Oleh Marsigit
(Di gali dari butir-butir pemikiran Krathwhol)
Kesadaran:
Ada ilmu baru dihadapanku. Aku akan menyadari ilmu ini jika ilmu ini memang bermanfaat untuk dunia maupun akhirat. Tetapi untuk itu aku perlu pengakuan dan dukungan orang-orang disekiratku. Wahai ikhlas, sebetulnya aku menginginkan bertanya kepada banyak orang, tetapi mereka berada jauh dari diriku. Lagi pula mereka saling berderet-deret secara teratur ada yang paling dekat, dekat, agak dekat, agak jauh, jauh, paling jauh dan sangat jauh. Sedangkan engkau tahu bahwa orang yang paling dekat adalah dirimu. Sedangkan engkau tahu bahwa dirimu itu sebetulnya adalah ikhlasku. Maka jawablah pertanyaan-pertanyaanku, karena aku tahu bahwa pertanyaanku itu adalah awal dari ilmuku.
Ikhlas:
Wahai kesadaran, engkau akan bertanya apakah kepada diriku?
Kesadaran:
Begini. Ini ada ilmu yang baru saja dikenalkan oleh dosenku. Apakah engkau bisa menerima ilmu tersebut?
Ikhlas:
Sepanjang ilmu itu adalah demi kebaikan, maka aku selalu ikhlas.
Kesadaran:
Apa yang engkau maksud sebagai kebaikan?
Ikhlas:
Kebaikan adalah membawa manfaat yang baik, baik bagi dunia maupun akhirat.
Kesadaran:
Sepanjang yang saya ketahui, ilmu itu membawa manfaat yang baik, baik bagi dunia maupun akhirat.
Ikhlas:
Baik kalau begitu. Setelah aku pikir-pikir, ternyata keikhlasanku itu mempunyai prasarat.
Kesadaran:
Apakah prasaratmu itu?
Ikhlas:
Aku ikhlas menerima ilmu itu jika ilmu itu memang dalam jangkauan kesadaranmu dan menjadi perhatianku.
Kesadaran:
Sejauh yang aku sadari, ilmu itu terjangkau oleh kesadaranku. Tetapi aku tidak tahu apakah ilmu itu menjadi perhatianku atau tidak.
Kesadaran dan keikhlasan secara bersama bertanya:
Wahai perhatian, apakah engkau merasa bahwa ilmu yang dikenalkan oleh dosenku itu benar-benar menjadi perhatianmu?
Perhatian:
Sesungguhnya pertanyaanmu berdua itu sungguh aneh bagi diriku. Bukankan antara kesadaran, keikhlasan dan perhatian itu sebenarnya satu kesatuan. Mengapa engkau bertanya seperti itu?
Kesadaran dan keikhlasan:
Tetapi engkau tahu bahwa kita berduapun tidak berarti apa-apa tanpa perhatian.
Perhatian:
Baiklah. Suatu ilmu atau pengetahuan baru akan menjadi perhatianku jika bermanfaat baik untuk dunia maupun akhirat.
Kesadaran dan keikhlasan:
Kalau begitu tiadalah berbeda syarat-syaratmu itu dengan syarat-syarat kita berdua.
Kesadaran, keikhlasan dan perhatian berkata secara bersama-sama:
Kalau begitu kita bertiga berketetapan hati bahwa ilmu baru ini memang bermanfaat di dunia maupun akhirat. Marilah kita deklarasikan perihal penerimaan kita untuk memulai mempelajari ilmu itu.
Respon:
Wahai kesadaran, keikhlasan dan perhatian, mengapa engkau bertiga telah berbuat lancang telah mendeklarasikan perihal penerimaan anda bertiga untuk memulai mempelajari ilmu itu, tanpa terlebih dulu meminta ijin kepadaku.
Kesadaran, keikhlasan dan perhatian berkata secara bersama-sama:
Wahai respon, sebetulnya engkau itu merdeka terhadap diri kami. Apapun keadaan kami, maka terserahlah dirimu. Anda boleh ada juga boleh tidak ada di situ. tetapi jika anda ada disitu maka anda juga boleh menentukan sembarang sikapmu. Anda boleh postitif juga boleh negatif, tetapi juga boleh netral.
