal ruang dan waktu. Bukankah usul yang tidak proporsional itu juga pertanda bahwa engkau tidak kenal ruang dan waktu. Bukankah terlambat kerja itu pertanda bahwa engkau tidak paham ruang dan waktu? Bukankah terlambat shalat itu pertanda engkau tidak paham ruang dan waktu? Bukankah promosi diri berlebihan itu juga pertanda engkau tidak kenal ruang dan waktu? Bukankah berpakaian yang tidak pantas itu juga pertanda tidak kenal ruang dan waktu? Bukankah berbicara yang tidak sopan itu juga tidak kenak ruang dan waktu? Dan inapropriate behaviour itu juga tidak kenal ruang dan waktu. Bukankah menyalahi prosedur itu juga tidak kenal ruang waktu. Bukankah orang jawa mengatakan bahwa orang-orang demikian sering disebut pula “nggege mangsa”. Jikalaulah tidak demikian maka ada orang menyebutnya sebagai meritokrasi, yaitu ikhtiar, yaitu kerja keras, yaitu perjuangan, yaitu mengisi kemerdekaan. Bukankah Wal a’sri artinya adalah demi masa.

Hamba penjaga ruang dan waktu:
Bukankah sadar ruang dan waktu itu sebenar-benarnya adalah menterjemahkan dan diterjemahkan. Itulah sebenar-benar hermeneutika. Maka agar engkau sadar ruang dan waktu, maka pandai-pandailah menterjemahkan dan ikhlaslah untuk diterjemahkan. Bukankah kita belajar sejak nenek moyang bahwa sebenar-benar rakhmat adalah bagi orang-orang yang sadar akan ruang dan waktu. Itulah sebenar-benar orang Jawa mengatakan sebagai “ruwatan” adalah cara agar orang menjadi sadar ruang dan waktu. Maka perlulah diruwat bagi orang-orang yang tidak sadar ruang dan waktu agar dunia menjadi tenteram dan damai. Maka yang sebenar-benar terjadi pada dirimu inilah sebuah ruwatan dimana engkau sebagai Bathara Kala, yaitu orang yang tidak paham ruang dan waktu, diruwat tertembus oleh senjata Cakra nya Bathara Khrisna, yaitu perlambang orang-orang yang sadar akan ruang dan waktu. Kematianmu adalah kematian Bathara Kala, yaitu kematiannya orang-orang yang tidak sadar ruang dan waktu. Kemenanganku adalah kemenangannya Batara Khrisna, yaitu kemenangan bagi orang-orang yang sadar akan ruang dan waktu. Maka ingat dan waspadalah wahai orang-orang untuk selalu ingat ruang dan waktu. Maka waktu atau mandala itu memang senjatanya sang raja dewa.

Datanglah seorang hamba menggapai ruang dan waktu

Hamba menggapai ruang dan waktu:
Terimakasih hamba penjaga ruang dan waktu. Sebenar-benar yang terjadi adalah aku telah menyaksikan semuanya yang terjadi. Lebih dari itu, aku bahkan mendengar semua yang engkau katakan. Maka terimakasihlah aku kepadamu yang telah menolongmu dari kekejaman Makhluk pemangsa ruang dan waktu.

Hamba penjaga ruang dan waktu:
Bukankah engkau telah mati karena dibunuh Makhluk pemangsa ruang dan waktu?

Hamba menggapai ruang dan waktu:
Wahai hamba penjaga ruang dan waktu. Sesungguhnya atas jasa dan keikhlasan para saudara-saudara dan akar-rumput disekitarku itulah aku dapat bangkit kembali. Sebenar-benar yang terjadi adalah bahwa tiadalah kata kematian itu ada pada diriki. Karena sebenar-benar diriku adalah tempat berteduh bagi mereka. Aku adalah kendarannya mereka. Aku adalah sistemnya mereka. Aku adalah fasilitas bagi mereka. Aku yang satu adalah mereka yang banyak. Aku yang banyak bisa juga dia yang satu. Aku boleh koperasi. Aku boleh organisasi. Aku boleh fakultas. Aku boleh jurusan. Aku boleh bis kota. Aku boleh pegadaian. Aku boleh komputer. Aku boleh sekolahan. Aku boleh laboratorium. Aku boleh sepatu. Aku boleh baju. Aku boleh kacamata. Dan aku boleh apa saja selama engkau dan mereka bermaksud menggunakanku. Sehingga aku pun bisa sebagai badanmu, jikalau engkau telah mengaku sebagai rohmu. Maka sebenar-benar diriku adalah hamba menggapai ruang dan waktu.

