Wednesday, January 28, 2009

Elegi Seorang Guru Menggapai Kesempatan

Oleh: Marsigit
Guru menggapai kesempatan berada di persimpangan jalan:
Di persimpangan jalan inilah aku mempunyai kesempatan, tetapi ketika datang kesempatan itu ternyata dia bersifat jamak. Ada kesempataku berbelok ke kiri, ke kanan, serong kiri, serong kanan, berbalik tetapi juga bisa terus jalan lurus. Anehnya, ada pula kesempatanku untuk ragu-ragu bahkan diam doing nothing. Maka satu-satunya kepastian adalah bahwa aku mempunyai kesempatan memilih. Itulah harga yang selama ini aku cari dan aku perjuangkan. Tetapi ingin aku katakan bahwa tidak memilih pun merupakan kesempatanku. Aku sangat gembira dengan kesempatan ini. Tetapi di tengah euporia ku maka aku mulai bertanya apakah sebenar-benar kesempatan itu? Untuk itulah maka aku ingin bertanya. Tetapi bertanya kepada siapakah aku ini?
Orang tua berambut putih datang menghampirinya:
Muridku, kau telah memanggilku. Ada apakah gerangan?
Guru menggapai kesempatan:
Aku belum bertanya kenapa kau sudah datang?
Orang tua berambut putih:
Bukankah kalimatmu terakhir mempertanyakan kepada siapa kamu akan bertanya, itu juga pertanyaan.
Guru menggapai kesempatan:
Oh iya, terimakasih atas peringatanmu. Guru, dapatkah kau menjelaskan kepadaku apa sebenar-benar kesempatan itu?
Orang tua berambut putih:
Kesempatan adalah kemerdekaan. Kesempatan adalah potensi sekaligus fakta. Maka sebenar-benar hidup adalah kesempatan. Jikalau seseorang sudah tidak mempunyai kesempatan maka tiadalah dia dapat dikatakan sebagai hidup. Maka jikalau kamu menginginkan tetap hidup maka gapailah kesempatan itu.
Guru menggapai kesempatan:
Lalu apa relevansinya kesempatan itu dengan tugasku sebagai guru
Orang tua berambut putih:
Hidupmu adalah karena hidupnya orang lain. Jika tiadalah orang lain hidup disekitarmu, maka siapakah yang akan mengatakan bahwa dirimu hidup. Oleh karena itu maka wajib hukumnya bahwa engkau sebagai guru harus selalu menghidup-hidupkan murid-muridmu. Murid-muridmu yang hidup itulah yang akan menyanyikan bahwa dirimu juga hidup. Maka sebenar-benar hidup adalah hidup dan saling menghidupkan.
Guru menggapai kesempatan:
Hebat nian kau guru. Aku bertanya tentang kesempatan mengapa engkau sampai pada penjelasan tentang hidup?
Orang tua berambut putih:
Jika engkau telah benar-benar hidup dan telah benar-benar hidup dan menghidupkan, maka tiadalah sesuatu di dunia ini yang tidak kait berkait. Maka kesempatan itu sebenarnya adalah hidup dan hidup itu adalah kesempatan. Semua yang ada di dunia itu kait berkait, dan itu adalah karena pikiranmu yang hidup. Maka jikalau engkau ingin melihat dunia, maka tengoklah ke dalam pikiranmu, karena dunia itu persis seperti apa yang engkau pikirkan.
Guru menggapai kesempatan:
Hebat nian kau guru. Aku bertanya tentang kesempatan mengapa engkau sampai pada penjelasan tentang dunia dan pikiran.
Orang tua berambut putih:
Baiklah aku kembali akan menjelaskan tentang kesempatan. Kesempatan itu adalah keadaan. Kesempatan itu adalah sifat. Kesempatan adalah keadaan di mana suatu sifat tidak tertutup oleh sifat yang lain. Jika suatu sifat menutup sifat yang lain, maka sifat yang menutup dikatakan “menentukan” dan sifat yang tertutup dikatakan “ditentukan”.
Guru menggapai kesempatan:
Lalu apa relevansinya sifat menentukan dan sifat ditentukan dengan tugasku sebagai guru.
Orang tua berambut putih:
Menentukan dan ditentukan itu adalah hubungan kuasa yang satu dengan tidak kuasa yang lain. Bukankah sudah pernah aku katakan bahwa guru itu kuasa terhadap muridnya, di sadari atau tidak disadari, disengaja atau tidak disengaja. Maka guru itu adalah kuasa untuk menutup sifat murid-muridnya. Sedangkan murid-muridnya tidak kuasa untuk menghindar dari sifat menutup gurunya. Maka sebenar-benar orang yang paling berbahaya di dunia ini adalah mereka yang sangat menikmati kegiatannya menutipi sifat-sifat yang lainnya. Maka engkau adalah guru yang sangat berbahaya bagi murid-muridmu jika engkau sangat menikmati kegiatanmu menutupi sifat murid-muridmu. Maka sebenar-benarnya tidak hidup adalah jika sifat-sifatnya tertutup oleh sifat yang lain.
Guru menggapai kesempatan:
Mohon guru, mohon guru, yang ini diteruskan lebih detail karena menurut saya sangat penting.
Orang tua berambut putih:
Guru yang baik adalah guru yang mampu hidup dan menghidup-hidupkan murid-muridnya. Maka janganlah sekali-kali keberadaanmu dan kegiatanmu sebagai guru menutup sifat-sifat murid-muridmu. Karena sifat yang tertutup itulah sebenar-benar tiada kesempatan.
Guru menggapai kesempatan:
Baik guru, di sini saya mulai antusias karena saya merasa sangat cocok dengan persoalan saya sebagai guru. Kemudian saya ingin bertanya lagi, bilamana dan bagaimana saya dikatakan menutup sifat murid-muridku.
Orang tua berambut putih:
Pertanyaan yang hebat. Itu adalah pertanyaan dari seorang yang cerdas. Ciri-ciri guru menutup sifat-sifat murid-muridnya adalah jika dia secara sepihak mendiskripsikan ciri-cirinya. Jika kau katakan muridmu sebagai malas, padahal dia belum tentu malas, maka yang demikian itu engkau telah menutupi sifatnya. Jika engkau katakan bahwa muridmu bodoh, padahal belum tentu dia bodoh, maka yang demikian itu telah menutupi sifatnya. Ketika kamu bicara sementara muridmu mendengar, maka itu adalah proses menutupi sifat-sifatnya. Ketika kamu bekerja sementara muridmu melihat, maka itu adalah proses menutupi sifat-sifatnya. Ketika kamu bertanya sementara muridmu berusaha menjawab maka itu adalah proses menutupi sifat-sifatnya. Ketika kamu berinisiatif sementara muridmu menunggu, itu adalah proses menutupi sifat-sifatnya. Ketika kamu menyuruh sementara muridmu melaksanakannya maka itu adalah proses menutupi sifat-sifatnya. Ketika kamu menilai prestasi siswamu maka itu adalah kejadian lain dari kegiatanmu menutupi sifat-sifatnya. Maka adalah sungguh berdosalah bagi orang-orang yang gemar menutupi sifat orang lain, karena yang demikian dampaknya begitu besar bagi murid-muridnya. Bahkan aku bisa katakan bahwa menutupi sifat itu tidak lain tidak bukan adalah pembunuhan secara perlahan-lahan.
Guru menggapai kesempatan:
Sebentar guru, jikalau sebaliknya, maksudku justeru yang melakukan atau yang menutui sifat itu siwa, yaitu siswa menutupi sifat gurunya, bukankah itu sama dosanya.
Orang tua berambut putih:
Itulah sebenar-benar hakekat kesempatan, hakekat sifat dan hakekat kuasa. Sifat-sifat dari orang berkuasa adalah lain pula sifatnya dengan sifat-sifat orang yang tidak atau kurang berkuasa. Jikalau muridmu bicara dan kamu mendengarkan, maka itu bukanlah muridmu sedang menutupi sifatmu, tetapi itulah engkau sedang memberikan kesempatan kepadanya. Jikalau muridmu bertanya dan engkau menjawab, maka itu bukanlah muridmu sedang menutupi sifatmu, tetapi itulah engkau sedang memberikan kesempatan kepadanya. Jikalau muridmu berinisiatif dan engkau menunggu, maka itu bukanlah muridmu sedang menutupi sifatmu, tetapi itulah engkau sedang memberikan kesempatan kepadanya. Jikalau muridmu melakukan kegiatan sementara engkau menontonnya, maka itu bukanlah muridmu sedang menutupi sifatmu, tetapi itulah engkau sedang memberikan kesempatan kepadanya. Demikian seterusnya. Jadi sifat memberi kesempatan dan sifat menutup sifat, adalah berbeda-beda sifatnya sesuai domisilinya, apakah dalam orang yang berkuasa atau dalam orang yang dikuasai.
Guru menggapai kesempatan:
Kenapa engkau sebut aku sebagai guru menggapai kesempatan. Padahal sesuai dengan uraiannya mestinya aku lebih tepat kalau kau sebut sebagai guru memberi kesempatan.
Orang tua berambut putih:
Itulah ujianku terhadap dirimu. Kalau itu adalah engkau sendiri yang mengatakan maka baiklah untuk dirimu. Tetapi jikalau aku yang mengatakan maka tidak baiklah untuk dirimu. Mengapa? Karena dengan demikian aku telah menutupi sifatmu.
Guru menggapai kesempatan:
Ah guru, mohon maaf, bukankah guru telah berbuat kontradiktif, ambivalensi atau bertentangan di dalam guru sendiri. Di dalam Agama itu disebut sebagai munafik. Bagaimana menurutmu?
Orang tua berambut putih:
Benar ucapanmu. Sampai di sini aku merasa terharu walau mungkin kamu tidak demikian. mengapa karena engkau semakin pandai saja. Sampai di sinilah aku akan katakan sesuatu yang tidak bisa aku katakan sebelumnya.
Guru menggapai kesempatan:
Apa itu guru? Tolong jelaskan. Au menjadi penasaran dibuatnya.
Orang tua berambut putih:
Benar ucapanmu. Ketika aku berbicara panjang lebar kepadamu, maka aku sedang dalam proses menutipi sifat-sifatmu. Padahal aku sedang berbicara memberi kesempatan. Jadi aku tidak bisa memberi kesempatan tanpa menutupi sifat-sifatmu. Maka aku tidak bisa terhindar dari pertentangan dalam diriku. Jikalau engkau sensitif dan peka maka dapat aku katakan “pertentangan” itulah sebenar-benar hakekat diriku.
Guru menggapai kesempatan:
Oh guru mengapa demikian. Mengapa aku capai-capai mengikutimu ternyata engkau hanyalah sebuah kontradiksi. Oh Tuhan ampunilah aku, ya Tuhan. Guru macam apalah engkau ini. Kenapa engkau mengajariku banyak hal padahal engkau sendiri adalah kontradiksi. Aku sudah tidak bisa lagi menangis. Air mataku sudah kering. Lalu aku harus bagaimana?
Orang tua berambut putih:
Tenang dan sabarlah. Karena ciri-ciri orang cerdas adalah jika dia bisa mengendalikan secara proporsional perasaannya.
Guru menggapai kesempatan:
Saya harus sabar bagaiman guru? Bukankah selama ini kau telah menipuku. Menipuku secara besar-besaran. Maka tiadalah ampun bagimu, wahai guruku.
Orang tua berambut putih:
Padahal apa yang akan aku katakan justeru lebih berat dari itu. Sudah saya katakan berkali-kali bahwa diriku tidak lain tidak bukan adalah pengetahuanmu. Telah terbukti bahwa diriku tidak bisa terhindar dari pertentangan, maka dapat aku katakan bahwa bahwa sebenar-benar ilmumu itu adalah pertentangan atau kontradiksi. Tiadalah suatu ilmu tanpa kontradiksi, karena jika tidak ada kontradiksi maka itu berarti berlaku hukum identitas. tetapi dengan hukum identitas kita tidak akan mendapat ilmu apa-apa. Karena A adalah A itulah hukum identitas. “Aku” adalah “Aku” itu juga hukum identitas. Ketahuilah bahwa kalimat “Saya adalah guru” itu sebenar-benar kontradiktif dalam filsafat. Mengapa? Itu adalah kontradiktif dan tetap kontradiktif sampai engkau dapat membuktikan bahwa “Saya” itu identik atau persis saama dengan “guru”. Padahal kita tahu bahwa “saya” tidaklah sama dengan “guru”. “saya” mempunyai sifat-sifat yang berlainan dengan “guru”. Demikian pula bahwa “2+3=5” adalah juga kontradiktif secara filsafati mengapa, karena sebenar-benar bahwa “2+3” belumlah sama dengan “5” sebelum engkau mampu membuktikannya.
Guru menggapai kesempatan:
Wahai guru, aku belum bisa menerima penjelasanmu itu. Karena guruku yang lain mengatakan “Jagalah hatimu dan jangan sampai ada pertentangan di situ. Jika terdapat satu saja pertentangan di hatimu, maka itu pertanda syaitan duduk di situ”. Kalau begitu apakah engkau sedang mengajarkan ilmunya syaitan kepadaku guru?
Orang tua berambut putih:
Benar pertanyaanmu dan benar pula ucapan gurumu yang lain itu. Sedari awal yang aku bicarakan adalah tentang dirimu dan diriku. Berkali-kali aku katakan bahwa diriku adalah ilmumu. Ilmumu adalah pikiranmu. Jadi sebenar-benar aku adalah pikiranmu. Jadi konradiksiku adalah kontradiksi dalam pikiranmu. Barang siapa ingin memperoleh ilmu dalam pikirannya, maka bersiaplah dia menemukan kontradiksi-kontradiksi itu.
Guru menggapai kesempatan:
Terus bagaimana dengan hatiku ini guru?
Orang tua barambut putih:
Hatimu adalah jiwamu. Hatimu adalah hidupmu. Hidupmu tidak lain tidak bukan adalah hatimu. Maka barang siapa baik hatinya maka baik pula hidupnya. Dan barang siapa buruk hatinya maka buruk pula hidupnya. Sebenar-benar hatimu itu adalah satu, yaitu rakhmat Nya. Maka hatimu tidak lain tidak bukan adalah ibadahmu. Sebenar-benar hatimu adalah doa-mu. Jadi tiadalah pertentangan dan keragua-raguan di sana. Barang siapa membiarkan adanya pertentangan dan keragu-raguan di hati maka syaitan lah yang akan menghuni hatinya. Maka dengan tegas aku katakan jagalah hatimu jangan sampai ada pertentangan ataupun kontradiksi.
Guru menggapai kesempatan:
Hah.. itulah sebenar-benar ilmuku guru. Oh Tuhan ampunilah segala dosaku. Aku telah berbuat durhaka kepada guruku. Kenapa guruku yang begitu hebat telah aku sumpah serapah. Manusia macam apakah aku ini ya Tuhan. Kiranya engkau cabut nyawaku sebagai tebusannya, maka ikhlaslah aku. Wahai guruku, sudilah engkau memaafkan diriku, dan sudilah aku masih tetap bersamamu.
Orang tua berambut putih:
Itulah sebenar-benar ilmu. Itulah sebenar-benar rakhmat. Yaitu jikalau engkau menyadari kelemahanmu dan selalu mohon ampun ke hadlirat Nya. Untuk meningkatkan profesionalismemu maka belajar dan selalu belajarlah, membaca dan selalu membacalah, bertanya dan selalu bertanyalah, berdoa dan selalu berdoalah. Inilah sebenar-benar kesempatan itu. Maka raihlah kesempatan itu. Tetapi janganlah salah paham karena sebenar-benar guru menggapai kesempatan adalah jika dia dapat selalu hidup dan menghidupkan murid-muridnya. Maka sebenar-benar guru menggapai kesempatan adalah jika murid-muridnya sebenar-benar menggapai kesempatan pula. Maka sebenar-benar hidup adalah memberi dan diberi kesempatan. Amien.

