Tuesday, April 14, 2009

Elegi Menggapai Bicara

Oleh Marsigit

Kata-kata:
Wahai bicara, aku ingin protes kepadamu. Mengapa engkau duduk di situ mendahuluiku?

Bicara:
Wahai kata-kata. Tiadalah ada engkau di situ, jika tanpa aku ucapkan.

Kata-kata:
Wahai bicara, pernahkan engkau menuliskan kata-kata?

Bicara:
Wahai kata-kata, aku pernah menulis kata-kata. Maka tiadalah dirimu, jika tanpa aku tuliskan.

Kata-kata:
Wahai bicara, pernahkah engkau memikirkan kata-kata?

Bicara:
Wahai kata-kata, aku pernah memikirkan kata-kata. Maka tiadalah dirimu, jika tanpa aku pikirkan.

Kata-kata:
Wahai bicara, dengan apakah aku membuat pertanyaan-pertanyaanku?

Bicara:
Engkau membuat pertanyaan-pertanyaanmu dengan kata-kata. Jadi ..ternyata belum aku ucapkan, belum aku tuliskan, dan belum aku pikirkan, engkau telah membuat kata-katamu. Wahai kata-kata, mohon maafkan diriku, ternyata aku telah melakukan kontradiksi pada analisiku tentang kata-kata. Aku merasa bersalah. Maka aku akan menemui “bahasa” untuk mengadukan tentang nasibku ini.

Tulisan:
Wahai bicara dan kata-kata, aku ingin protes kepadamu. Mengapa engkau berdua duduk di situ mendahuluiku?

Bicara dan kata-kata:
Wahai tulisan. Tiadalah ada engkau di situ, jika tanpa aku bicarakan dan katakan.

Tulisan:
Wahai bicara dan kata-kata, pernahkan engkau membuat karya-karya menggunakan tulisan?

Bicara dan kata-kata:
Wahai tulisan, aku pernah membuat karya-karya menggunakan tulisan. Maka tiadalah dirimu, jika tanpa karya-karyaku.

Tulisan:
Wahai bicara dan kata-kata, pernahkah engkau memikirkan tulisan?

Bicara dan kata-kata:
Wahai kata-kata, aku pernah memikirkan tulisan. Maka tiadalah dirimu, jika tanpa aku pikirkan.

Tulisan:
Wahai bicara dan kata-kata, dengan apakah aku membuat pertanyaan-pertanyaanku?

Bicara dan kata-kata:
Engkau membuat pertanyaan-pertanyaanmu dengan tulisan. Jadi ..ternyata belum aku ucapkan dan belum aku pikirkan, aku telah membuat tulisan. Wahai tulisan, mohon maafkan diriku berdua, ternyata aku telah melakukan kontradiksi pada analisiku berdua tentang tulisan. Aku merasa bersalah. Maka marilah kita bertiga menemui “bahasa” untuk mengadukan tentang nasib kita ini.

Tulisan, bicara dan kata-kata:
Wahai bahasa, aku bertiga merasa bingung. Maka siapakah diriku bertiga itu.

Bahasa:
Wahai tulisan, bicara dan kata-kata, sesungguhnya dimensimu itu berbeda-beda. Tulisan, bicara dan kata-kata adalah bahasa

Tulisan, bicara dan kata-kata:
Wahai bahasa, kemudian, siapakah kata-kata itu?

Bahasa:
Wahai tulisan, bicara dan kata-kata, sesungguhnya kata-kata itu adalah salah satu dari diriku. Kata-kata adalah semua sifat yang ada. Maka semua sifat yang dapat engkau pikirkan dan ucapkan adalah kata-kata. Maka kata-kata itu berada di mana-mana sampai batas akal pikiranmu. Pikiranmu itu berkata. Keputusanmu itu berkata. Langkahmu itu berkata. Penampakkanmu itu berkata. Akvitasmu berkata. Pegaulanmu berkata. Keberadaanmu berkata. Penjelasanmu berkata. Pertanyaanmu berkata. Bahkan kata-katamu itu juga berkata. Semua peristiwa itu berkata. Maka semua yang ada dan yang mungkin ada itu berkata.