Friday, February 6, 2009

Elegi Seorang Hamba Menggapai Wajah

Oleh: Marsigit

Hamba menggapai wajah memulai perjalanannya:
Aku di sini akan dan sedang memulai perjalananku. Dalam mimpiku, perjalananku itu akan sangat jauh dan sangat melelahkan. Tetapi konon sangat menjanjikan dan berpengharapan. Walaupun sangat berbahaya dan menakutkan. Konon dalam perjalananku aku harus berbekal jiwaku, berpegang pada jiwaku dan bertuju kepada jiwaku. Tidak hanya itu saja. Konon juga aku harus berteman jiwaku, bertanya kepada jiwaku. Aku dapat memilih sembarang kendaraanku, tetapi kendaraan utamaku adalah orang-orang bijak. Para nabi dan rosul adalah “pesawat” ku. Sedangkan tumpangan yang paling murah dan umum adalah pada guru. Konon aku bukan sekedar ilmu, tetapi ilmu adalah pelumasku. Agar aku bisa mencapai tujuan dengan berhasil, konon aku harus mencari teman-temanku, yaitu para siswa-siswa. Tetapi aku juga disarankan untuk bersilaturahim kepada negarawan, politisi dan ulama. Aku diperingatkan untuk waspada, karena godaan diperjalanan sangat banyak. Godaan itu ada yang besar seperti raksasa, ada yang tajam setajam pisau cukur, ada yang selembut salju, ada yang tampak jelas tetapi banyak yang tidak tampak jelas. Tetapi apapun yang terjadi aku dipesan agar bersikap sabar, tawakal dan tumakninah. Aku harus bersabar dan tawakal ketika aku tidak dapat menemukan kendaraan untuk bebergian, bahkan aku harus sabar ketiga aku ditinggalkan teman-temanku, bahkan aku harus sabar ketika aku ditinggalkan oleh semuanya. Tetapi aku juga harus sabar melihat segala macam kejadian, bencana alam, bencana kemanusiaan, perang bahkan kiamat sekalipun. Anehnya aku diberi tugas untuk mencatat dan menyaksikan semuanya yang terjadi itu. Aku juga sekaligus diangkat untuk menjadi saksi bagi semuanya, baik dalam ruang dan waktu. Tetapi aku harus mempersiapkan diri ketika konon aku harus ikut maju ke medan laga dan pertempuran. Tetapi beritanya, musuhku yang paling berat adalah diriku sendiri. Aku diberitahu bahwa aku ditakdirkan untuk tidak mudah mengenali diriku sendiri. Karena konon wajahku bisa menyerupai apa saja. Wajahku bisa menyerupai apa saja yang aku pikirkan. Wajahku bisa menyerupai orang bijak, bisa menyerupai orang jahat, bisa menyerupai pejabat negara, bisa menyerupai presiden, menteri. Wajahku juga bisa menyerupai uandang-uandang, peraturan, tata-tertib. Wajahku bisa menyerupai orang tua, bisa menyerupai anak kecil, bahkan bisa menyerupai seorang bayi yang belum lahir sekalipun. Tetapi perjalanan dan semua perjuanganku itu konon sebenarnya diperuntukkan untuk mencari tahu bagaimana wajahku itu. Jadi seberat inilah cobaan dan perjuangan hidupku, sekedar hanya untuk dapat mengetahui seperti apakah wajahku itu.

Hamba menggapai wajah berjumpa dengan hamba menggapai tinggi:
Wahai hamba menggapai tinggi, bolehkan aku bertanya.

Hamba menggapai tinggi:
Boleh-boleh saja. Silahkan jika engkau ingin bertanya.

Hamba menggapai wajah:
Dalam rangka mengetahui wajahku, maka aku melakukan perjalanan jauh ini. Tetapi sekarang saya bingung. Sampai di manakah dan berada dimanakah aku ini. Kemudian aku harus menuju kemanakah dan harus menemui siapakah. Kemudian aku harus melakukan apa sajakah?

