Saturday, May 23, 2009

Jargon Pertengkaran Dosen dan Mahasiswa

Oleh Marsigit

Orang tua berambut putih:
Hemm indah betul dunia itu. Semakin diungkap semakin banyak pula yang tidak aku tahu. Kenapa aku tidak bisa istirahat? Ancamannya adalah mitos. Tetapi diperbatasan sana aku telah menemukan bahwa mitos itu logos, dan logos itu mitos, tidak itu iya dan iya itu tidak, awal itu akhir dan akhir itu awal, berubah itu tetap dan tetap itu berubah, dosen itu mahasiswa dan mahasiswa itu dosen,...dst. Tetapi aku sekarang sedang melihat para jargon telah menguasai dunia. Maka aku sedang menyaksikan bahwa dunia itu jargon dan jargon itu dunia.
Samar-samar aku melihat di kejauhan ada pertengkaran antara jargon dosen dan jargon mahasiswa. Wahai jargon dosen dan jargon mahasiswa dengarlah diriku sebentar. Mengapa engkau kelihatannya sedang berselisih. Jargon dosen kelihatan sangat ganas dan kejam, sedangkan jargon mahasiswa kelihatan sedang bersedih dan rendah diri. Tetapi aku melihat pertengkaran yang sangat tidak adil. Dosen terlihat menempati kedudukan istimewa, lengkap dengan segala peralatannya untuk menghadapi mahasiswa. Sedangkan mahasiswa kelihatannya tak berbekal apapun. Bolehkah aku mengetahui pokok persoalannya?

Jargon dosen:
Wahai orang tua berambut putih. Kenalkanlah aku adalah jargon dosen. Sebenar-benar jargon itu adalah milikku. Maka tiadalah selain diriku dapat mengaku-aku memiliki jargon. barang siapa selain diriku mengaku-aku memiliki jargon, maka akan aku binasakan mereka itu. Maka saksikanlah wahai orang tua berambut putih, dengan lantang dan dengan penuh hikmat dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya aku proklamasikan bahwa jargon itu tidak lain tidak bukan adalah diriku. Jargon itu adalah kuasaku, jargon itu adalah jiwaku. Jika tidak ada jargon pada diriku maka tiadalah diriku itu. Maka beritahukanlah kepada mahasiswa agar jangan sekali-kali mengklaim memiliki jargon. Jika para mahasiswa tetap teguh pendirian maka dengan bengisnya aku akan hadapi mereka semua.

Jargon mahasiswa:
Wahai orang tua berambut putih. Kenalkanlah aku adalah jargon mahasiswa. Saya menyadari bahwa jargon para dosen itu begitu kuat dan mengerikan bagiku. Tetapi ketahuilah bahwa sebenarnya diriku juga berhak mempunyai jargon. Maka perkenankanlah bahwa diriku juga memiliki jargon. Maka saksikanlah wahai orang tua berambut putih, serendah-rendah dan sekecil-kecil diriku, maka aku itu sebetulnya adalah jargon juga. Jargon itu pelindungku. Jargon itu jiwaku. Jika tidak ada jargon pada diriku maka tiadalah diriku itu. Maka beritahukanlah kepada dosen agar menyadari bahwa diluar dirinya itu sebetulnya terdapat jargon diriku. Itulah sebenar-benar dan sebesar-besar ancaman bagi diriku, yaitu jargon para dosen. Ketahuilah tiadalah dosen itu jika tidak ada mahasiswa. Maka tolonglah wahai orang tua berambut putih akan aku bisa melarikan diri dari cengkeraman jargon dosen.

Orang tua berambut putih:
Wahai jargon dosen. Supaya aku lebih mengerti tentang dirimu, maka ceriterakanlah tentang dirimu itu kepadaku. Siapakah dirimu, bagaimana dirimu, macam-macam dirimu, tujuan dirimu, dst.

