Tuesday, January 27, 2009

Elegi Seorang Guru Menggapai Siswa

Oleh: Marsigit

BERANGKAT KE SEKOLAH

Guru menggapai siswa:

Ketika aku akan berangkat ke Sekolah, tidak seperti biasanya hari ini. Kenapa tiba-tiba di depan rumahku telah ada beberapa jalan baru, ada jalan yang lurus dan lebar, ada jalan yang sempit dan berkelok-kelok, ada jalan yang kelihatannya licin, ada jalan yang berbatu-batu. Halaman rumahku juga tidak seperti biasanya, dia menjadi luas dan banyak tanaman serta hiasan jalan. Aku kemudian tertegun memikirkan apa yang sedang terjadi. Apakah ini sebuah mimpi atau kenyataan. Betul-betul aku tidak dapat membedakan. Kalau sebuah mimpi, mengapa aku bisa melihat, berjalan, bercakap-cakap dan lain-lain. Kalau sebuah kenyataan, mengapa aku tidak mengerti mengapa semua ini mesti terjadi?. Kepada siapa mesti aku bertanya. Jika aku bertanya kepada dia si tua berambut putih, jawabnya pasti adalah bahwa sebenar-benar ilmuku adalah antara mimpi dan kenyataan ini. Ah bosan aku. Paling jawabnya ya gitu-gitu aja. Ah itu ada orang lewat. Rambutnya tidak putih. Yang ini aku agak semangat untuk bertanya.
Pertanyaanku:
“Hai saudaraku, aku lihat engkau begitu nyaman dan enaknya melewati jalan-jalan itu. Padahal jalan itu bagiku begitu rumitnya, disamping bercabang-cabang, semit, licin lagi. Tetapi engkau begitu mahirnya, masih pakai sepatu roda lagi. Seakan-akan engkau sedang mengejekku saja. Bolehkah aku bertanya kepadamu, hai saudaraku”
Orang berambut tidak putih:
“ Oh, alhamdullilah. Aku telah tidak sengaja telah diberi kenikmatan oleh Tuhan untuk bisa bersilaturahim kepadamu. Baik, ingin bertanya apakah saudaraku juga?”
Pertanyaanku:
”Aku sudah beberapa waktu tidak mengajar. Aku merindukan siswaku. Tetapi tiba-tiba banyak jalan di depan rumahku. Aku bingung jalan mana yang harus ku lalui? Dapatkah kau menunjukkan jalan mana yang menuju ke Sekolah ku?”
Orang berambut tidak putih:
“Ampun tuanku, mengapa engkau mesti bertanya seperti itu? Bukankah sangat jelas terlihat bahwa jalan manapun yang engkau lewati semuanya bisa menuju ke Sekolah mu?”
Pertanyaanku:
“Apakah jalan yang lebar itu?”
Orang berambut tidak putih:
“Jalan yang lebar itu bisa juga. Anda jalan lurus saja sampai pertigaan, belok kiri sampai perempatan, kemudian belok kanan sampai perlimaan. Kemudian ambil tikungan yang no 3 dari kiri, setelah itu ada jalan menurun dan jembatan kemudian jalan menaik serta menelusuri tebing , terus sampai ditanah datar dan terdapat bangunan-bangunan baru. Diantara bangunan-bangunan baru itulah Sekolahmu berada”
Pertanyaanku:
“Bagaimana dengan jalan yang sempit di sebelah kiri ini?”
Orang berambut tidak putih:
“Boleh juga. Walaupun kelihatannya sempit, tetapi nanti setelah tikungan pertama, jalan ini akan melebar bahkan bercabang. Ambil cabang kiri teruskan sampai perempatan. Kemudian beloklah ke kanan sampai pertigaan. Kemudian belok kanan lagi sampai jalan berlubang kemudian naik sedikit. Setelah itu terlihatlah dua buah jembatan, maka teruskan sehingga menelusuri tebing, kemudian melingkar, karena ada taman di situ. Diujung jalan yang melingkar, engkau akan menemukan tanah datar beserta banyak bangunan di situ. Diantara banyak bangunan itulah, Sekolah mu berada.
Pertanyaanku:
“Aku bingung, bisakah engkau menghantarkanku ke Sekolah”
Orang berambut tidak putih:
“Maaf, karena aku juga harus mengajar pada jam yang sama, padahal sekolah kita lokasinya berbeda. Untuk saat ini aku tidak bisa menghantarmu. Mungkin lain kali. Baiklah saudaraku selamat bekerja dan sampai di sekolah kita masing-masing”