Hamba menggapai tinggi:
Ketahuilah bahwa manusia diciptakan hanyalah untuk beribadah kepada sang Pencipta. Tetapi sekarang mulai banyak orang-orang sudah tidak tahu diri lagi. Maka seyogyanya, temuilah mereka dan beritahukanlah kepada mereka, walaupun hanya sekedar satu ayat sekalipun. Tegakkanlah kebenaran dan keadilan, agar mereka semua selamat di dunia maupun di akhirat.

Hamba menggapai wajah:
Terang dan jelas petunjukkmu itu. Tiadalah keraguan sekarang bagiku untuk melangkah. Doa restumu lah yang selalu aku mohon supaya aku berhasil mengemban tugas-tugasmu itu. Salam.

Hamba menggapai wajah menjumpai raksasa dan ksatria yang sedang berperang:

Hamba menggapai wajah:
Wahai raksasa dan ksatria, kenapa engka berdua lakukan peperangan ini? Bukankah berdialog itu lebih baik.

Raksasa:
Dasar orang tidak tahu diri. Engkau kusuruh membunuhnya malah pergi tak karuan juntrungnya. Hai orang yang mengakau sebagai hamba menggapai wajah. Sekarang kau pilih saja. Kau ingin ikut denganku atau ikut dengan musuhku itu.

Ksatria:
Wahai hamba menggapai wajah. Maafkanlah aku, karena aku telah berbuat tidak bijaksana, sehingga reputasimu telah tercemarkan oleh kejadian ini. Terserahlah engkau. Jika engkau ingin membantuku bolehlah, tetapi jika engkau tidak ingin membantuku ya tidak apa-apa. Aku serahkan sepenuhnya kepada yang Maha Kuasa, suratan takdir dan ikhtiarku.

Hamba menggapai wajah:
Wahai raksasa. Iba dan marah hatiku melihat dirimu. Mengapa engkau telah berperangai seburuk itu. Bukankah aku teringat bahwa ketika itu engkau menemuiku untuk meminjam wajahku. Maka aku pinjamkan wajahku kepadamu tetapi dengan pesan agar dijaga baik-baik. Mengapa engkau tidak bisa mengemban amanahku. Bahkan sekarang kondisinya sebegitu buruknya. Lebih dari itu. Engkau juga telah salah gunakan wajahku untuk kepentingan-kepentinganmu secara tidak bertanggung jawab. Bahkan engkau gunakan wajahku itu untuk menggapai ego dan kepentingan dirimu. Engkau telah bersembunyi di balik wajahku untuk melakukan kedholiman di muka bumi ini. Engka bahkan telah melakukan perusakan di muka bumi ini menggunakan wajahku. Dengan dalih-dalih kebaikan engkau ciptakan keburukan-keburukan. Dengan bersembunyi di balik wajahku, engkau telah salah gunakan kekusaaan untuk menguasai dan merampas hak-hak orang banyak. Kamu ciptakan sistem dan aturan-aturan yang mementingkan dirimu sendiri. Kamu telah merubah wajahku yang kau pinjam menjadi wajah yang rakus akan kekuasaan.

Hamba menggapai wajah:
Wahai ksatria. Iba dan menyesal hatiku melihat dirimu. Mengapa engkau telah aku biarkan dan aku tinggalkan begitu lama. Bukankah aku teringat bahwa ketika itu engkau menemuiku untuk mohon ijin melakukan perjalanan dan berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan. Tetapi aku telah melupakanmu. Maka maafkanlah diriku.

Raksasa:
Wahai orang yang mengaku-aku menggapai wajah. Sombong amat engkau itu. Emangnya gua pikirin. Memangnya siapakah dirimu itu. Dirimu itu bagiku, sebenar-benar tidak berharga. Kamu tidak mempunyai nilai bagiku. Tetapi jika kamu tetap ingin hidup maka boleh tetapi dengan saratnya. Saratnya adalah engkau cabut semua pernyataanmu itu tentang diriku. Kemudian kamu minta maaf dua ratus persen kepadaku. Setelah itu maka kamu harus tunduk tigaratus persen kepadaku. Jika tidak, maka enyahlah engkau itu dari depanku ini.

