Friday, January 2, 2009

Pada pembelajaran tradisional guru terpaksa sibuk mengontrol siswanya

Oleh: Marsigit
Seperti kita ketahui bersama bahwa pembelajaran tradisional mempunyai ciri-ciri menggunakan metode tunggal yaitu ekspositori dengan delivery method, memposisikan guru sebagai pelaku utama dan siswa terposisikan sebagai peserta didik yang pasif. Dengan asumsi ingin memberi bekal materi sebanyak-banyaknya kepada siswa, maka pada pembelajaran tradisional, guru terpaksa melakukan berbagai kegiatan kontrol agar siswa bersikap kooperatif dan memperhatikan guru. Kontrol dilakukan melalui berbagai cara bahkan jika perlu ketika guru mengajukan pertanyaan sekalipun. Hal ini disebabkan karena belum dipahaminya paradigma pendidikan sebagai kebutuhan siswa dan tidak adanya skema untuk itu. Di samping itu guru juga belum mampu mengembangkan skema pembelajaran untuk melayani berbagai macam kebutuhan akademik siswa. Berikut contoh cuplikan berbagai aterensi yang ditemukan penulis yang menggambarkan bagaimana guru melakukan kontrol terhadap siswa melalui directed teaching:

Aterensi 1:
Wahyu ngantuk ya ?
Nah tadi sudah makan belum ?
Sudah.
Banyak nonton T.V. ya ?
Nah berapa coba ?

Aterensi 2:
Bagaimana cara penyelesaiannya ?
Penyelesaiannya bagaimana ?
Bagaimana Anto ?
YANG LAIN DIAM.

Aterensi 3:
Sudah apa belum ?
Nah kalau sudah diteliti dulu dari nomor satu sampai nomor sepuluh
AYO PRIHANTO KAMU SUDAH SELESAI ?
SUDAH DITELITI ?
AYO DITELITI LAGI
COBA SAMPAI BETUL
TIDAK HANYA DILIHAT LHO YA PRIHANTO

Aterensi 4:
Ayo Candra duduknya bagaimana ?
Hayo yang tertib Rona, ayo Rona duduknya yang bagus.
Nanti supaya betul semua

Aterensi 5:
Nol dapat dikurang lima ?
Sebetulna dapat tapi ini kurang ya to ?
Jadi barang tidak ada dikurangi lima, maka ...
SETERUSNYA KITA BAGAIMANA ?
Pinjam
Pinjam pada...?

9 comments:

MATHSUGIYANTA said...

Alhamdulillah dalam pembelajaran kami dapat mengurangi pertanyaan-pertanyaan seperti yang Bapak sampaikan. Dalam pembelajaran kami mengutamakan siswa untuk berdiskusi dengan temannya untuk memcahkan masalah. Apabila siswa bertanya kepada saya, sementara ada siswa lain yang sudah saya ketahui dapat menyelesaiakannya, saya selalu bilang " Tu, Si Fulan dah bisa selesai, coba kamu minta penjelasan cara menyelesaikannya!"

Agus supranto,S.Pd said...

Gambaran secara eskplisit pembelajaran tradisional tersebut memang tetap harus kita ungkapkan, supaya kita dapat merefleksikan diri. Apakah kita masih menganut paradigma lama ataukah sudah paradigma baru, dalam pembelajaran matematika kita ? Hal tersebut tentunya akan memperjelas saya ada berada dimana ? Siap untuk hijrah, ...!

Shulfan Aceh S2 UGM said...

Perubahan paradigma lama ke paradigma baru dapat merobah pola dan metodelogi pembelajaran para insan guru-guru di Indonesia khususnya guru matematika. Ingin saya sampaikan bahwa sebenarnya fenomena yang masih ada seperti Bapak Marsigit sampaikan bukan kesalahan dipihak guru, barangkali kurangnya informasi dan sosialasasi tentang perubahan dan perkembangan yang ada selama ini. Karena pada umumnya guru-guru yang ada di daerah yang jauh dengan akses informasi dan tehnologi mereka jarang tersentuh dengan penataran,diklat atau kegiatan lainnya. Namun sudah banyak juga guru-guru kita yang sudah profesional dalam merefleksikan diri sebagai guru yang ideal.Saya pikir demikian dan thank.

Laelatul Badriyah S2 Dikdas PGMI said...

pembelajaran tradisional sering kali terjadi guru menjadi pusat sumber beljar. gamabaran yang seperti bapa paparkan memang terjadi di kelas tradisional. akan tetapi ketika saya mengajar dikelas dan itu memang masih bersifat tradisional sebisa mungkin saya ciptakan suasanya kelas yang terpadu dimana ada pemeblajaran secara tradisional yang mungkin dapat dengan mudah mengenali siswa, dan pembelajaran dengan modern untuk memberi kesempatan siswa dalam mengekpresikan kemampuan dirinya. pembelajaran didukung dengan metode dan media pembelajaran yang sesuai dengan pokok bahasanya.

mufarikhin said...