DI TENGAH KEBINGUNGAN, ORANG TUA BERAMBUT PUTIH TERNYATA MENGHAMPIRINYA

Orang berambut putih:

Aku dengar tadi kau merindukan murid-muridmu, benarkah itu?
Guru menggapai siswa:
Oh guruku. Tidak kusangka engkau menghampiriku lagi.
Orang berambut putih:
Sudah kukatakan, bahwa setiap engkau bertanya maka hadirlah aku di situ. Karena aku adalah pengetahuanmu.
Guru menggapai siswa:
Tetapi guru, setiap aku melihatmu maka tubuhku terasa ringan seakan-akan terbang tinggi setinggi langit. Tetapi pikiranku terasa berat seakan tenggelam di dasar laut. Mataku melebar seakan seluas gurun pasir. Bagaimana ini guru. Dapatkah engkau menolongku.
Orang berambut putih:
Sebenar-benar pertolongan datangnya dari Allah SWT, maka mohonlah pertolongan pada Nya.
Guru menggapai siswa:
Ya Tuhan, ampunilah segala dosaku, ampunilah segala dosa orang tuaku, ampunilah segala dosa leluhurku. Berikan aku pertolongan Mu ya Allah. Kenapa ilmuku telah membuatku berat untuk melangkah, ragu-ragu untuk menentukan, tidak yakin untuk memilih, tidak jelas untuk memandang.
Orang berambut putih:
Amien. Amien ya Robbal alamin. Aku ikut berdoa semoga terkabul segala permohonanmu.
Guru menggapai siswa:
Bukankah guru belum menjawab pertanyaanku.
Orang berambut putih:
Hah, apa tidak terbalik. Kalau tidak salah yang bertanya bukankah aku? Kan aku yang bertanya kepadamu, benarkah kamu merindukan murid-muridmu? Dan engkau belum menjawabnya.
Guru menggapai siswa:
Aku sekarang telah tidak mempercayaimu. Karena kamu telah pelupa dan tidak mengetahui keadaanku yang sebenarnya.
Orang berambut putih:
Mengapa.
Guru menggapai siswa:
Kenapa engkau tidak pula mengetahui bahwa sebenarnya saya telah bertanya kepadamu. Tetapi pertanyaanku tidak aku ucapkan. Dan kenapa engkau tidak pula mengerti akan hal itu.
Orang tua berambut putih:
Baik. Kalau engkau tidak mempercayaiku, maka aku sebaliknya. Kepercayaanku kepadamu justru meningkat sekarang, karena engkau semakin mempedulikanku. Itu pertanda bahwa engkau semakin cerdas. Aku akan tingkatkan bicaraku kepadamu, karena kamu telah meningkat ilmumu. Engkau telah mengajakku bicara tentang hakekat bertanya. Apakah sebenarnya pertanyaan itu? Apakah selalu bahwa pertanyaan itu perlu diucapkan? Bolehkan aku bertanya dalam hati saja? Apakah selalu bahwa pertanyaan memerlukan jawabannya? Bolehkah kita menanyakan semuanya yang ada?
Guru menggapai siswa:
Tentu saja guru. itulah yang ku inginkan.
Orang berambut putih:
Jika engkau punya keinginan itu, tentu aku pun boleh punya keinginan.
Guru menggapai siswa:
Apa keinginanmu guru?
Orang berambut putih:
Jika memang itu yang kau kehendaki, maka keinginanku adalah mengajakmu bicara tentang tidak hanya hakekat pertanyaan. Tetapi hakekat rindu, hakekat siswa, hakekat merindukan siswa, hakekat jalan, hakekat jalan menuju ke sekolah, hakekat sekolah, hakekat mengajar, hakekat belajar, hakekat matematika, hakekat matematika sekolah, hakekat mengajar, hakekat tanya jawab, hakekat metode pembelajaran, hakekat penilaian, hakekat ujian, hakekat, menghukum, hakekat memberi bekal, hakekat, motivasi, hakekat appersepsi, hakekat diskusi, hakekat kelompok, hakekat diskusi kelompok, hakekat kkompetensi, hakekat standard, hakekat silabus, hakekat RPP, hakekat alat peraga, hakekat sumber belajar, hakekat tugas, hakekat PR, hakekat kewajiban, hakekat kebutuhan, hakekat investasi, hakekat constructivis, hakekat contextual, hakekat..., hakekat..., hakekat, ...
Guru menggapai siswa:
Ampun guruku. Ampunilah aku, karena aku telah berlaku sombong dan telah menghinamu. Ternyata pengetahuanmu sangat tinggi dan luas. Banyak sekali apa-apa yang ada dalam pikiranmu, bermacam-macam lagi. Menjawab satu pertanyaanmu saja aku merasa tidak mampu. Sekali lagi mohon ampun aku wahai guruku.
Orang berambut putih:
Wahai muridku. Perkenankanlah aku sekarang memanggil engkau, muridku. Iba rasa hatiku, haru rasa hatiku setelah mendengar engkau memohon ampun berkali-kali. Padahal ketahuilah, bahwa sebenar-benar aku adalah ilmumu, maka tetesan air mata ini sebagi pertanda bahwa kita saling memaafkan. Karena jika engkau peka dan sensitif, aku juga telah berlaku sombong. Dengan membuat begitu banyak pertanyaan tanpa sempat memberimu kesempatan bukankah itu kesombonganku. Maka maafkanlah juga aku wahai muridku.
Guru menggapai siswa:
Bolehkan engkau menerangkan satu persatu apa yang kau maksud dengan bermacam-macam hakekat itu?
Orang berambut putih:
Boleh, tetapi kita juga terikat oleh ruang dan waktu. Maka katakanlah sebenarnya, diantara sekian banyak yang telah aku sebut itu, engkau akan menanyakan yang mana?