Ksatria:
Wahai orang menggapai wajah. Sungguh mulia budi dan ucapan-ucapanmu itu. Maafkanlah bahwa aku telah sekian lama tidak memberi khabar kepadamu. Aku hanya berserah diri kepada yang Maha Kuasa, suratan takdir dan ikhtiarku. Aku tidak berani menatap wajahmu seratus persen karena aku khawatir dengan caraku. Aku merasa perlu mengembangkan cara dan metode agar aku bisa menatap wajahmu. Sebenar-benar yang terjadi adalah bahwa aku tidak mengetahui bagaimana wajahku itu.

Raksasa:
Ah dasar orang bodoh dan dungu. Melihat wajah sendiri saja tidak bisa. Ini, kalau engkau ingin melihat wajahku. Tentu wajahku adalah paling tampan di dunia ini, bukankah begitu?

Orang bijak datang menemui ketiga orang tersebut:
Wahai ketiga orang yang sedang bertengkar. Demikianlah kodratnya. Bahwa hamba menggapai wajah telah ditakdirkan mempunyai banyak rupa. Raksasa itu tidak lain tidak bukan adalah dirimu. Ksatria itu juga dirimu. Jadi sebenar-benar dirimu adalah multi rupa.

Hamba menggapai wajah:
Tetapi aku menjadi penasaran. Sebetulnya siapakah diriku itu wahai orang bijak.

Orang bijak:
Dirimu adalah diriku juga. Dirimu mendahului sekaligus mengakhiri mereka. Jiwamu adalah jiwa mereka, jiwa mereka adalah jiwamu. Tetapi wajahmu akan berbeda-beda pula. Wajahmu akan tergantung wadahmu. Wadahmu adalah mereka pula. Jika mereka baik maka baik pulalah wajahmu. Jika mereka buruk maka buruk pulalah wajahmu. Jika mereka raksasa maka menjadi raksasa pulalah dirimu. Dan jika mereka ksatria maka menjadi ksatria pulalah dirimu itu. Tiadalah arti bagimu tanpa mereka. Demikian juga tiadalah arti bagi mereka tanpa dirimu.

Hamba menggapai wajah:
Bagaimana dengan dirimu?

Orang bijak:
Kau ganti saja setiap kata “mereka” pada kalimat-kalimat ku di atas dengan kata “wajahmu”, “raksasa”, “ksatria”, atau “orang bijak”. Maka sebenar benar aku tiada lain tiada bukan adalah dirimu dan diri mereka pula.

Hamba menggapai wajah:
Jadi siapakah kita ini?

Orang bijak:
Boleh boleh saja. Tetapi jika kita sepakat mencarinya maka kita boleh juga.

Hamba menggapai wajah:
Jangan berputar-putar dan bertele-tele. Tolong sebutkan saja siapa kita?

Orang bijak:
Sebenar-benar dari kita tidak lain tidak bukan adalah “PENDIDIKAN”

Thursday, February 5, 2009

Elegi Seorang Hamba Menggapai Kedamaian

Oleh: Marsigit

Kemenangan yang datang:
Terang teranglah sudah. Puas puaslah sudah. Akhirnyanya kesampaian juga harapanku. Inilah yang selamanya aku cari. Telah aku korbankan segalanya untuk menemukan kedamaian. Damai damailah sudah. Kini saatnyalah aku perlu bereuporia dalam kedamaianku. Dalam damaiku ini aku akan lebih banyak berafirmatif daripada berinterogated. Karena selama berafirmatif itulah aku terbebas dari keraguanku. Aku terbebas dari pertanyaanku. Inilah kepastian yang selama ini aku cari. Maka dalam kedamaianku maka pasti dan pastilah aku. Tiada keraguan lagi bagiku. Maka selesailah perjuanganku. Selesai dan selesai. Maka menanglah diriku. Menang dan menang. Maka merdekalah aku dalam kedamaian dan merdekalah aku dalam kemenangan

Memperdalam makna kemenangan:
Yah kemenangan itu begitu indahnya bagiku. Aku akan selalu menyanyikan kemenanganku itu dalam lagu dan syair kalimat afirmatif. Karena dengan kalimat afirmatif maka aku bisa selalu dalam kemenangan dan kepastian. Maka kujaga dan kupegang erat-eratlah kalimat afirmatif. Dan saya tidak mau lagi direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan lagi. Inilah ilmuku. Inilah kepastianku. Inilah kemenanganku. Dalam kemenangan ini aku merasa seperti dalam ruangan yang serba indah dan serba ada. Tiadalah kekurangan dalam diriku. Maka hanyalah tinggallah satu yang perlu aku gapai, yaitu ketika aku harus mengahadap kepada sang Kholik. Tetapi kapan ya itu?