Respon:
Baik kalau begitu. Untuk menentukan sikapku maka gantian aku ingin bertanya. Sebetulnya ada masalah apa engkau menemuiku?
Kesadaran, keikhlasan dan perhatian berkata secara bersama-sama:
Begini. Kita bertiga berkenalan dengan ilmu baru. Kita bertiga sepakat bahwa ilmu baru itu ternyata bermanfaat bagi dunia maupun akhirat. Maka kami bersepakat pula untuk membuka diri kami untuk menerima memulai mempelajari ilmu itu. Tetapi kami bertiga menyadari bahwa langkah kami itu semata-mata ditentukan oleh sikapmu itu. Jika sikapmu positif maka engkau adalah orang ke empat yang menjadi rombongan kita untuk memulai perjalanan mempelajarai ilmu ini. Bagaimanakah jawabanmu?
Respon:
Ketahuilah bahwa aku itu terdiri dari dua hal. Pertama aku adalah kesudianku. Kedua aku adalah kemauanku. Jika aku sudi tetapi aku tidak mau, apalah artinya sikapku itu. Sebaliknya jika aku mau tetapi aku tidak sudi, maka apalah juga artinya sikapku itu. Agar aku sudi maka aku harus yakin dulu bahwa ilmu itu bermanfaat bagi dunia dan akhirat. Agar aku mau aku juga harus yakin bahwa ilmu itu juga bermanfaat bagi dunia maupun akhirat.
Kesadaran, keikhlasan dan perhatian berkata secara bersama-sama:
Baiklah kalau begitu syarat-syaratmu ternyata sama dengan syarat-syarat kami bertiga. Kalau begitu engkau bisa cepat bergabung dengan kami.
Respon:
Nanti dulu. Ketahuilah bahwa aku masih mempunyai satu unsur lagi. Unsurku yang ketiga adalah kepuasanku. Jadi aku harus yakin bahwa ilmu itu juga memberikan kepuasan terhadap diriku.
Kesadaran, keikhlasan dan perhatian berkata secara bersama-sama:
Lalu apakah kepuasanmu itu?
Respon:
Pertama aku harus mengetahui dulu, apakah engkau bertiga mempunyai payung yang dapat melindungiku dan dua unsurku yang lain?
Kesadaran, keikhlasan dan perhatian berkata secara bersama-sama:
Aku tidak mengerti dengan pertanyaanmu itu.
Respon:
Aku enggan selalu berkata dengan masing-masing dirimu. Aku lebih suka berkata denganmu sekaligus. Jikalau aku menyebut dirimu dengan satu nama saja, maka kira-kira engkau akan menggunakan nama apa?
Kesadaran, keikhlasan dan perhatian berkata secara bersama-sama:
Baiklah, sesuai dengan sifat-sifat yang kami miliki maka nama yang paling cocok dengan diri kami bertiga adalah penerimaan. Apakah dengan jawabanku ini engkau akan segera bergabung dengan diriku?
Respon:
Nanti dulu. Aku masih mempunyai satu syarat lagi. Syaratku yang satu lagi adalah bahwa agar aku mempunyai respon yang positif terhadap ilmu itu maka aku harus merasa puas terhadapnya. Aar aku merasa puas terhadapnya maka aku harus bisa berkomunikasi dengan nya. Padahal komunikasi yang aku minta adalah bahwa aku harus aktif memahaminya. Aku dengan ilmu itu harus bisa saling menterjemahkan dan diterjemahkan. Apakah engkau mampu menerima syarat-syaratku itu?
Penerimaan:
Dari sifat-sifat dan komunikasiku menterjemahkan dan diterjemahkan dengan ilmu itu, aku dapat mengambil kesimpulan bahwa ilmu itu mempunyai sifat-sifat seperti apa yang engkau syaratkan. Jadi silahkan engkau bersikap seperti yang telah engkau tetapkan melalui syarat-syaratmu itu.
Respon:
Baiklah kalau begitu aku bersedia bergabung dengan dirimu wahai penerimaan.
Nilai:
Wahai penerimaan dan respon, mengapa engkau berdua telah berbuat lancang telah mendeklarasikan perihal penerimaan dan respon positif anda berdua terhadap ilmu barumu itu,
tanpa terlebih dulu meminta ijin kepadaku.