BERTEMU DENGAN MURID

Guru menggapai siswa:

Aku ingin bertanya hakekat RINDU dan CINTA
Orang berambut putih:
Baik. Rindu adalah keinginan untuk mengulangi pengalaman masa lampau. Tetapi ketahuilah bahwa adalah engkaulah yang mempunyai keinginan itu. Dan engkau pulalah yang mempunyai pengalaman itu. Padahal kita tahu, banyak orang mempunyai keinginan dan pengalaman yang berbeda-beda. Keinginanku dan pengalamanku jelas lain dengan keinginanmu dan pengalamanmu. Keinginanmu dan pengalamanmu jelas lain dengan keinginan dan pengalaman muridmu. Jadi jika engkau merindukan muridmu, maka belum tentulah muridmu itu merindukanmu. Maka waspadalah jika engkau mempunyai perasaan rindu. Jangan-jangan itu tidak lain tidak bukan adalah egomu. Maka aku sangat khawatir, ketika engkau mengatakan bahwa engkau merindukan untuk bertemu murid-muridmu. Karena jika betul-betul itu adalah egomu, maka hanyalah menjadi korban darimu itulah murid-muridmu. Adalah sebaliknya yang kita harapkan, yaitu keadaan yang sangat berpengharapan bilamana murid-muridmu itulah yang sebenar-benar merindukan dirimu. Maka jangan sekali-kali engkau merasa rindu kepada muridmu manakala itu adalah egomu. Biarlah bahwa muridmu itulah yang merindukanmu. Maka sebenar-benar rindu adalah miliknya dan bukan milikmu.
Guru menggapai siswa:
Kemudian kalau begitu apa pula hakekat cinta?
Orang tua berambut putih:
Setali tiga uang. Dari uraianku di atas, maka setiap kata-kata ku tentang rindu bisa kamu substitusikan dengan kata cinta. Maka aku juga mengkhawartirkan perasaan cintamu itu. Jangan-jangan maksudmu mencintai sesuatu justru sebetulnya merusak apa yang kau cintai itu. Dengan demikian maka tiadalah cinta yang kau dapat, melainkan penderitaan adanya. Bukankah pengalaman menunjukkan bahwa tidaklah selalu bahwa cinta itu berkesampaian. Orang jawa bilang "welas tanpa asih" itu adalah cinta karena egomu tetapi tidak cinta karena asih. Maka sebenar-benar cinta adalah miliknya bukan milikmu.
Guru menggapai siswa:
Aku belum begitu paham guru. Mengapa aku tidak boleh merindukan muridku sementara membiarkan muridku merindukan akan diriku. Mengapa kau juga mengkhawatirkan perasaan cintaku. Bukankah hal yang demikian tidak adil.
Orang berambut putih:
Itulah hakekat rindu, itulah hakekat cinta, itulah hakekat guru, itulah hakekat siswa. Mengapa? Pada hakekatnya guru adalah berbeda dengan siswa. Sudah pernah saya katakan bahwa guru adalah subyek yang berkuasa terhadap obyek siswa yang dikuasai. Maka hakekat rindu akan berbeda pula manakala dia berdomisili pada guru ataupun berdomisili pada siswa. Rindunya orang yang berkuasa tentu akan berbeda dengan rindunya orang yang dikuasai. Cintanya orang yang menguasai tentulah berbeda dengan cintanya orang yang dikuasai. Jikalau ada orang yang dikuasai merindukan terhadap orang yang menguasai itu adalah luar biasa. Tetapi sulit ditemukan. Jika ternyata memang ada maka akal kita pun sulit menerimanya. Mungkin adalah muridnya yang luar biasa atau gurunya yang luar biasa. Tetapi jangan salah paham, bahwa yang dimaksud luar biasa adalah diluar kebiasaan, jadi bisa positif tetapi juga bisa negatif. Maka aku juga dapat katakan bahwa rindu tidak lain tidak bukan adalah sifat yang melekat pada obyek. Guru bisa menjadi subyek sekaligus obyek, demikian juga siswa bisa menjadi obyek sekaligus subyek. Maka sebenar-benar rindu dan cinta adalah rindu dan cinta kepada Nya. Untuk menggapainya, maka itu sebenar-benar jalan mana yang engkau lalui.
Guru menggapai siswa:
Kenapa guru singgung-singgung tentang jalan. Bukankah guru tahu bahwa itulah awal kebingungan saya. Lalu apa hubungan "jalan" dengan rindu? Apa pula hubungan "jalan" dengan cinta?
Orang berambut putih:
Wahai muridku yang semakin budiman saja. Ketahuilah bahwa berbagai macam jalan yang berada di depan dan samping rumahmu itu sebenar-benar adalah ciptaanku. Aku sengaja ciptakan jalan itu agar kamu mau belajar. Ketahuilah bahwa jalan-jalan di depan rumahmu itu tidak lain adalah jalan hidupmu. Jalan hidupmu adalah pilihanmu. Maka sebenar-benar hidupmu adalah pilihanmu. Jalan hidupmu yang akan kau lalui. Maka jalan hidupmu tergantung pula oleh pengetahuanmu. Jika pengetahuanmu hanya sebatas mengajar dengan metode ceramah, maka hanya jalan ceramah itulah yang selalu ada dalam pikiranmu. tetapi jika pengetahuanmu sampai jalan konstruktivis, maka kamu juga bisa melalui jalan konstruktivis yang ada di samping rumahmu itu. Apakah jalan rindumu dan cintamu adalah egomu? Mengapa aku ciptakan banyak jalan untukmu. Jika engkau akan berangkat menuju ke Sekolahmu maka itulah sebenar-benar jalan yang dapat engkau pilih. Jalan-jalan itulah sebenar-benarnya metode menggapai siswa dan metode mengajarmu. Menggapai siswa dan metode mengajar tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan satu metode saja yang selama ini kamu yakini dan kamu jalani. Untuk menggapai, menghantar dan melayani siswa agar dapat belajar matematika dengan baik, maka guru memerlukan banyak cara dan banyak metode yang diterapkan secara dinamis dan kreative sesuai dengan konteks pembelajaram, tingkat kemampuan siswa serta kemampuan yang akan dicapai. Maka tiadalah jalan lain bagimu untuk selalu mencoba jalan-jalan itu, walau suatu saat kamu terjatuh sekalipun. Jikalau perlu maka kau sendiri pulalah dapat membuat jalan-jalanmu itu. Itulah hakekat dirimu mengkonstruksi jalanmu untuk menggapai rindu dan cintamu. Melalui jalan-jalan itu, maka sinergi-dan tali temalikanlah dirimu dengan diri siswa agar kamu bisa melayani dan memberi kesempatan bagi siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya. Ketahuilah bahwa konstruksimu adalah berbeda dengan konstruksi siswamu. Maka jangan sekali-kali kau paksakan siswamu mengikuti jalan konstruksi pengetahuanmu. Berilah kesempatan agar siswamu juga mencoba banyak jalan-jalan di depan rumahmu. Namun itu pun belum mencukupi. Karena sebenar-benar hakekat muridmu adalah dia yang bisa membuat jalannya sendiri. Itulah sebenar-benar konstruktivisme. Sehingga dia pun bisa dan berhak menggapai rindu dan cintanya. Amien ya Robbal Alamien.
Guru menggapai murid:
Bisakah aku bertemu dengan muridku?
Orang tua berambut putih:
Lagi-lagi kamu menanyakan hakekat. Sebelum kau bisa bertemu dengan muridmu maka kenalilah dirimu. Sebelum kau bertemu dengan muridmu maka kenalilah muridmu itu. Namun aku sangsi apakah kamu sebenar-benar mampu mengenal dirimu. Ketahuilah dirimu adalah kata-katamu. Dirimu adalah pertanyaanmu. Dirimu adalah pikiranmu. Dirimu adalah kuasamu. Dirimu adalah mimpimu. Dirimu adalah kuasamu. Dirimu adalah bahasamu. Dirimu adalah perbuatanmu. Dirimu adalah doamu. Dirimu adalah amal kebajikanmu. Demikan juga siapakah diri muridmu itu. Demikian kau dapat menyebutnya seperti aku telah baru saja sebut yang banyak tadi. Jadi dirimu yang mana dan diri muridmu yang mana yang kamu harapkan akan bertemu. Maka di sini lagi-lagi kamu bertanya tentang hakekat pertemuan. Maka dapat aku katakan bahwa tiadalah dapat sebenar-benar kau dapat menggapai muridmu itu, kecuali kalau kau anggap sekaligus dirimu dan diri muridmu adalah ilmuku, karena ilmuku tidak lain tidak bukan adalah pengetahuanmu sekaligus pengetahuan muridmu. Itulah sebenar-benar belajar, yaitu jika kamu dan muridmu dapat bertemu di dalam ilmu berlandaskan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Jadi dalam iman, ilmu dan taqwa itulah sebenar-benar kamu bisa menggapai muridmu dan sebenar-benar belajar bagi muridmu. Namun itupun belum cukup karena sebenar-benar rindu dan cintamu adalah jika siswamu dalam iman, ilmu dan taqwa mampu membuat jalannya untuk menemuimu. Itulah sebenar-benar guru menggapai siswa yaitu jika siswamu telah menggapaimu. Amien.