Jargon dosen:
Terimakasih orang tua berambut putih. Aku adalah jargon dosen. Jikalau emosiku sudah terkendali maka aku dapat bercerita banyak tentang diriku kepadamu. Sebetul-betul yang terjadi tadi adalah aku telah sedikit berbohong kepadamu. Aku sebetulnya mengetahui bahwa jargon itu bukan hanya milikku, tetapi mahasiswa pun mempunyai jargon. Tetapi ini off the record, jangan sampaikan kepada mahasiswa. Mengapa? Karena jika engkau katakan hal ini kepada mahasiswa maka kedudukanku sebagai dosen akan terancam. Ketahuilah bahwa setinggi-tinggi tujuanku adalah menjadi dosen yang kuat, yaitu sebear-benar dosen. Dalam rangka untuk mencapai tujuanku sebagai dosen sejati maka aku harus mengelola semua mahasiswa sedemikian rupa sehingga semua mahasiswaku itu terkendali dan dapat sepenuhnya aku kuasai. Maka aku melakukan segala daya dan upaya termasuk menggunakan jargonku agar mahasiswa selalu dapat aku kuasai. Sebenar-benar ancaman bagi diriku di dunia ini adalah jargon-jargon para mahasiswa. Maka aku sangat sensitif terhadap jargon para mahasiswa. Dari pada jargon mahasiswa menimbulkan masalah bagi diriku, maka lebih baik aku binasakan saja sebelum mereka lahir ke bumi.

Orang tua berambut putih:
Maaf jargon dosen, saya belum begitu jelas dengan uaraian-uraianmu itu. Dapatkah engkau memberikan contoh konkritnya. Jika perlu silahkan para tertindasmu menyampaikan kepadaku.

Jargon dosen senior :
Wahai orang tua berambut putih. Kenalkanlah saya adalah jargon dosen senior. Mulanya biasa saja bagi diriku, ketika aku sebagai tertindas. Tetapi kemudian tidak biasa bagi diriku ketika aku, entah kenapa, bisa terpilih sebagai senior. Ketika aku menjadi senior maka aku merasakan seluruh tubuhku bergetar dan bergemuruh mengalami perubahan jargon. Tadinya aku sangat menyayangi jargon-jargon ku sebagai tertindas. Maka setelah aku menjadi senior aku mulai kehilangan jargon tertindas, dan kemudian mulailah aku di dominasi oleh jargon senior. Ketahuilah bahwa dalam rangka untuk mempertahankan diriku sebagai senior, maka aku telah mengambangkan banyak tak berhingga jargon-jargon. Contoh sederhana dari jargonku itu adalah: sebagai tertindas itu harus jujur, sebagai tertindas itu harus peduli, sebagai tertindas harus patuh, sebagai tertindas harus bijak. Begitu aku menemukan para tertindasku tidak sesuai dengan jargonku maka aku segera menggunakan kekuasaanku sebagai senior. kekuasaanku sebagai senior itu mengalir melalui jargon-jargonku: sebagai senior itu harus jujur, sebagai senior itu harus peduli, sebagai senior itu harus patuh, sebagai senior itu harus bijak. Tetapi begitu aku menemukan bahwa diriku tidak sesuai dengan jargon-jargon, ternyata muncul jargon-jargonku yang lain: senior harus terhormat, senior harus wibawa, jangan tampakkan kelemahanmu, tutupilah kesalahanmu..dst. Maka jargon yang paling populer bagi diriku sebagai senior adalah: berbohong demi kebaikan, tidak adil demi keadilan, menghukum demi membebaskan..dst. Ternyata muncul jargon populer berikutnya: manusia itu tidak pernah terlepas dari kesalahan, maka demi menjaga statusku sebagai senior terpaksa aku harus menggunakan jargon topeng, yaitu topeng kepribadian. Sebenar-benar jargon topeng adalah menutupi segala kelemahanku dan dosa-dosaku di hadapan para mahasiswa. Kalau bisa apakah jargon topengku itu dapat menyembunyikan diriku dari Tuhan? Oh orang tua berambut putih, janganlah engkau teruskan pertanyaanmu itu, dan janganlah rongrong kewibawaanku sebagai senior. Itulah diriku, yaitu sebenar-benar jargon dosen senior. Maka aku sangat menyukai semua kesempatan di mana aku bisa memproduksi semua jargon-jargon dosen senior, agar diketahui oleh para mahasiswa-mahasiswaku. Seminar, konferensi, workshop, pengajian, diskusi, kampanye, koran, radio, TV, debat ...semuanya aku manfaatkan untuk memproduksi jargon-jargonku.