Penerimaan dan respon bersama-sama menjawab:
Wahai nilai, sebetulnya engkau itu merdeka terhadap diri kami. Apapun keadaan kami, maka terserahlah dirimu. Anda boleh ada juga boleh tidak ada di situ. tetapi jika anda ada disitu maka anda juga boleh menentukan sembarang sikapmu. Anda boleh menilai baik, juga boleh menilai negatif, tetapi juga boleh netral.
Nilai:
Baik kalau begitu. Untuk menentukan sikapku maka gantian aku ingin bertanya. Sebetulnya ada masalah apa engkau menemuiku?
Penerimaan dan respon bersama-sama menjawab:
Begini. Kita berdua berkenalan dengan ilmu baru. Kita bertiga sepakat bahwa ilmu baru itu ternyata bermanfaat bagi dunia maupun akhirat. Maka kami bersepakat pula untuk membuka diri kami untuk menerima memulai mempelajari ilmu itu. Tidak hanya itu, kami juga sepakat untuk menerima dan merespon positif ilmu itu dengan syarat-syarat tambahan yang telah kami tentukan. Syarat-syarat tambahan itu antara lain bahwa kami dapat saling menterjemahkan dan diterjemahkan dengan ilmu itu. Tetapi kami berdua menyadari bahwa langkah kami itu semata-mata ditentukan oleh penilaian itu terhadap ilmu itu. Jika penilaianmu positif maka engkau adalah orang ke tujuh yang menjadi rombongan kita untuk memulai perjalanan mempelajarai ilmu ini. Bagaimanakah jawabanmu?
Nilai:
Ketahuilah bahwa aku itu terdiri dari tiga hal. Pertama aku adalah kehendakku. Kedua aku adalah referensiku. Ketiga aku adalah komitmenku. Agar aku berkehendak menilai ilmu itu, maka aku harus mempunyai referensi. Tetapi begitu aku memutuskan untuk menilai baik ilmu itu maka seketika aku berubah menjadi komitmenku. Ketiga hal tersebut itu tidak dapat aku pisahkan. Agar aku mempunyai kehendak untuk menilai maka aku harus yakin dulu bahwa ilmu itu bermanfaat bagi dunia dan akhirat. Aku juga harus bisa menterjemahkan dan diterjemahkan dengan ilmu itu. Artinya aku juga bersifat aktif dan tidak hanya pasif saja. Untuk itu maka aku juga memerlukan catatan-catatanmu.
Penerimaan dan respon bersama-sama menjawab:
Ternyata syarat-syaratmu itu sesuai juga dengan syarat-syaratku. Dan kami berdua juga bersedia memenuhi segala syarat-syarat tambahanmu. Apakah engkau bersedia bergabung dengan diriku?
Nilai:
Nanti dulu. Aku masih mempunyai syarat tambahan. Syarat tambahanku adalah apakah engkau dan aku kira-kira mempunyai payung untuk berlindung bersama?
Penerimaan dan respon bersama-sama menjawab:
Aku tidak mengerti apa maksudmu.
Nilai:
Maksudku adalah, jika aku telah menetapkan untuk menilai positif ilmu itu, apakah aku dan engkau bisa bergabung dengan satu nama saja.
Penerimaan dan respon bersama-sama menjawab:
Kami sebenarnya sangat toleran terhadap dirimu. Akan memberi nama apakah engkau bagi diri kita bertiga?
Nilai:
Jika engkau berdua tidak keberatan maka kita berdua melebur saja jadi satu dan kita beri nama sebagai minat.
Penerimaan dan respon bersama-sama menjawab:
Nama yang bagus. Kami setuju. Jadi?
Minat:
Jadi diriku sekarang adalah penerimaan, respon dan nilai. Tetapi tiga dalam diriku itu jika dijabarkan akan terdiri dari sembilan aspek yaitu kesadaran, sudi menerima, perhatian, sudi merespon, mau merespon, kepuasan, kehendak menilai, referensi untuk menilai dan komitmen.
Pengertian:
Wahai minat. Mengapa engkau telah berbuat lancang telah mendeklarasikan perihal minatmu untuk mempelajari ilmu itu, tanpa terlebih dulu meminta ijin kepadaku.