Tulisan, bicara dan kata-kata:
Wahai bahasa, kalau begitu siapakah bicara?

Bahasa:
Wahai tulisan, bicara dan kata-kata, sesungguhnya bicara itu adalah salah satu dari diriku. Bicara adalah semua sifat yang ada. Maka semua sifat yang dapat engkau pikirkan dan ucapkan adalah bicara. Maka bicara itu berada di mana-mana sampai batas akal pikiranmu. Pikiranmu itu bicara. Keputusanmu itu bicara. Langkahmu itu bicara. Penampakkanmu itu bicara. Akvitasmu bicara. Pegaulanmu bicara. Keberadaanmu bicara. Penjelasanmu bicara. Pertanyaanmu bicara. Bahkan bicaramu itu juga bicara. Semua peristiwa itu bicara. Maka semua yang ada dan yang mungkin ada itu bicara.

Tulisan, bicara dan kata-kata:
Wahai bahasa, kalau begitu siapakah tulisan?

Bahasa:
Wahai tulisan, bicara dan kata-kata, sesungguhnya tulisan itu adalah salah satu dari diriku. Tulisan adalah semua sifat yang ada. Maka semua sifat yang dapat engkau pikirkan dan ucapkan adalah tulisan. Maka tulisan itu berada di mana-mana sampai batas akal pikiranmu. Pikiranmu itu tulisan. Keputusanmu itu tulisan. Langkahmu itu tulisan. Penampakkanmu itu tulisan. Akvitasmu itu tulisan. Pegaulanmu itu tulisan. Keberadaanmu itu tulisan. Penjelasanmu itu tulisan. Pertanyaanmu itu tulisan Bahkan bicaramu itu tulisan. Semua peristiwa itu tulisan. Maka semua yang ada dan yang mungkin ada itu tulisan.

Tulisan, bicara dan kata-kata:
Wahai bahasa, kalau begitu siapakah dirimu itu.

Bahasa:
Wahai tulisan, bicara dan kata-kata, sesungguhnya bahasa adalah semua sifat yang ada. Maka semua sifat yang dapat engkau pikirkan dan ucapkan adalah bahasa. Maka bahasa itu berada di mana-mana sampai batas akal pikiranmu. Pikiranmu itu bahasa. Keputusanmu itu bahasa. Langkahmu itu bahasa. Penampakkanmu itu bahasa. Akvitasmu itu bahasa. Pegaulanmu itu bahasa. Keberadaanmu itu bahasa. Penjelasanmu itu bahasa. Pertanyaanmu itu bahasa. Bahkan bicaramu itu juga itu bahasa. Semua peristiwa adalah bahasa. Maka semua yang ada dan yang mungkin ada adalah bahasa.

Tulisan, bicara dan kata-kata:
Wahai bahasa, gantian saya yang ingin bertanya kepada engkau. Lalu, apakah hubungan antara bicara, kata-kata dan bahasa.

Bahasa:
Semua dari tulisan, bicara dan kata-kata adalah diriku. Bahkan lebih dari itu, semua yang dapat engkau pikirkan adalah bahasa. Semua subyek, obyek dan kalimat-kalimat adalah bahasa. Semua peristiwa adalah bahasa. Menterjemahkan adalah bahasa. Diterjemahkan adalah bahasa. Maka bahasa adalah hidup. Maka hidup adalah bahasa. Semua refleksi adalah bahasa. Maka filsafat itu adalah bahasa. Lebih dari itu, semua struktur adalah bahasa. Potensi adalah bahasa. Fakta adalah bahasa. Semua arti adalah bahasa. Kebutuhan adalah bahasa. Keinginan adalah bahasa. Maka bahasa adalah sekaligus makna dan referensinya. Tanpa kecuali maka semua elegi adalah bahasa.