Orang tua berambut putih:
Wahai jargon mahasiswa. Supaya aku lebih mengerti tentang dirimu, maka ceriterakanlah tentang dirimu itu kepadaku. Siapakah dirimu, bagaimana dirimu, macam-macam dirimu, tujuan dirimu, dst.

Jargon mahasiswa:
Terimakasih orang tua berambut putih. Aku adalah jargon mahasiswa. Jikalau aku terbebas dari segala tekanan maka aku dapat bercerita banyak tentang diriku kepadamu. Sebetul-betul yang terjadi tadi adalah aku telah menyampaikan apa adanya kepadamu. Aku sebetulnya mengetahui tidak merdeka dan merasa takut oleh aktivitas para dosen. Tetapi ini off the record, jangan sampaikan kepada dosen. Mengapa? Karena jika engkau katakan hal ini kepada dosen maka jiwaku bisa terancam. Padahal segenap jiwa ragaku itu tergantung sepenuhnya oleh dosen-dosenku. Ketahuilah bahwa setinggi-tinggi tujuanku adalah terbebas dari segala ancaman dan tekanan para dosen. Dalam rangka untuk mencapai tujuanku sebagai mahasiswa sejati maka aku harus memproduksi jargon-jargonku. Maka aku melakukan segala daya dan upaya termasuk menggunakan jargonku agar dapat terhindar dari perbuatan sewenang-wenang para dosen. Sebenar-benar ancaman bagi diriku di dunia ini adalah jargon-jargon para dosen. Maka aku sangat sensitif terhadap jargon para dosen. Tetapi apalah dayaku sebagai mahasiswa. Maka sebenar-benar diriku adalah tetap menjadi mahasiswanya para jargon dosen.

Orang tua berambut putih:
Maaf jargon mahasiswa, saya belum begitu jelas dengan uaraian-uraianmu itu. Dapatkah engkau memberikan contoh konkritnya. Jika perlu silahkan para tertindasmu menyampaikan kepadaku.

