Tuesday, March 31, 2009

Elegi Menggapai Paradoks Tukang Cukur

Oleh Marsigit

Tukang Cukur:
Aku adalah tukang cukur. Aku hanya mencukur orang-orang yang tidak mencukur diri sendiri.

Pelanggan1:
Wahai tukang cukur, bersediakah engkau mencukur diriku?

Tukang cukur:
Wahai pelanggan1, apakah engkau tidak mencukur dirimu sendiri?

Pelanggan1:
Wahai tukang cukur, aku senyatanya tidaklah mencukur diriku sendiri.

Tukang Cukur:
Baiklah kalau begitu, marilah anda saya cukur.

Pelanggan2:
Wahai tukang cukur, bersediakah engkau mencukur diriku?

Tukang cukur:
Wahai pelanggan2, apakah engkau tidak mencukur dirimu sendiri?

Pelanggan2:
Wahai tukang cukur, aku senyatanya mencukur diriku sendiri.

Tukang Cukur:
Karena engkau mencukur dirimu sendiri, maka pergilah. Aku tidak bersedia mencukurmu.

Pelanggan2:
Baiklah aku bersedia pergi, tetapi aku mempunyai satu pertanyaan buatmu. Siapakah yang mencukur dirimu?

Tukang Cukur:
Aku mencukur sendiri. Maka aku akan mencukur sendiri.

Pelanggan2:
Stop. Janganlah engkau cukur dirimu itu. Karena engkau hanya mencukur orang-orang yang tidak cukur sendiri.

Tukang Cukur:
A..aa...a..k...ku. , tidak cukur sendiri.

Pelanggan2:
Kalau begitu segeralah engkau cukur dirimu, karena engkau hanya mencukur orang-orang yang tidak cukur sendiri.

Tukang Cukur:
B...b...ba...ik...lah. Aku akan cukur sendiri diriku.

Pelanggan2:
Stop. Janganlah engkau cukur dirimu itu. Karena engkau hanya mencukur orang-orang yang tidak cukur sendiri.

Tukang Cukur:
B...b...ba...ik...lah. A..aa...a..k...ku. , tidak cukur sendiri.

Pelanggan2:
Kalau begitu segeralah engkau cukur dirimu, karena engkau hanya mencukur orang-orang yang tidak cukur sendiri.

Tukang Cukur:
Wahai pelanggan2, mohon maafkan aku.. Kenapa aku engkau buat bingung? Maka bagaimanakah solusinya? Kemudian aku harus bertanya kepada siapakah?

Pelanggan2:
Engkau telah termakan oleh mitosmu sendiri. Agar engkau bisa keluar dari persoalan ini, maka silahkan bertanya kepada orang tua berambut putih.

24 comments:

haris fadilah said...

dari yg saya baca saya menangkap bahwa se-trampil2nya seseorang dia akan membutuhkan orang lain untuk memenuhi salah satu kebutuhan hidupnya.dengan kata lain individu yang satu sama lain saling membuthkan dan saling menunjang.

ERVINTA DEWI said...

asalamualaikum bapak marsigit...

Dalam elegi ini, kenapa saya menangkap ini 'hampir sama' dengan elegi menggapai rumah paradoks1, seperti yang bapak terangkan kemarin senin?

kebetulan saya lupa dengan hukum paradoksnya siapa dan kalimat matemattkanya. hanya saja disini saya menangkap hal yang hampir sama dengan bahwa dalam matematika yang lengkap itu ada ketidak konsistenan, tetapi orang yang menganggap matematika itu konsisten dan mengabaikan ketidak konsistenan yang senyatanya ada, mka matematikanya tidaklah lengkap... kalau tidak salah sewaktu kuliah bapak menyampaikan hal yang demikian. Jadi dari hal ini, kita perlu hati-hati agar tidak cepat merasa yakin kepada apa yang kita anggap tahu dan benar. karena sesungguhnya kebenaran yang 'dianggap' benar oleh manusia hanyalah pendekatan ilmu saja, bukan yang sejati karena yang sejati hanya pada KuasaNYA. Agar kita tersadar dan tidak berhenti belajar / menggali ilmu pengetahuan.