Orang tua berambut putih:
Itulah sebenar-benar berfilsafat, yaitu seberapa jauh engkau dapat memperkatakan semua yang ada dan yang mungkin ada.
Itulah sebenar-benar berfilsafat, yaitu seberapa jauh engkau dapat memperbicarakan semua yang ada dan yang mungkin ada.
Itulah sebenar-benar berfilsafat, yaitu seberapa jauh engkau dapat mempertuliskan semua yang ada dan yang mungkin ada.
Itulah sebenar-benar berfilsafat, yaitu seberapa jauh engkau dapat memperbahasakan semua yang ada dan yang mungkin ada.
Maka:
Itulah sebenar-benar mendidik, yaitu seberapa jauh engkau memberi kesempatan dan kemampuan kepada siswa-siswamu untuk memperkatakan, memperbicarakan, mempertuliskan, dan memperbahasakan semua yang ada dan yang mungkin ada.
Maka:
Itulah sebenar-benar pembelajaran matematika, yaitu seberapa jauh engkau memberi kesempatan dan kemampuan kepada siswa-siswamu untuk memperkatakan, memperbicarakan, mempertuliskan, dan memperbahasakan semua matematika yang ada dan yang mungkin ada.
Maka:
Itulah mengapa elegi-elegi ini aku persembahkan untuk kamu semua wahai mahasiswaku, yaitu seberapa jauh aku memberi kesempatan dan kemampuan kepada engkau semua untuk memperkatakan, memperbicarakan, mempertuliskan, dan memperbahasakan semua yang ada dan yang mungkin ada. Maka jadikanlah elegi-elegi ini sebagai teladan bagi dirimu semua. Semoga kecerdasan menyertai pikiran dan hatimu semua. Amien.

24 comments:

haris fadilah said...

kata-kata,bahasa,tulisan mereka berdebat tentang mengapa selalu saja ada yang mendahuluinya.mereka bertanya tanya kenapa kamu mendahuluiku,mengapa kamu juga lebih mendahuluiku?
akan tetapi sebelum ada bahasa,kata2 dan tulisan ada yang lebih dulu dari mereka hati dan pikiran.Kata2,bahasa,dan tulisan merupakan wujud(bisa dikatakan riil) dari ungkapan hati dan pikiran.

Luthfiana Fatmawati said...

Semoga berbekal elegi ini kita dapat berusaha menjadi seorang pendidik yang mampu menjadikan pembelajaran berpusat pada siswa, dengan memberi kesempatan siswa untuk menggali, menyatakan pendapat, serta menyimpulkan suatu materi pembelajaran secara mandiri.

Luthfiana Fatmawati
06301241028
Pend. Matematika Reg 2006

Tegar said...

sebelumnya maaf Pak bila saya muncul lagi dan mungkin merepotkan bapak.

setelah membaca, dan saya berfikir. saya menghubungkan elegi ini dengan elegi menggapai harmoni.

Dalam elegi menggapai Harmoni dijelaskan bahwa menonjo dalam pembelajaran adalah disharmoni.

Yang saya tanyakan yaitu, dengan saya diberi kebebasan/kesempatan berbahasa, berbicara, berkata, serta menulis, padahal saya tipe orang yang mungkin memendam banyak sekali pertanyaan-pertanyaan, atau hal yang perlu saya bicarakan. dengan saya mengutarakan semua dan terlihat menonjol (padahal saya tidak ingin seperti itu), apakah saya bisa dikatakan diharmoni pak?
Sebaiknya saya bagaimana?

seperti itu pak pertanyaan saya, maaf bila ada kesalahan....
terima kasih.

Iwan Tegar Mandiri
06301244003

Nina Agustyaningrum said...