Jargon mahasiswa tertindas :
Wahai orang tua berambut putih. Kenalkanlah saya adalah jargon mahasiswa tertindas. Mulanya biasa saja bagi diriku, ketika aku sebagai tertindas. Tetapi kemudian tidak biasa bagi diriku ketika aku mempunyai dosen senior . Ketika aku mempunyai dosen senior aku merasakan seluruh tubuhku bergetar dan bergemuruh mengalami perubahan jargon. Tadinya aku sangat menyayangi jargon-jargon ku sebagai mahasiswa tertindas. Maka setelah aku mempunyai dosen senior aku mulai kehilangan jargon tertindas, dan kemudian mulailah aku di dominasi oleh jargon dosen senior. Ketahuilah bahwa dalam rangka untuk mempertahankan diriku sebagai mahasiswa tertindas yang hakiki, maka aku telah mengambangkan banyak tak berhingga jargon-jargon. Contoh sederhana dari jargonku itu adalah: sebagai mahasiswa tertindas itu harus jujur, sebagai mahasiswa tertindas itu harus peduli, sebagai mahasiswa tertindas harus patuh, sebagai mahasiswa tertindas harus bijak. Begitu aku menemukan diriku tidak sesuai dengan jargonku maka aku segera mohon ampun kepada Tuhan ku. Sementara kekuasaan dosen seniorku itu mengalir melalui jargon-jargon senior: sebagai dosen senior itu memang harus jujur, sebagai dosen senior itu memang harus peduli, sebagai dosen senior itu memang harus patuh, sebagai dosen senior itu memang harus bijak. Tetapi begitu aku menemukan bahwa dosen seniorku tidak sesuai dengan jargon-jargonnya, ternyata muncul jargon-jargonku yang lain: dosen senior harus melindungi tertindas, dosen senior harus menolong tertindas, dst. Maka jargon yang paling populer bagi diriku sebagai mahasiswa tertindas adalah: yang penting selamat, hidup itu tidak neko-neko, manusia itu hanya mampir ngombhe, apalah gunanya status itu, gur senior itu tidak penting yang penting amal perbuatannya. Ternyata muncul jargon populer berikutnya: semua manusia itu pada hakekatnya sama saja, maka demi menjaga statusku sebagai tertindas sejati terpaksa aku harus menggunakan jargon topeng, yaitu topeng kepribadian. Sebenar-benar jargon topeng adalah menutupi segala kelemahanku dan dosa-dosaku di hadapan para dosen. Agar aku selamat dari penindasan para jargon dosen. Kalau bisa apakah jargon topengku itu dapat menyembunyikan diriku dari Tuhan? Oh orang tua berambut putih, janganlah engkau teruskan pertanyaanmu itu, dan janganlah rongrong kedudukanku sebagai mahasiswa tertindas. Itulah diriku, yaitu sebenar-benar jargon mahasiswa tertindas. Maka aku sangat menyukai semua kesempatan di mana aku bisa memproduksi semua jargon-jargon mahasiswa tertindas, agar aku bisa berlindung dari ancaman para dosen. Tetapi aku ternyata tidak bisa menggunakan seminar, konferensi, workshop, pengajian, diskusi, kampanye, koran, radio, TV, debat ...untuk memproduksi jargon-jargonku. Jangankan memproduksi jargon, untuk menghindar dari jargon dosen saja saya kerepotan ketika saya berada di forum-forum itu.

Orang tua berambut putih:
Sudah jelas duduk perkaranya. Ternyata semuanya memerlukan jargon. Dosen memerlukan jargon untuk memantapkan kedudukannya sebagai dosen, sedangkan mahasiswa memerlukan jargon untuk melindungi dirimya. Ketahuilah bahwa Tuhan itu maha bijaksana. Tuhan telah menciptakan segalanya termasuk suasana di mana dosen dan mahasiswa dapat hidup bersama-sama dalam jargon-jargonnya. Maka solusi yang terbaik adalah menterjemahkan dan diterjemahkan wahai engkau para dosen dan mahasiswa agar engkau saling memahami jargonmu masing-masing. Ketahuilah bahwa di batas sana, dosen itu adalah mahasiswa, dan mahasiswa itu adalah dosen. Maka semua jargonmu itu akan lenyap diperbatasan pikiranmu masing-masing. Saya ingin memperingatkan dosen, janganlah engkau berlaku sombong dan sok kuasa terhadap murid-muridmu itu. Tiadalah sebenar-benar dosen sejati itu bagimu. Sebenar-benar bukan jargon adalah kuasa dan milik Tuhan YME.

3 comments:

herry prasetyo said...

pak, kalau menurut saya setiap apapun di dunia ini pasti ada lawannya....
tinggal bagaimana kita menyikapinya...
begitu juga dengan dosen dan mahasiswa.

herry prasetyo said...

Saya rasa ikhlas adalah jawaban dari semuannya…..

WINDARTI said...

Refleksi oleh : Mahasiswa S2. Pend. Matematika, kelas A (11709251011). PPS UNY 2011

Pertengkaran Jargon tidak akan ada apabila masing-masing dapat memahami jargonya masing-masing dan apabila kita tingkatkan dimensi berfikir kita maka kita akan tahu bahwa dosen itu mahasiswa dan mahasiswa itu dosen. Sehingga masing-masing harus dapat menempatkan diri dalam ruang dan waktunya masing-masing.