6 comments:

mufarikhin said...

Kesempatan adalah waktu.
Waktu adalah uang
Waktu adalah pedang
Kesempatan adalah hidup
Hidup adalah mengabdi
Mengabdi adalah ibadah dan ibadah adalah kebutuhan
Kesempatan adalah ilmu
Ilmu adalah kesadaran diri
kema'rifatan diri

"Fa-inna ma'al 'usri yusran, inna ma'al usri yusra. Faidza faragta fanshab."(Maka sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. sesungguhnya sesudah kesulitan datang kemudahan. Maka jika engkau telah menyelesaikan suatu perkara maka bangkitlah)

Amiable said...

Sudah menjadi kodratnya bahwa manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepadaNya (kholifah).Jika ibadah itu dilandasi dengan keimanan yang benar maka rasa capai dan letih akan berbuah kenikmatan dikemudian hari. Namun jika ibadah yang tidak dilandasi dengan keimanan bagaikan debu diatas batu yang licin terkena air hujan.guru adalah propesi yang memberikan kesempatan untuk beribadah yang luas karena apa yang diberikan kepada murid/mahasiswanya adalah ilmu yang dimiliki dan semakin diberikan bukan semakin berkurang bahkan sebaliknya.Maturnuwun pak Marsigit atas tulisannya semakin banyak bapak menulis maka nilai ibadah bapak akan semakin tinggi di mata Allah, semoga hamien....(Pak bagaimana membuat instrumen yang baik mohon petunjukknya)

sumadi said...

Segala kebaikan akan berbuah kebaikan pula. bagaikan menanam sebutir biji, setiap batang akan tumbuh tujuh ranting, setiap ranting akan tumbuh 100 buah.
begitulah perumpamaan seorang guru yang dengan ikhlas mengabdikan ilmunya untuk beibadah kepada sang kholik. karena kita menyadari hanya ibadahlah yang akan di bawah menghadap ilahi robbi. berbahagialah seorang guru yang dengan ilmunya dapat melahirkan ilmuwan yang taat kepada sang kholik. itulah guru yang besar itu. terima kasih atas tulisan bapak, semoga Allah selalu memberikan kekuatan untuk tetap beribadah kepadaNya.

Unknown said...

Setiap orang dihadapkan dengan pilihan. Dengan adanya pilihan maka bisa dikatakan ada pula kesempatan. Kesempatan untuk memilih. Apa yang dia pilih juga kesempatan. Tiap hari orang selalu dihadapkan pada pilihan. Pilihan yang selalu berpasangan. Memilih ke selatan atau ke utara. Memilih ke timur atau barat. Yang berat atau yang ringan. Yang tinggi atau yang rendah.dst.. Setiap orang pada dasarnya memiliki kemerdekaan untuk memilih. Oleh karena itu suatu hal yang tidak baik jika ada perampasan hak untuk berfikir, hak untuk berimajinasi, kreatifitas.

Gunawan (S2 PMat 09 UNY)

Siti Salamah Graduate Student LT/A said...

membeca tulisan Bpk, saya merasa bahwa seberapa jauh perjalanan kita dalam pengembaraan mencari ilmu tak akan lepas dari RahmatNya, bahwa siapa yang dikehendaki olehNya untuk memahami hal2 sederhana, maka sesungguhnya ia baru saja mendapatkan ilmu.
adapun sifat kontrdiktif dari ilmu itu sendiri adalah agr manusia tak mudah puas dengan segala sesuatu yang telah ia capai. maka mencari ilmu uibarat menyelami sungai tak berbatas. Di sinilah kita membutuhkan Rahmat dan bimbinganya takkala sungai yang kita selami tidak kita ketahui di mana muaranya. untuk itu sebagai wujud kebersyukuran kita, tanggungjawab kita atas kepercayaan yang telah di berikan plehNya pada kita maka puncak dari perjalanan mencari ilmu adalah kemampuan untuk memberikan kebermanfaatan untuk orang lain.

Yosefin Rianita Hadiyanti said...

Saya tertarik dengan kata "kesempatan".
Dalam hidup ini manusia selalu dihadapkan pada banyak pilihan, seperti pilihan untuk menuntut ilmu atau tidak, dan lain sebagainya.
Dan yang patut disyukuri adalah dalam hidup ini manusia selalu diberikan kesempatan seperti kesempatan untuk menuntut ilmu guna pengembangan diri manusia itu sendiri. Namun sangat disayangkan pada masa sekarang ini kesempatan yang diberikan sudah banyak yang disia-siakan. Semoga saya menjadi orang yang menghargai kesempatan yang diberikan.