Minat:
Wahai pengertian, sebetulnya engkau itu merdeka terhadap diri kami. Apapun keadaan kami, maka terserahlah dirimu. Anda boleh ada juga boleh tidak ada di situ. Tetapi jika anda ada disitu maka anda juga boleh menentukan sembarang sikapmu. Anda boleh memahami ilmu itu sesuai dengan pengertianmu.
Pengertian:
Wahai minat. Sebetulnya syaratku mudah saja. Syaratku adalah asalkan engkau memang berkehendak untuk menilainya, engkau juga mempunyai referensi untuk menilainya dan engkau juga mempunyai komitmen untuk menilainya. Maka aku dengan serta merta akan membangun pengertianku terhadap ilmumu itu.
Nilai:
Ketahuilah pengertian. Sebetulnya syarat-syaratmu itu telah terkandung di dalam diriku.
Pengertian:
Baik kalau begitu. Aku telah mengerti akan ilmumu itu. Itulah sebenar-benar ilmumu dan ilmuku.
Tetapi ketahuilah bahwa pengertianku terhadap ilmumu itu ternyata tidak tunggal. Maka aku perlu mengelola pemngertian-pengertian itu. Aku perlu menggabung-ganbungkannya. Aku perlu merangkumkannya. Katakanlah bahwa aku terdiri dari konsep-konsep dan organisasi dari konsep-konsep tentang ilmu itu. Tetapi ketahuilah agar pengertianku itu bersifat komprehensif maka aku masih mempunyai permintaan terhadap dirimu.
Nilai:
Wahai pengertian, apakah permintaan tambahanmu itu?
Pengertian:
Aku mau menindaklanjuti pengertianku asal aku dan engkau menjadi satu saja yaitu sebagai sikap.
Nilai:
Nama yang bagus. Aku setuju. lalu?
Sikap:
Inilah sebenar-benar diriku yang telah menentukan sikap positif terhadap ilmuku yang baru ini. Maka sebenar-benar diriku adalah terdiri dari nilai dan pengertian.
Karakter:
Wahai sikap. Engkau telah berbuat lancang telah mendeklarasikan sikap positifmu terhadap ilmu barumu itu, tanpa terlebih dulu meminta ijin kepadaku.
Sikap:
Wahai karakter, sebetulnya engkau itu merdeka terhadap diri kami. Apapun keadaan kami, maka terserahlah dirimu. Anda boleh ada juga boleh tidak ada di situ. Tetapi jika anda ada disitu maka anda juga boleh menentukan sembarang karaktermu. Tetapi jika engkau telah
menampakkan karaktermu itu, maka karaktermu itu harus sesuai dengan diriku. Maka tinggal pilihlah engkau itu.
Karakter:
Sebetulnya jarak antara diriku dengan dirimu sangatlah dekat. Maka aku telah melakukan kesimpulan umum. Dan dari kesimpulan umum tentang pengertianmu maka aku mulai mempunyai ciri khas keilmuan barumu itu. Lebih dari itu aku bahkan kelihatan menonjol dalam dirimu. Ilmumu itu juga semakin tampak dalam karakterku. Tidak terasa aku telah mulai berubah dikarenakan ilmu baruku ini. Perubahan diriku itulah yang kemudian aku sebut sebagai karakterisasi. Aku bersyukur telah mampu mempelajari ilmu baru sehingga telah memberikan aku karakter sesuai dengan ciri keilmuan baruku itu. Bahkan aku mulai merasakan bahwa karakterku itu mempengaruhi kata-kata, ucapan, gerak, pikiran, kegiatan bahkan hatiku. Ternyata dengan karakterku yang baru ini aku tetap terjaga oleh hatiku. Amien.
Friday, March 27, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
10 comments:
saya ingin bertanya dengan segala keterbatasan saya.apakah perbedaan antara karakter dan sifat seseorang?
apakah karakter dapat di bentuk dan dapat diubah-ubah sesuai dengan keinginan atau karena sesuatu hal yang lain?
Haris, kalau Bahasa Inggrisnya sifat itu adalah characteristics. Hanya masalahnya kita selalu mempunyai pengertian yang bersifat konotatif. Maka misal muncullah pengertian character building. Jika kita sudah mulai sensitif, maka kita dapat menelusuri perbedaan karakter dan sifat berdasarkan konteks penggunaannya. Selamat buat pertanyaanmu yang bagus.