Begitu mendengan kalimat terakhir sebagai pertanyaan, maka muncullah orang tua berambut putih:
Salam, wahai hamba Tuhan. Terimakasih engkau telah memanggilku kembali. Apa khabar? Baik-baik saja bukan? Aku telah lama tidak berjumpa denganmu. Kemana sajakah engkau? Kelihatannya wajahmu berbinar-binar. Sepertinya hatimu juga bergembira. Kelihatannya engkau baru saja meraih sesuatu atau mencapai suatu hasil yang besar bahkan mungkin sangat besar.

Hamba menggapai kedamaian:
Salam, kembali wahai orang tua berambut putih. Benar apa yang engkau katakan. Ketahuilah bahwa aku sedang menikmati kemenanganku sendiri, maka janganlah kau usik diriku dengan titah-titahmu lagi. Semuanya yang engkau katakan, semuanya yang engkau pikirkan bahkan semuanya yang akan engkau ucapkan, terkira-kira aku telah mengetahuinya. Aku telah mengetahui prinsip dan pokoknya. Aku telah mengetahui arah dan tujuannya. Jadi biarlah aku menikmati kepastian dan kemenanganku ini sendirian tanpa engkau usik kembali. Maka sebenar-benar aku sekarang adalah aku yang tidak lagi memerlukanmu. Inilah yang selama ini aku perjuangkan. Inilah yang selama ini berusaha raih dengan segenap pengorbananku. Maka sekali lagi, aku dapat katakan bahwa diriku sekarang adalah sebenar-benar diriku yang tidak memerlukan dirimu lagi. Bahkan ketika engkau mengaku sebagai pertanyaanku dan ketika engka mengaku sebagai ilmuku sekalipun, maka sebenar-benar bahwa aku tidak lagi memerlukan dirimu lagi. Kenapa engkau hanya diam seribu bahasa. Bukankah engkau tadi juga sempat pergi, tetapi mengapa sekarang engkau menghampiriku lagi, wahai orang tua?

Orang tua berambut putih:
Wahai hamba menggapai damai, biarkan aku terdiam sejenak. Aku memerlukan waktu sejenak untuk meneteskan air mataku. Maka tidak pula hanyalah engkau yang menginginkan diam dan tenang. Akupun demikian. Maka sebenar-benar diriki sekarang adalah diriku yang tidak ingin engkau usik. Yaitu ketika aku diam. tetapi ketahuilah bahwa sebenar-benar yang terjadi adalah bahwa diamku tidak lah sama dengan diammu. Jikalau diammu engkau rasakan sebagai euporia kemenangan. Maka diamku adalah euporia kesedihan. Aku terdiam karena tidak bisa melantunkan kata-kataku. Aku terdiam karena memberi kesempatan kepada diriku untuk menangis. Tetapi mengapa ketika ketika aku terdiam dan menangis, engkau pergi dari hadapanku?

Hamba menggapai kedamaian menhampiri orang tua berambut putih:
Wahai orang tua berambut putih. Aku baru mengalami kejadian yang luar biasa yang menimpa diriku. Ketika engkau bertanya kenapa aku pergi, maka datanglah energi yang luar biasa dasyatnya sehingga melemparkan diriku ke tampat yang jauh. Ternyata tempat yang sangat jauh itu tidak lain tidak bukan adalah tempat di depanmu ini. Itulah mengapa serta merta aku menghampirimu, ketika engkau membuat pertanyaan. Tetapi aku tidak mengetahui dari manakah energi sebesar itu?

Orang tua berambut putih terperanjat mendengar penuturan hamba menggapai damai:
Oh hamba menggapai damai. Bukankah keadaanmu sekarang adalah bertentangan dengan apa yang engkau katakan dan engkau cita-citakan. Bukankah engkau merasa telah menemukan kedamaianmu? Engkau telah menemukan kepastianmu. Maka engkau ingin hidup menyendiri. Dan engkau tidak lagi memerlukan pertanyaan-pertanyaan. Bahkan dengan sombongnya engkau tidak lagi menginginkan ilmu. Tetapi kenapa engkau masih melantunkan pertanyaan-pertanyaanmu? Bukankah engkau masih ingat bahwa pertanyaanmu itu adalah ilmumu. Ilmumu tidak lain-tidak bukan adalah diriku. Mengapa di satu sisi engkau menampikku sekaligus merindukanku? Bukanlah itu kontradiksi dalam pikiranmu?