Wah ternyata benar dari belajar filsafat terkadang membuka pemikiran kita terhadap pemikiran laen yang sebenarnya nyata, tetapi karena tidak umum maka tidak dianggap ada, dan orang yang menyatakannya justru terkadang dianggap aneh dan kurang disukai. Tetapi kadang banyak muka-muka manis dalam topengnya yang menyambut kita, padahal dibelakangnya justru menikam kita. wah sepertinya saya kawatir dengan apa yang saya saksikan ini disekeliling saya, yang membuat saya berpikir demikian, merupakan tanda-tanda saya terjebak dalam mitosku?

Sebenarnya waktu kuliah psikologi pendidikan, saya lebih sering mendengar bapak berkata agar kita jangan sok "AKU", agar kita tidak terjerat dalam lubang hitam. Dan sekarang bapak menyampaikan agar kita berhati-hati dengan mitos kita sendiri. Beberapa anak bartanya pak dalam obrolan kelas, apakah keduanya sama? atau berbeda tapi memiliki kaitan?
terimakasih..

ERVINTA DEWI said...

oh sebentar..

dengan demikian, selayaknya kita jangan over kukuh dengan pendapat kita, atau pengetahuan kita, karena hakekatnya ilmu itu sebenarnya berkembang seirng perkembangan zaman disesuaikan dengan kebutuhan.

sama halnya dengan zaman Euclides tentang prostulat kesejajarannya yang sekarang mulai digali dan dicari kelemahannya. kemudian darwin yang dulu sudah dianggap hebat dengan teorinya, kini bukankah terbantahkan jua. dan masih banyak para tokoh yang akhirnya diera modern ini ilmunya terbantahkan dengan realita dan keadaan khusus yang ditemikan sekarang..

Dr. Marsigit, M.A said...

Haris dan Ervinta, aku mengucapkan selamat karena engkau menurutku juga termasuk mahasiswa yang dapat meloloskan diri dari jebakan yang aku buat. Sebenar-benar jebakan itu adalah misteri bagi dirimu dan juga bagi teman-temanmu yang lain. Pada saatnya aku akan mengungkapkan apa misteri jebakan itu.
Khusus untuk Ervinta, jika aku terlalu semangat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanmu maka sudah pasti aku akan terancam oleh kesombonganku. Maka sebenar-benar diriku haruslah selalu mohon ampun agar setiap kata dan tindakanku terbebas dari dosa kesombonganku. Itulah bahwa mau tidak mau setiap tindakan dan ucapan kita seharusnya menjadi doa-doa kita. Amien.

Dr. Marsigit, M.A said...

Ervinta, dari elegi ini coba temukanlah mana paradoks nya?

MEINA berlianti said...

ass...wr..wb
selamat sore Pak....

Saat saya membaca "elegi menggapai paradoks tukang cukur" saya menjadi tersenyum sendiri.elegi yang Bapak tuliskan kali ini terkesan lucu tapi saya yakin Bapak menuliskan elegi ini bukan bermaksud untuk melucu, pasti ada pelajaran yang sangat penting yang terkandung di dalamnya.
terbukti saya memetik sebuah pelajaran berharga setelah membaca elegi ini yaitu setiap manusia yang ada di dunia ini tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, sehebat apapun dia. seperti halnya si tukang cukur,walaupun dia mampu mencukur rambut pelanggannya dengan hasil yang sangat bagus tetapi apakah jika dia mencukur rambutnya sendiri akan menghasilkan hasil yang sebagus jika dia mencukur rambut pelanggannya?.tentunya si tukang cukur memerlukan orang lain untuk dapat mencukur rambutnya.


nah....berhubungan dengan mitos,ternyata tukang cukur telah termakan oleh sebuah mitos ( "saya akan mencukur orang yang tidak mencukur dirinya sendiri" ).
karena mitos inilah kesombongan telah menghampiri tukang cukur.




