Thursday, February 5, 2009

Elegi Seorang Hamba Menggapai Kedamaian

Oleh: Marsigit

Kemenangan yang datang:
Terang teranglah sudah. Puas puaslah sudah. Akhirnyanya kesampaian juga harapanku. Inilah yang selamanya aku cari. Telah aku korbankan segalanya untuk menemukan kedamaian. Damai damailah sudah. Kini saatnyalah aku perlu bereuporia dalam kedamaianku. Dalam damaiku ini aku akan lebih banyak berafirmatif daripada berinterogated. Karena selama berafirmatif itulah aku terbebas dari keraguanku. Aku terbebas dari pertanyaanku. Inilah kepastian yang selama ini aku cari. Maka dalam kedamaianku maka pasti dan pastilah aku. Tiada keraguan lagi bagiku. Maka selesailah perjuanganku. Selesai dan selesai. Maka menanglah diriku. Menang dan menang. Maka merdekalah aku dalam kedamaian dan merdekalah aku dalam kemenangan

Memperdalam makna kemenangan:
Yah kemenangan itu begitu indahnya bagiku. Aku akan selalu menyanyikan kemenanganku itu dalam lagu dan syair kalimat afirmatif. Karena dengan kalimat afirmatif maka aku bisa selalu dalam kemenangan dan kepastian. Maka kujaga dan kupegang erat-eratlah kalimat afirmatif. Dan saya tidak mau lagi direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan lagi. Inilah ilmuku. Inilah kepastianku. Inilah kemenanganku. Dalam kemenangan ini aku merasa seperti dalam ruangan yang serba indah dan serba ada. Tiadalah kekurangan dalam diriku. Maka hanyalah tinggallah satu yang perlu aku gapai, yaitu ketika aku harus mengahadap kepada sang Kholik. Tetapi kapan ya itu?

Begitu mendengan kalimat terakhir sebagai pertanyaan, maka muncullah orang tua berambut putih:
Salam, wahai hamba Tuhan. Terimakasih engkau telah memanggilku kembali. Apa khabar? Baik-baik saja bukan? Aku telah lama tidak berjumpa denganmu. Kemana sajakah engkau? Kelihatannya wajahmu berbinar-binar. Sepertinya hatimu juga bergembira. Kelihatannya engkau baru saja meraih sesuatu atau mencapai suatu hasil yang besar bahkan mungkin sangat besar.

Hamba menggapai kedamaian:
Salam, kembali wahai orang tua berambut putih. Benar apa yang engkau katakan. Ketahuilah bahwa aku sedang menikmati kemenanganku sendiri, maka janganlah kau usik diriku dengan titah-titahmu lagi. Semuanya yang engkau katakan, semuanya yang engkau pikirkan bahkan semuanya yang akan engkau ucapkan, terkira-kira aku telah mengetahuinya. Aku telah mengetahui prinsip dan pokoknya. Aku telah mengetahui arah dan tujuannya. Jadi biarlah aku menikmati kepastian dan kemenanganku ini sendirian tanpa engkau usik kembali. Maka sebenar-benar aku sekarang adalah aku yang tidak lagi memerlukanmu. Inilah yang selama ini aku perjuangkan. Inilah yang selama ini berusaha raih dengan segenap pengorbananku. Maka sekali lagi, aku dapat katakan bahwa diriku sekarang adalah sebenar-benar diriku yang tidak memerlukan dirimu lagi. Bahkan ketika engkau mengaku sebagai pertanyaanku dan ketika engka mengaku sebagai ilmuku sekalipun, maka sebenar-benar bahwa aku tidak lagi memerlukan dirimu lagi. Kenapa engkau hanya diam seribu bahasa. Bukankah engkau tadi juga sempat pergi, tetapi mengapa sekarang engkau menghampiriku lagi, wahai orang tua?

Orang tua berambut putih:
Wahai hamba menggapai damai, biarkan aku terdiam sejenak. Aku memerlukan waktu sejenak untuk meneteskan air mataku. Maka tidak pula hanyalah engkau yang menginginkan diam dan tenang. Akupun demikian. Maka sebenar-benar diriki sekarang adalah diriku yang tidak ingin engkau usik. Yaitu ketika aku diam. tetapi ketahuilah bahwa sebenar-benar yang terjadi adalah bahwa diamku tidak lah sama dengan diammu. Jikalau diammu engkau rasakan sebagai euporia kemenangan. Maka diamku adalah euporia kesedihan. Aku terdiam karena tidak bisa melantunkan kata-kataku. Aku terdiam karena memberi kesempatan kepada diriku untuk menangis. Tetapi mengapa ketika ketika aku terdiam dan menangis, engkau pergi dari hadapanku?