Berdasar yang saya tangkap dari "Elegi Menggapai Dimensi" bahwa dimensi berhubungan dengan ilmu dan dari "Elegi Menggapai Karakter" ini bahwa karakter pun berhubungan dengan ilmu. Jadi, saya ingin bertanya, ”Apakah hubungan antara dimensi dengan karakter?”
Terima kasih!
Hardiyanto, hubungannya adalah setiap dimensi punya karakter. Dan setiap karakter punya dimensinya.
ermawati 06301241018
Ass.
Dari elegi yang saya baca, saya menjadi lebih memahami tentang perbedaan karakter yang dimiliki oleh setiap orang. Karakter setiap orang dipengaruhi oleh ilmu yang mereka miliki.
Untuk memperoleh suatu ilmu itu bukanlah hal yang mudah. Butuh kesadaran, sudi menerima, perhatian, sudi merespon, mau merespon, kepuasan, kehendak menilai, referensi untuk menilai dan komitmen,sikap terhadap ilmu itu.
Dalam kenyataannya, kita sadar ilmu itu berguna,akan tetapi terkadang kita malas untuk mendapatkan ilmu tersebut/minat kita kurang sehingga menyebabkan sikap kita terhadap ilmu itu berkurang/perhatian kita kurang. alhasil kita tak bisa memperoleh ilmu itu.
Bapak, apakah yang harus kita lakukan agar kita mempunyai minat yang lebih terhadap suatu hal?
Erma, untuk memperoleh segala sesuatu bekalnya adalah iklhas, padahal untuk ikhlas terlebih dulu harus sadar. Setelah ikhlas..dst...sampailah engkau menggapai karakter. Kesimpulannya ternyata elegi inilah jawaban dari pertanyaanmu itu.
PAK MARSIGIT , saya ingin bertanya kenapa ilmu bisa mempengaruhi karakter dalam diri kita? dan bagaimana caranya agar kita bisa memiliki minat untuk memiliki ilmu?
Kristie, elegi ini telah menjawab pertanyaanmu. Selamat atas kemunculanmu yang masih agak baru. Bacalah elegi-elegi yang lainnya, mengertilah dan hayatilah. Itulah salah satu cara anda meningkatkan dimensimu. Amien.
Hati-hati dengan apa yang kita pikirkan karena apa yang kita pikirkan akan menentukan perbuatan kita
Hati-hati dengan perbuatan kita karena perbuatan kita akan menentukan prilaku
Hati-hati dengan perilaku kita karena perilaku kita akan menentukan sikap kita
Hati-hati dengan sikap kita karena sikap kita akan menentukan karakter kita
Hati-hati dengan karakter kita karna karakter kita pada akhirnya akan menentukan nasib kita
Saya setuju dengan elegi bapak karna saya sudah menmgalami Bahkan saya mulai merasakan bahwa sikapku mempelajari filsafat membuat karakterku mempengaruhi kata-kata, ucapan, gerak, pikiran, kegiatan bahkan hatiku
Apakah benar karakter pada akhirnya akan menentukan nasib???
NOKA SETYA MAHARANI
PEND. MATEMATIKA
08301244013
karakter kita mencerminkan kepribadian kita pula. Ketika kepribadian kita baik, maka karakter kita pastilah baik. Karakterpun berpengaruh terhadap tingkah laku kita sehari-hari. Ketika karakter kita baik, saya yakin dalam bertindak dan bertingkah laku juga akan bijak dan arif dalam kesehariannya. Padahal karakter yang kita bangun itu melalui ilmu kita. Sehingga, dalam menuntut ilmu niat dan usaha kita haruslah baik, bahwasannya ilmu itu nantinya akan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Niat ikhlas dan tekun dalam mencari ilmu adalah modal yang terpenting untuk membangun karakter kita lewat ilmu. Semoga, kita menjadi manusia yang senantiasa mengikhlaskan diri ,focus dan serius untuk menunut ilmu yang bermanfaat dan dapat membangun karakter yang baik dalam diri kita. Amin…
terimakasii ^^
Post a Comment