MITOS...
tidak mudah percaya dengan mitos akan membuat kita semakin berpikir kritis dan terus belajar.
pertanyaan saya,apakah semua mitos itu akan menimbulkan efek yang buruk pada diri kita jika kita terlalu meyakini mitos tersebut Pak????


demikian coment saya Pak...
terimakasih banyak...


Wasalam.....

Dr. Marsigit, M.A said...

Meina Berlianti, saya ucapkan selamat bahwa engkau juga telah terlepas dari jebakan filsafat saya. Misteri jebakan dapat engkau tanyakan di perkuliahan. Satu hal, aku melihat dirimu itu luas seluas gurun. Itulah sindiranku kepada dirimu mengapa engkau tampilkan pemandangan sebagai gantinya wajahmu.

MEINA berlianti said...

hehehehe...
baik pak...kapan2 saya ganti...

hardiyanto_pmatnrc said...

Tukang cukur hanya akan mencukur orang yang tidak mencukur dirinya sendiri. Saat dia mengatakan bahwa dia tidak mencukur dirinya sendiri maka dia boleh mencukur dirinya sendiri. Tetapi, jika si tukang cukur mencukur dirinya sendiri maka dia harus stop karena dia hanya akan mencukur orang yang tidak mencukur dirinya sendirinya sedangkan dia adalah orang yang mencukur dirinya sendiri maka dia tidak boleh mencukur dirinya sendiri. Agar si tukang cukur keluar dari persoalannya maka dia harus keluar dulu dari mitosnya dan mengubah definisi dia tentang siapakah yang akan dia cukur.

Marsigit said...

Hardiyanto, itulah kesaksianmu dan aku menyaksikannya.

Marsigit said...

Meina Berlianti, engkau tidak lagi terlihat seperti gurun pasir. Amien

Tegar said...

maaf lagi pak, mungkin saya sudah terjebak.... saya sebenar-benarnya masih bingung, padahal saya sudah mencoba sadar, ikhlas, perhatian, dll.
yang saya bingungkan, apakah mitos itu tidak boleh kita jadikan acuan?
padahal terkadang mitos itu menjadi ilmu kita yang mungkin berguna bagi hidup kita...

Iwan Tegar Mandiri

Marsigit said...

Iwan Tegar Mandiri, sebenar-benar mitos adalah berhenti berpikir. Maka renungkanlah dan baca juga tanggapan saya untuk Dafid Slamet.

c@sEy_05301244102 said...

"Sebenar-benar mitos itu adalah berhenti berpikir".
Saya sangat setuju,
Misalnya saja kita membaca ramalan-ramalan tentang sesuatu yang akan terjadi pada diri kita baik besuk maupun yang akan datang, contohnya tentang karir. Misal dalam masalah keuangan, dalam ramalan tersebut mengatakan bahwa keuangan kita lancar-lancar saja. Nah karena kita mudah percaya bahkan malah dengan ramalan tersebut, misalnya. Pasti kita akan merasa dan berpikir tenang-tenang saja. Dan tentunya kita tidak akan memikirkan hal atau keadaan apa yang akan terjadi yang akan datang. Nah dengan kejadian tersebut berarti kita kita telah berhenti berpikir bukan??


_Kesi Rusdiana Dewanti_
05301244102

Marsigit said...

Kesi Rusdiana Dewanti, tentang ramalan, maka agar kita tidak termakan mitosnya, kita bisa ajukan pertanyaan atau pemikiran mengapa sampai diriku diralam demikian, apakah ada benang merah kegiatanku diwaktu lampau dan sekarang. Kemudian bagaimana sebenarnya teknik meramal itu. Metode apa yang mereka gunakan. Apa dibalik metode itu. Dst..dst. Itulah salah satu tugas bagi orang yang sedang belajar filsafat, seperti anda. Amien.

c@sEy_05301244102 said...