Hamba menggapai damai:
Wahai orang tua berambut putih. Kenapa pertanyaanmu yang terakhir juga telah menyebabkan aku terlempar di depanmu? Perkenankanlah aku juga menginginka diam sejenak untuk sekedar meneteskan air mataku. Yang sekarang ini diamku agak berbeda dengan waktu yang lalu. Aku sedih karena aku juga melihat bahwa dalam dirimu terdapat kontradiksi. Bukankah engkau pernah mengatakan bahwa kontradiksi adalah sebenar-benar ilmu dalam pikiranku. Kenapa engkau menyesali kontradiksi itu?

Orang tua berambut putih:
Wahai hamba menggapai damai. Ingin aku katakan bahwa sebenar-benar yang terjadi adalah bahwa aku baru saja mengalami peristiwa seperti apa yang engkau alami. Begitu engkau melantunkan pertanyaanmu, maka datanglah energi yang besar sehingga melemparku ke hadapanmu.

Hamba menggapai batas dan orang tua berambut putih terhentak oleh kesadarannya sendiri, dan bersama-sama melantunkan kata-kata:
Jikalau engkau adalah ilmuku, maka aku ternyata adalah juga ilmumu. Maka aku telah menemukan bahwa sebenar-benar yang terjadi adalah bahwa aku dan engkau tidak dalam keadaan diam. Aku menjumpai bahwa aku dan engkau saling datang dan pergi. Aku dan engkau saling bertanya dan menjawab. Aku dan engkau saling memerlukan dan berjuang. Aku dan engkau belum berhenti. Aku dan engkau belum memperoleh kepastian. Aku dan engkau masih diliputi keraguan. Maka belumlah selesai perjuangan hidupku ini. Maka belumlah ada sebenar-benar kemenangan itu. Tetapi mengapa kita terburu-buru merayakannya?

Hamba yang lain datang menghapiri:
Wahai hamba menggapai damai. Bolehlah engkau menyebut diriku sebagai hamba ataupun sebagai orang tua berambut putih. Itu sama saja buatku. Tetapi aku juga terpaksa datang oleh karena pertanyaanmu yang terakhir. Aku ingin menyampaikan bahwa sebenar-benar menggapai ilmu tiadalah ada akhir batasnya. Maka “keadaan jelas” bagimu adalah sebenar-benar ancaman bagimu. Barang siapa telah merasa jelas akan sesuatu maka seketika “ruang gelap” telah menantimu. Mengapa? Karena bisa saja jelasmu itu adalah jelasnya sekedar ruanganmu, bukankah engkau juga menginginkan jelas pula untuk ruangan di sebelahmu. Bagaimana mungkin engkau memperoleh jelas akan ruang di sebelahmu jikalau engkau terperosok dalam-dalam pada suatu ruang saja. Bukankah “diam” mu itu menunjukkan bahwa engkau sedang menikmati “keterperosokkanmu” di dalam “ruang gelapmu”. Itulah sebenar-benar bahaya di muka bumi ini, yaitu jika seseorang telah merasa jelas akan sesuatu, sehingga yang demikian telah menghilangkan ikhtiarnya untuk memperoleh pengetahuan selanjutnya. Bukankah itu adalah kesombongan luar biasa bagi seseorang yang telah merasa bisa sehingga merasa toidak perlu lagi mencari pengetahuan yang lainnya. Maka sebenar-benar bahaya adalah ruang-ruang gelap yang setiap saat siap menerkammu sehingga engkau puas dalam kedamaian kepastianmu. Ketahuilah bahwa tiadalah sesuatu yang pasti di dunia ini. Kepastian itu hanyalah milik Allah SWT. Maka jikalau seseorang telah menolak ilmu-ilmunya, maka sulitlah bahwa dia masih dapat dikatakan sebagai sebenar-benar hidup di dunia ini. Ingatlah bahwa sebenar-benar hidup adalah ilmu. Bahkan ketika matipun kita masih memerlukan ilmu. Bukankah kita memerlukan ilmu bagaimana kita bisa meninggalkan dunia ini dengan khusnul khotimah. Amien Ya robbal alamin.