Hamba menggapai kedamaian menhampiri orang tua berambut putih:
Wahai orang tua berambut putih. Aku baru mengalami kejadian yang luar biasa yang menimpa diriku. Ketika engkau bertanya kenapa aku pergi, maka datanglah energi yang luar biasa dasyatnya sehingga melemparkan diriku ke tampat yang jauh. Ternyata tempat yang sangat jauh itu tidak lain tidak bukan adalah tempat di depanmu ini. Itulah mengapa serta merta aku menghampirimu, ketika engkau membuat pertanyaan. Tetapi aku tidak mengetahui dari manakah energi sebesar itu?

Orang tua berambut putih terperanjat mendengar penuturan hamba menggapai damai:
Oh hamba menggapai damai. Bukankah keadaanmu sekarang adalah bertentangan dengan apa yang engkau katakan dan engkau cita-citakan. Bukankah engkau merasa telah menemukan kedamaianmu? Engkau telah menemukan kepastianmu. Maka engkau ingin hidup menyendiri. Dan engkau tidak lagi memerlukan pertanyaan-pertanyaan. Bahkan dengan sombongnya engkau tidak lagi menginginkan ilmu. Tetapi kenapa engkau masih melantunkan pertanyaan-pertanyaanmu? Bukankah engkau masih ingat bahwa pertanyaanmu itu adalah ilmumu. Ilmumu tidak lain-tidak bukan adalah diriku. Mengapa di satu sisi engkau menampikku sekaligus merindukanku? Bukanlah itu kontradiksi dalam pikiranmu?

Hamba menggapai damai:
Wahai orang tua berambut putih. Kenapa pertanyaanmu yang terakhir juga telah menyebabkan aku terlempar di depanmu? Perkenankanlah aku juga menginginka diam sejenak untuk sekedar meneteskan air mataku. Yang sekarang ini diamku agak berbeda dengan waktu yang lalu. Aku sedih karena aku juga melihat bahwa dalam dirimu terdapat kontradiksi. Bukankah engkau pernah mengatakan bahwa kontradiksi adalah sebenar-benar ilmu dalam pikiranku. Kenapa engkau menyesali kontradiksi itu?

Orang tua berambut putih:
Wahai hamba menggapai damai. Ingin aku katakan bahwa sebenar-benar yang terjadi adalah bahwa aku baru saja mengalami peristiwa seperti apa yang engkau alami. Begitu engkau melantunkan pertanyaanmu, maka datanglah energi yang besar sehingga melemparku ke hadapanmu.

Hamba menggapai batas dan orang tua berambut putih terhentak oleh kesadarannya sendiri, dan bersama-sama melantunkan kata-kata:
Jikalau engkau adalah ilmuku, maka aku ternyata adalah juga ilmumu. Maka aku telah menemukan bahwa sebenar-benar yang terjadi adalah bahwa aku dan engkau tidak dalam keadaan diam. Aku menjumpai bahwa aku dan engkau saling datang dan pergi. Aku dan engkau saling bertanya dan menjawab. Aku dan engkau saling memerlukan dan berjuang. Aku dan engkau belum berhenti. Aku dan engkau belum memperoleh kepastian. Aku dan engkau masih diliputi keraguan. Maka belumlah selesai perjuangan hidupku ini. Maka belumlah ada sebenar-benar kemenangan itu. Tetapi mengapa kita terburu-buru merayakannya?