Nah bagaimanakah dengan orang yang membuat mitos itu sendiri pak??
Karena sebenar-benar mitos itu berhenti berpikir kenapa juga ada orang yang membuat mitos..
Bukankah kita itu tidak boleh termakan oleh mitos..

_Kesi Rusdiana Dewanti_

Marsigit said...

Kesi Rusdiana Dewanti, mitos adalah fakta dan juga obyek. Pembuat mitos adalah subyek sekaligus obyek. Si termakan mitos adalah obyek sekaligus subyek. Semuanya itu adalah potensi. Hubungan antara subyek dan obyek adalah hubungan subyek berkuasa terhadap obyeknya. Maka mitos itu paling subur bagi orang-orang yang sedang menggapai kekuasaandan bagi orang-orang yang dikuasai. Maka aku dapat katakan bahwa hidup adalah mewujudkan potensi menjadi fakta. Hidup adalah mewujudkan mitos menjadi logos. Hidup adalah mewujudkan obyek menjadi subyek. Okey

herry prasetyo said...

dari komentar teman teman munkin masih ada hikmah yang patut kita ambil dari elegi ini yaitu janglah kita bersikap plinplan. karena saya melihat tukang cukur tersebut tidak konsekuen dengan apa yang di ucapkan pertama kali,.

kemudian tentang komentar bapak ter hadap kesi. "hidup adalah mewujudkan potensi menjadi fakta".
bagaimana cara mewujudkan sebuah potensi menjadi sebuah fakta/kenyataan?

Marsigit said...

Herry Prasetyo, dalah konteks filsafat plin plan di dalam pikiranmu itu sebenarnya adalah bekal untuk menggapai ilmumu. Tetapai jagalah hatimu jangan sampai plin plan. Ikhtiar adalah cara untuk mewujudkan potensi menjadi fakta.

dewiervianita_philosphy said...

setelah saya membaca elegi Bapak ini,ada pelajaran yang sangat berharga untuk saya.Kita tidak boleh sombong dengan kemampuan yang kita miliki karena semua yang kita miliki tak ada apa-apanya dibanding dengan kuasa Tuhan.Oleh karena itu sehebat-hebatnya kita,pastilah kita membutuhkan bantuan orang lain.

Dewi Ervianita
07301244045
P.mat R 06

Anonymous said...

(mungkin)elegi ini mencoba menyampaikan pesan berupa sebuah mitos yang sedang memberontak daari mitos itu sendiri. dengan pemberontakan itulah mitos sedang berfilsafat juga supaya tidak menjadi korban dari jebakan mitos.
kita hendaknya merenungkan ulang mitos-mitos yang selama ini melekat pada diri kita. tentunya ini tidaklah lepas dari pekerjaan "pikiran". sedangkan bapak selalu berpesan agar "pikirAn" jangan serakah.
ada kalanya sesuatu itu bukan pekerjaan dari pikiran, melainkan masuk ke ranah hati.
\arifm

Marsigit said...

Mitos adalah potensi sedangkan ilmu adalah fakta. Demikianlah sebaliknya.

Marsigit said...

Dewi Ervianita, ..amien

Helen Riris Hotmian Br. Sitorus said...

Setelah saya membaca elegi Anda dan beberapa diskusi Anda di komentar. Pertama-tama, saya masih duduk di bangku mahasiswa semester 1 jurusan hukum. Dosen saya memberikan sebuah kalimat "Tukang cukur adalah orang yang mencukur orang yang tidak mecukur dirinya sendiri". Awalnya saya bingung, mengapa kami diberi tugas yang menurut saya tidak masuk akal dengan mata kuliah. Tetapi setelah saya membaca postingan blog Anda, saya tersadar apa jawaban dari paradoks ini, dan saya mengetahui banyak hal hanya dalam 1 kalimat saja. Terimakasih Pak 🙏🙏🙏