Assalamu'alaikum..
Amin ya rabbal 'alamin semoga kami semua mahasiswa bapak bisa menjadi mahasiswa yang cerdas dan berguna bagi nusa bangsa dan agama kelak..

Kata - kata, tulisan, bicara dan bahasa semua itu adalah fasilitas yang diberikan Allah SWT agar manusia dapat mengungkapkan pemikiran - pemikirannya dalam mengelola alam.

Begitu pula dalam pembelajaran matematika.Sebagai seorang calon guru kita memiliki tanggung jawab moral untuk mengembangkan pembelajaran matematika yang lebih baik. Ide-ide kreatif yang mungkin dimiliki oleh siswa harus kita kembangkan seoptimal mungkin.Caranya seperti yang dituliskan dalam elegi ini yaitu dengan memberikan lebih banyak kesempatan kepada siswa untuk memperkatakan, memperbicarakan, mempertuliskan, dan memperbahasakan semua matematika yang ada dan yang mungkin ada.

Wassalamu’alaikum..

Dr. Marsigit, M.A said...

Nina Agustyaningrum..anda adalah satu dari sekian banyak yang telah memahami elegi menggapai bicara. Amien

Achira said...

kata-kata, bicara , tulisan dan bahasa merupakan suatu rangkaian yang tak bisa dipisahkan dalam pembelajaran.....

Itu semua merupakan bekal dan fasilitas yang diberikan Allah SWT agar kita bisa membaca buah pikiran orang lain maupun mengungkapkan pikiran kita sendiri, membuat suatu karya yang insyaallah dapat berguna bagi nusa dan bangsa .....amiin

Dr. Marsigit, M.A said...
This comment has been removed by the author.
Dr. Marsigit, M.A said...

Untuk Semuanya...
Tidaklah bisa terlalu lama aku membiarkan engkau semua dalam keadaan tanpa mengenal esensi elegi ini. Dengan berat hati terpaksa saya ingin menyampaikan bahwa hampir sebagaian yang memberi komen pada Elegi Menggapai Bicara masih belum menyentuh substansi dari yang saya maksud dari elegi ini. Komentar anda semua hampir tentang penggambaran dirimu sebagai subyek bicara. Padahal dalam elegi ini lebih ditekankan kepada SI OBYEK yang BERBICARA. Untuk itu coba renungkanlah kembali pengakuan BAHASA sebagai berikut:
“Semua dari tulisan, bicara dan kata-kata adalah diriku. Bahkan lebih dari itu, semua yang dapat engkau pikirkan adalah bahasa. Semua subyek, obyek dan kalimat-kalimat adalah bahasa. Semua peristiwa adalah bahasa. Menterjemahkan adalah bahasa. Diterjemahkan adalah bahasa. Maka bahasa adalah hidup. Maka hidup adalah bahasa. Semua refleksi adalah bahasa. Maka filsafat itu adalah bahasa. Lebih dari itu, semua struktur adalah bahasa. Potensi adalah bahasa. Fakta adalah bahasa. Semua arti adalah bahasa. Kebutuhan adalah bahasa. Keinginan adalah bahasa. Maka bahasa adalah sekaligus makna dan referensinya. Tanpa kecuali maka semua elegi adalah bahasa.”
Maka:
Jika manusia berbicara, maka binatang berbicara, maka pohon berbicara, maka batu-batu berbicara. Seberapa jauh engkau semua mampu mendengar pembicaraan semuanya itu? Itulah esensi elegi ini.
Jika manusia berbicara, pikiranmu berbicara, perasaanmu berbicara, keinginanmu berbicara, perhitunganmu berbicara, pergaulanmu berbicara, dst. Seberapa jauh engkau semua mampu mendengar pembicaraan semuanya itu? Itulah esensi elegi ini.
Maka jika pikiranmu berbicara, maka matematika berbicara, arithmetika berbicara, geometri berbicara, segitiga berbicara...dst. Seberapa jauh engkau semua mampu mendengar pembicaraan semuanya itu? Itulah esensi elegi ini.
Maka jika guru berbicara, maka murid berbicara, keinginan murid berbicara, buku-buku berbicara, kemempuan murid berbicara, alat peraga berbicara, ...dst. Seberapa jauh engkau semua mampu mendengar pembicaraan semuanya itu? Itulah esensi elegi ini.
Bukankah semua elegi ini telah berusaha memberikan teladan kepada engkau semua, betapa aku berusaha keras sekuat tenaga bagaimana memperbicarakan semua yang ada dan yang mungkin ada. Maka dapat aku katakan bahwa diriku adalah menggapai memperbicarakan semua yang ada dan yang mungkin ada.
Maka setinggi-tinggi tantanganmu semua mempelajari filsafat adalah memperbicarakan mereka semua, atau memperbicarakan semua yang ada dan yang mungkin ada, atau mendengar pembicaraan dari semua yang ada dan yang mungkin ada. Itulah sebenar-benar elegi.
Maka renungkanlah. Sehebat-hebat dirimu adalah yang telah memberikan komentarnya.
Semoga kecerdasan senantiasa menyertai pikiran dan hatimu semua. Amien
(Marsigit)