2 comments:

mufarikhin said...

Ya Allah...
Jadikan kami, anak-anak kami, murid-murid kami, menjadi golongan ahli ilmu, ahli kebajikan.
Ya Allah...
Jangan jadikan kami dan mereka termasuk orang yang tidak mengetahui dan tidak kenal kebajikan.
Ya Allah...
Memang banyak jalan yang Kau sedikan
tapi hanya jalan lurusmu yang kupinta
Ya Allah...
Mudahkan kami semua
menggapai Tangan Rahmat-Mu
untuk berbakti
Kami berjanji...
Amien...

Siti Salamah Graduate Student LT/A said...

Bpk,,,
bagus sekali tulisan ini...
menjadi guru bukanlah satu upaya memaksalkan pemahaman kita pada murid kita.
menjadi guru pada hakekatnya bukan memaksakan pilihan yang kita anggap benar pada murid kita.
menjadi guru pada akhirnya adalah menunjukan beberapa jalan yang dapat ditempuh mereka untuk mencapai sebuah pilihan.
jika yang kita inginkan adalah sama , bahwa mengajar bukan saja membuat seorang siswa bisa mendapatkan nilai 10 untuk mata pelajaran kita. tapi bagaimana membuat nilai 10 itu dapat dimaknai dam diberi arti oleh mereka. sampai pada tahapan bahwa setinggi tinggi ilmu puncaknya adalah bentuk ketaaatan pada ilmu itu sendiri dan pencipta sekaligus sang Maha pencipta ilmu. yaitu Allah SWT. namun cita-cita luhus\r seperti ini tidak selalu berjalan mulus. karena selalu ada berbagai kepentingan di sini. ada kepentingan kepala sekolah yang ingin mendapat citr positif dengan murid "berprestasi" entah bagaimana itu caranya. Ada kepentingan orang tua yang bisa jadi berbeda dengan kita. Karena pada umumnya orang tua memiliki pandangan sendiri tentang alasan kenapa anak mereka bersekolah. Atau yang lebih tinggi adalah kepentingan pemerintah yang menghendaki semua telah "menjadi".
Bpk, saya sendiri kadang bingung dengan situasi dan beberapa keinginan ini.
bagaimana caranya agar semua bisa berpadu padan?
terima kasih Bapak...