Hamba yang lain datang menghapiri:
Wahai hamba menggapai damai. Bolehlah engkau menyebut diriku sebagai hamba ataupun sebagai orang tua berambut putih. Itu sama saja buatku. Tetapi aku juga terpaksa datang oleh karena pertanyaanmu yang terakhir. Aku ingin menyampaikan bahwa sebenar-benar menggapai ilmu tiadalah ada akhir batasnya. Maka “keadaan jelas” bagimu adalah sebenar-benar ancaman bagimu. Barang siapa telah merasa jelas akan sesuatu maka seketika “ruang gelap” telah menantimu. Mengapa? Karena bisa saja jelasmu itu adalah jelasnya sekedar ruanganmu, bukankah engkau juga menginginkan jelas pula untuk ruangan di sebelahmu. Bagaimana mungkin engkau memperoleh jelas akan ruang di sebelahmu jikalau engkau terperosok dalam-dalam pada suatu ruang saja. Bukankah “diam” mu itu menunjukkan bahwa engkau sedang menikmati “keterperosokkanmu” di dalam “ruang gelapmu”. Itulah sebenar-benar bahaya di muka bumi ini, yaitu jika seseorang telah merasa jelas akan sesuatu, sehingga yang demikian telah menghilangkan ikhtiarnya untuk memperoleh pengetahuan selanjutnya. Bukankah itu adalah kesombongan luar biasa bagi seseorang yang telah merasa bisa sehingga merasa toidak perlu lagi mencari pengetahuan yang lainnya. Maka sebenar-benar bahaya adalah ruang-ruang gelap yang setiap saat siap menerkammu sehingga engkau puas dalam kedamaian kepastianmu. Ketahuilah bahwa tiadalah sesuatu yang pasti di dunia ini. Kepastian itu hanyalah milik Allah SWT. Maka jikalau seseorang telah menolak ilmu-ilmunya, maka sulitlah bahwa dia masih dapat dikatakan sebagai sebenar-benar hidup di dunia ini. Ingatlah bahwa sebenar-benar hidup adalah ilmu. Bahkan ketika matipun kita masih memerlukan ilmu. Bukankah kita memerlukan ilmu bagaimana kita bisa meninggalkan dunia ini dengan khusnul khotimah. Amien Ya robbal alamin.

3 comments:

mufarikhin said...

Puas..puas.. kata Mr.Thukul
Dapatkah manusia mencapai titik kepuasan? Manusia hidup mempunyai keinginan dan harapan. Keinginan ini selalu "menggaris" sepanjang hidupnya. Satu keinginan terpenuhi, muncul keinginan lain yang lebih. Bukankah hidup itu dinamis? Bukankah ilmu juga dinamis? Bukankah ilmu Tuhan luasnya tak bertepi? Andaikan semua air laut menjadi tinta, niscaya tak akan cukup untuk menuliskan ilmu Tuhan.
Siapa yang tahu, mana awal, mana akhir dari titik-titik pada keliling lingkaran?
"Tuntutlah ilmu sejak ayunan sampai ke liang lahat."(al-Hadits)

Siti Salamah Graduate Student LT/A said...

Membaca tulisan Bapak saya teringat dengan kata-kata bu Marwah Daud."janganlah engkau menetap di satu tempat dengan waktu yang cukup lama, karena kemapanan&kenyamananmu itulah justru yang akan menghancurkanmu". Benar sekali perasaan nyaman dan mapan yang berlebihan atau kepuasaaan yang dalam hingga terciptalah kedamaian. bisa jadi ini bukanlah satu bentuk ketercapaian dari pencarian terhadap ilmu. Hal ini disebabkan bahwa dalam kedamaian, kemapanan dan kenyamanan otak seseorang biasanya akan enggan untuk berfikir. maka godaan terbesar pada titik ini adalah kepuasan. Kepuasan yang berlebihan akan membawa pada kesombongan.
sepakat sekali bahwa harus ada dinamisasi dalam mencari ilmu. mendobrak kemapanan adalah upaya untuk tidak terjebak pada kondisi statis.

lestari said...

NAMA : LESTARI
NIM : 07410013 ( UPY )
Assalamualaikum.........
Saya membaca elegi bapak yang berjudul Elegi Seorang Hamba Menggapai Kedamaian.kedamaian itu berasal dari hati...dalam mencari ilmu tidaklah ada batasannya. Aku tidak mau menjadi orang yang bodoh (orang yang menganggap dirinya tahu). The Liang Gie mendefinisikan filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.
Dalam kuliah bapak saya mengetahui ada 3 macam filsafat yaitu epistimologi, ontologi, aksiologi. Saya terkesan dengan cara bapak mengajar. Dengan memberikan tes yang bapak sebut dengan salam filsafat. Hal itu membuat saya termotivasi untuk mendalami ilmu filsafat.
Filsafat ilmu adalah epistimologi
Bacalah elegi-elegi
Yang tersedia di blog ini
Karena suatu hari nanti
Bisa menjadi inspirasi