Dr. Marsigit, M.A said...

Masih untuk semuanya...

Tambahan ...maka semua yang ada dan yang mungkin ada adalah bahasa. Angin sempoi-sepoi, gelombang laut, gunung berapi, ...semuanya itu adalah ada. Semuanya itu adalah bahasa. Maka dapat aku katakan bahwa dunia adalah bahasa. Aku juga dapat mengatakan bahwa ternyata diriku adalah bahasa.

Maka Renungkanlah

Maka ada pula kata-kataku, bicaraku, tulisanku, itu semua aku berusaha aku perbicarakan dalam elegi ini.

Maka renungkanlah

Padahal aku tahu bahwa di dalam diriku masih terdapat bermilyar-milyar sifat-sifatku yang berhak pula berbicara. Itu baru diriku, yang hanya setitik butir pasir di dunia ini.

Maka renungkanlah.

Amien

HARYONO.S said...

Selamat Malam Pak.
Maaf,malam-malam begini bertanya kepada Bapak.
Dari elegi-elegi yang sama baca, Saya melihat bahwa Bapak banyak menggunakan metode filsafat Dialetika.
Apa terinspirasi oleh Georg Hegel ?

Marsigit said...

Selamat Haryono, ..analisis anda telah mulai kritis. Tentu karena anda menambah bacaan anda. Sekarang anda mulai memahami bahwa filsafat adalah pemikiran para filsuf. Tiada seorang filsufpun dapat terbebas dari setiap pemikiran para filsuf. Saya ulangi "setiap". Mengapa? Karena setiap filsuf itu merupakan bagian dari rangkaian membahasakan dunia ini. Tidaklah harus semata-mata berpikir benar dan salah, tetapi penjelasan anda itulah filsafat. Maka jangan lupa tanyakanlah hal ini dalam perkuliahan agar saya ingat untuk menjelaskannya. Penilaianmu dan isinya penilaianmu tentang diri saya, dapat ditelaah dari banyak sisi. Misalnya, bahwa engkau pun telah melakukan REDUKSI tentang Marsigit. Bahwa Marsigit engkau reduksikan sebagai terpengaruh oleh HEGEL. Tetapi diriku yang menggapai lengkap tentunya akan memberontak terhadap reduksi demikian. Itulah kehebatan REDUKSI sekaligus bahayanya. Tetapi akupun telah melakukan reduksi terhadapmu, dengan mengatakan engkau telah melakukan reduksi. Sehingga engkau semakin paham, bahwa tiadalah manusia itu terbebas dari reduksi. Jadi dapat aku katakan bahwa hidup itu sebetulnya adalah reduksi. Tetapi dalam filsafat, tidak berhenti di sini. Maka penjelasan-penjelasanmu tentang reduksimu itulah yang lebih penting. Itulah sebenar-benar ilmumu, yaitu penjelasanmu. Demikian juga, sekarang saya sedang memberikan penjelasan ini kepadamu, maka inilah ilmuku. Ternyata penjelasanku ini muncul setelah engkau memberikan pertanyaanmu. Maka itulah sebenar-benar ilmumu, yaitu pertanyaanmu. Maka mampu bertanyapun menjadi sangat penting di dalam filsafat. Karena bertanya adalah awal dari ilmumu. Teruskan membaca. Semoga sukses. Amien.