Dalam pembelajaran tradisional,
guru melakukan berbagai kegiatan kontrol dengan berbagai cara agar siswa bersikap kooperatif dan memperhatikan guru justru dipahami sebagai sikap apresiatif guru terhadap siswanya. Dalam benak guru, siswa yang diperlakukan sedemikian akan benar-benar mengikuti pembelajaran dan proses internalisasi ilmu dan nilai akan tercapai.
Mudah-mudahan paradigma baru dapat diketahui oleh semua guru, sehingga siswa perlu mendapat apresiasi lebih, tidak hanya control-oriented yang justru membuat siswa takut dan mematikan kreatifitas

Ayah said...

Wah, kayaknya aku masih tradisional banget nih.. Kapan modernnya ya ?

BELAJAR_BELAJAR said...

Memang tanpa sadar saya sering melakukan hal serupa. Pertanyaan yang seharusnya tidak dipertanyakan. Namun akibat dari suatu kekhawatiran atau apa hal itu sering tidak bisa saya hindari dengan harapan siswa dapat belajar dengan baik. namun itu akan saya coba selektif dan lebih bersikap pada guru kualitas kedua

SUGIPARYANTO said...

Betul sekali Pak untuk pembelajaran yang tradisional guru sibuk sekali sehingga lelah, lemas, "loyo" karena banyak ceramahnya. Tetapi dengan pembelajaran yang inovatif paling tidak tenaga guru bisa di "hemat".
Semoga dengan informasi, ilmu dari Pak Marsigit akan menambah wawasan saya untuk merubah pembelajaran, guru lebih kreatif dan inovatif.

pitriawati said...

pitriawati, s2, linguistic terapan, kelas a

bagaimana seseorang mengajar akan dipengaruhi bagaimana seseorang memandang sebuah kelas dan pengajaran itu sendiri. seorang guru yang berpandangan tradisional akan berfikir bahwa gurulah sumber ilmu, dan para siswa datang kedalam kelas sebagai objek yang belum memahami apapun. karenanya, mereka tidak berhak untuk berpendat atau menyuarakan kegelisahan dan semua pertanyaan yang ada di dalam diri mereka di dalam kelas. walaupun mereka dapat bertanya, jawaban mutlak adalah milik guru dan tidak dapat diganggu gugat. dalam pandangan saya, seorang guru haruslah menjadi seorang yang mampu mengenali kekuatan dan kelemahan para muridnya, menghargai pendapat mereka, dan memacu serta mendampingi mereka untuk bisa menjadi seorang manusia yang mampu berpijak dengan kokoh diatas kemampuan mereka sendiri dan mengembangkan batas kemampuan mereka kelevel yang lebih tinggi. untuk dapat melakukan hal ini, guru harus mampu mengenali setiap individu siswa di dalam kelas, melihat perkembangan mereka, dan mengetahui kelemahan dan kekuatan mereka dan membangun fondasi mereka untuk belajar dari hal-hal tersebut. tetapi, benarkah menjadi tradisional di dalam dunia pendidikan adalah suatu kesalahan? di dalam dunia pendidikan di indonesia, hal-hal yang berbau cognitive selalu menjadi tumpuan dalam menilai kemajuan siswa. pertanyaan mendasar yang pertanyaan mendasar yang sering terdengar dari dalam kelas adalah, apakah jika kita merubah pola mengajar, maka materi ajar yang harus disampaikan dapat tercover? apakah para siswa saya dapat menyelesaikan soal UN dengan baik? bagaimana jika saya menyampaikan materi dengan cara yang lebih progressive, apakah siswa saya akan mampu berfikir dengan pola yang saya ajarkan? mampukah mereka mencapai apa yang saya inginkan?
jika saya tidak berbicara lebih banyak, apakah siswa saya mampu mencapai target yang saya harapkan? pertanyaan-pertanyaan seperti ini, saya rasa tidak akan pernah terselesaikan jika kita tidak beranjak dari sistem yang menuntut para guru untuk mampu berpacu dengan segala target yang dibebankan kepada mereka. perubahan menuju ke pola yang lebih baikpun tidak akan ada jika target yang dibebankan adalah sejauh mana materi ajar sudah tercover di dalam kelas. selama penekanannya bukan pada 'apakah siswa mampu/paham', saya rasa guru akan terus terpacu untuk melakukan pola tradisional tersebut.