hardiyanto_pmatnrc said...

Saya telah membaca dan merenungkan, hasil perenungan saya adalah: "berarti semua yang ada dan yang mungkin ada, baik itu mahluk hidup, benda mati, sesuatu yang nyata, bahkan sesuatu yang abstrak pun yang tak bisa kita lihat, yang tak bisa sentuh, yang tak bisa kita rasakan, semuanya bisa berbicara. Walaupun, berbicaranya semua yang ada dan yang mungkin ada itu tak seperti berbicaranya manusia karena masing-masing memiliki bahasa tersendiri tetapi kita bisa untuk memperkatakan, memperbicarakan, dan memperbahasakan semua yang ada dan yang mungkin ada, atau mendengar pembicaraan dari semua yang ada dan yang mungkin ada seperti bagaimana kita (manusia) berbicara. Maka saat kita bisa untuk memperkatakan, memperbicarakan, dan memperbahasakan semua yang ada dan yang mungkin ada, atau mendengar pembicaraan dari semua yang ada dan yang mungkin ada, saat itu kita telah menggapai membicarakan semua yang ada dan yang mungkin ada”. Mohon tanggapan Bapak, terima kasih!!!

Dr. Marsigit, M.A said...

Hardiyanto...ya begitulah kiranya. Anda telah mulai mengerti makna elegi ini. Maka sebenar-benar filsafatmu adalah kemampuanmu memperbahasakan yang ada dan yang mungkin ada. Maka dapat aku katakan bahwa sebenar-benar dirimu adalah menggapai memperbahasakan yang ada dan yang mungkin ada. Tetapi ketahuilah bahwa tiadalah manusia dapat memperbahasakan semua yang ada dan yang mungkin ada. Hanya Tuhan YME lah yang mampu memperbahasakan semua ciptaan Nya. Sedangkan manusia itu hanya berusaha.

c@sEy_05301244102 said...

Assalamu'alaikum....

Sebelumnya saya minta maaf pak , karena saya lama sekali tidak muncul dalam coment bapak. Dikarenakan saya 2 minggu kemarin sakit tipes. Alhamdulillah sekarang sudah sehat.
Saya mau tanya pak, kemarin waktu ujian sisipan filsafat saya tidak bisa ikut,apakah ada kesempatan untuk saya pak untuk mengikuti ujian susulan?
Nah berdasarkan cerita singkat saya tersebut apakah bisa dikatakan bahwasanya saya telah berusaha menggapai memperbahasakan semua yang ada dan yang mungkin ada. Seperti dalam elegi ini dikatakan bahwa semua peristiwa adalah bahasa. Semua kalimat-kalimat adalah bahasa. Semua yang dapat aku pikirkan adalah bahasa. Jadi semua tulisan, bicara dan kata-kataku tentang cerita singkat saya tersebut adalah bahasa. Fakta adalah bahasa.
Bahasa adalah hidup. Hidup pastilah adalah bahasa. Karena bahasa sangatlah penting dalam hidup untuk berkomunikasi antar sesama. Termasuk saya dengan bapak...
Bagaimana tanggapan bapak....
Terima kasih..

_Kesi Rusdiana Dewanti_
05301244102

Marsigit said...

Kesi Rusdiana Dewanti ...dan yang lainnya. Yang merasa belum mengikuti Ujian Sisipan I Filsafat, silahkan segera susulkan pekerjaan anda dan bawalah pada saat kuliah dan jangan lupa sampaikan kepada saya, agar saya tidak lupa. Untuk kesi semoga kesehatanmu sudah pulih kembali. Amien.

Marsigit said...

Masih untuk Kesi...anda kelihatannya juga telah mulai mengerti maksud elegi ini. Maka sebenar-benar tantanganmu adalah seberapa jauh engkau mampu memperbahasakan SAKIT mu itu? Artinya seberapa jauh engkau mendengar semua hal terkait SAKIT mu itu berbicara? Kemudian seberapa jauh engkau mampu menginformasikan kepada orang lain tentang perbincangan para anggota sakitmu itu. Itulah sebenar-benar menggapai bicara. Tetapi ketahuilah bahwa tiadalah orang mampu memperbahasakan semua yang ada dan yang mungkin ada, kecuali Tuhan YME. Manusia itu hanyalah berusaha menggapai memperbahasakan.

Dr. Marsigit, M.A said...

Masih untuk Kesi...jika aku menjadi engkau maka akupun akan membuat Elegi Menggapai Sehat

c@sEy_05301244102 said...

assalamu'alaikum...

InsyaALLAH pak saya akan berusaha membuat " elegi menggapai sehat"...
sambil berlatih berolah pikir.....
Semoga saya bisa pak...amiiin

_Kesi Rusdiana Dewanti_
05301244102

Dr. Marsigit, M.A said...

Kesi Rusdiana Dewanti...aku menunggu elegimu. Silahkan posting di blog anda.

Dr. Marsigit, M.A said...

Tugas Membuat Elegi:
Untuk semuanya...tentukan satu persoalan yang paling dominan dalam kehidupanmu sekarang. Kemudian persoalan tersebut engkau buatkan sebagai judul elegi mu. Buatlah elegi anda masing-masing, dan postingkan di blog anda masing-masing. Sekali lagi postingkan di blog anda masing-masing, jangan di kolom comment ini. Di kolom comment ini cukup informasikan saja kepadaku atau teman yang lain bahwa anda telah membuat elegi dengan judul tertentu.

Dr. Marsigit, M.A said...

Catatan:
Masih untuk semua...sebaiknya elegi anda saya batasi saja dengan judul "Elegi Perbincangan Matematika". Silahkan ganti matematika dengan konten matematika, misal segitiga, lingkaran, dst.

Dr. Marsigit, M.A said...

Luthfiana Fatmawati...kenapa anda belum posting tugas filsafat

dewiervianita_philosphy said...

Bapak...dari elegi bapak yang satu ini mungkin saya bia menghubungkannya dengan jurusan yang saya ambil yaitu calon pendidik matematika...kita sebagai seorang calon pendidik tidak hanya mengedepankan kemampuan otak saja akan tetapi bagaimana kita bisa menulis,berkata,berbicara dengan baik atau komunikatif dan santun kepada anak didik kita.Lebih tepatnya kita juga harus mempunyai kcerdasan linguistik atau kebahasaan yang seimbang dengan IQ,SQ,EQ...

Apakah seperti itu benar adanya Pak?atau mungkin ada saran dari Bapak untuk kami sebagai calon pendidik?

Dewi Ervianita
07301244045
P.Mat R 06

Dini Wirianti, S.Pd::Graduate student::LTA::09706251003 said...

Di sini saya berkata, berbicara, menulis, dan berbahasa tentang Filsafat. Filsafat luas...seluas samudera. Filsafat itu dalam...sedalam hati. Filsafat layaknya cadas...sekokoh batu karang pondasi bangunan. Filsafat itu seperti air...mengikuti bentuk ruang dan waktu.Filsafat itu sejelas yang ada dan semaya yang akan ada. Namun penentunya hanya pada TUHAN YME...sebab Dialah yang paling absolut.