Saturday, January 31, 2009

Elegi Pertengkaran Para Orang Tua Berambut Putih

Oleh: Marsigit

Orang Tua Berambut Putih Duduk Sendiri:


Aku duduk di sini. Maka aku yang telah mengaku sebagai orang tua berambut putih serta merta aku menyadari bahwa ketika aku duduk di sini, aku menjumpai ada aku yang duduk di sini, aku merasakan ada duduk dan aku mengerti ada di sini. Tetapi serta merta pula jika yang demikian aku renungkan maka aku menyadari ada diri yang bukan aku, ada diri yang sedang tidak duduk dan ada diri yang di sana. Kalau aku perjelas refleksiku itu maka aku menemukan bahwa aku yang duduk di sini menyebabkan ada yang bukan aku yang tidak duduk di sini maupun yang duduk di sana. Aku terkejut karena aku menemukan bahwa ada aku yang tidak duduk di sini, dan ada diri yang bukan aku duduk di sini. Padahal aku telah mengaku bahwa aku duduk di sisini. Maka aku bertanya siapakah aku yang tidak duduk di sini, dan siapakah diri bukan aku yang duduk di sini. Pertanyaan itu ternyata dapat saya lanjutkan, siapakah aku yang duduk di sini dan siapakah aku yang tidak duduk di sini? Saya juga bisa bertanya siapakah aku yang duduk di sini dan siapakah bukan aku yang duduk di sini? Ternyata pertanyaan itu menyebabkan pertanyaanku yang berikutnya. Kalau begitu apakah ada aku yang bukan aku, duduk yang tidak duduk, di sini tetapi tidak di sini?. Aku menjadi teringat dengan pepatah jawa “ngono ning ojo ngono”. Apakah ada ngono yang bukan ngono, dan ojo ning bukan ojo? Kalau orang jawa saja sejak nenek moyang sudah mempunyai ngono ning ojo ngono, maka enehkah jika sekarang aku bertanya aku tetapi bukan aku, duduk tetapi bukan duduk, dan di sini tetapi bukan di sini? Kalau ini masih dianggap aneh maka sesungguhnyalah kita telah kehilangan dan tidak mampu memahamiwarisan leluhur.

Orang Tua Berambut Putih (pertama) Bertemu Dengan Orang Tua Berambut Putih Yang Lain (kedua):

Orang Tua Berambut Putih kedua:

Salam. Sesungguhnyalah aku mengikuti segala yang engkau pikirkan. Akulah mungkin aku yang bukan dirimu. Kemudian engkau mungkin bertanya apakah aku itulah yang tidak duduk di sini, atau apakah akulah yang duduk di sana, atau apakah akulah yang tidak duduk di sana? Tetapi setidaknya engkau telah berkata bahwa aku duduk di sini. Maka aku pun kemudian bertanya siapakah yang engkau maksud sebagai aku yang duduk di sini? Siapakah yang engkau maksud sebagai bukan aku yang duduk di sini? Siapakah yang engkau maksud aku yang tidak duduk di sini? Siapakah yang engkau maksud aku yang duduk di sana? Siapakah yang engkau maksud aku yang tidak duduk di sana? Siapakah yang engkau maksud bukan aku yang tidak duduk di sana?

Orang Tua berambut Putih Pertama:

Salam kembali. Sesungguhnya pula aku juga menyadari bahwa engkau yang bukan aku telah mengetahui pikiranku sedari awal. Namun ketahuilah bahwa sebenar-benar yang terjadi bahwa aku juga mengerti tentang pikiranmu sedari awal seawal-awalnya. Maka aku juga ingin bertanya mengapa engkau bertanya tentang aku yang duduk di sini? Padahal engkau tahu bahwa aku telah duduk di sini dan engkau yang bukan aku juga duduk di sini. Jadi sebetulnya siapakah engkau yang duduk di sini? Apakah engkau yang tidak duduk di sini? Apakah engkau juga duduk tidak di sini? Apakah engkau juga tidak duduk tidak di sini?

Orang Tua Berambut Putih Kedua:

Sesungguh-sungguhnya aku telah mengerti bahwa engkau akan mengajukan pertanyaan seperti itu, tetapi aku ragu apakah aku mengerti atau tidak mengerti jawabanmu.

Orang Tua Berambut Putih Pertama:

Sesungguh-sungguhnya aku juga telah mengerti bahwa engkau akan memberi komentar seperti itu, tetapi aku ragu apakah aku mengerti atau tidak mengerti komentarmu.

Orang Tua Berambut Putih Kedua:

Sesungguh-sungguhnya aku juga telah mengerti bahwa engkau akan memberi komentar seperti itu, tetapi aku ragu apakah aku mengerti atau tidak mengerti komentarmu.

Orang Tua Berambut Putih Pertama:

Mengapa engkau selalu menirukanku?

Orang Tua Berambut Putih Kedua:

Mengapa engka selalu menirukanku?

Orang Tua Berambut Putih Pertama:

Kalau begitu apa maumu?

Orang Tua Berambut Putih Kedua:

Kalau begitu apa maumu?

Orang Tua Berambut Putih Ketiga Menjumpai Ada Dua Orang Berambut Putih Berkelahi:

Wahai para orang tua. Mengapa sesama orang tua seperti engkau berdua saling berhantam? Apa kau pikir yang ada di sini cuma engkau berdua? Sebenar-benar yang terjadi adalah bahwa aku telah mengerti pikiranmu berdua sedari awal. Apakah engkau berdua tidak mengerti bahwa sedari awal aku telah duduk di sini bersamamu? Maka apalah gunanya mengapa engkau saling bertengkar? Bukankah saling bertukar pikiran itu lebih baik dari pada berkelahi.

Orang Tua Berambut Putih Pertama dan Kedua Secara bersama-sama menjawab:

Sesungguhnya pula aku juga menyadari bahwa engkau yang bukan aku telah mengetahui pikiranku berdua sedari awal. Namun ketahuilah bahwa sebenar-benar yang terjadi bahwa aku berdua juga mengerti tentang pikiranmu sedari awal seawal-awalnya. Maka aku berdua juga ingin bertanya mengapa engkau bertanya tentang aku berdua yang duduk di sini? Padahal engkau tahu bahwa aku berdua telah duduk di sini dan engkau yang bukan aku berdua juga duduk di sini. Jadi sebetulnya siapakah engkau yang duduk di sini? Apakah engkau juga tidak duduk di sini? Apakah engkau juga duduk tidak di sini? Apakah engkau juga tidak duduk tidak di sini?

Orang Tua Berambut Putih Ketiga:

Sesungguh-sungguhnya aku telah mengerti bahwa engkau berdua akan mengajukan pertanyaan seperti itu, tetapi aku ragu apakah aku mengerti atau tidak mengerti jawabanmu berdua.

Orang Tua Berambut Putih Pertama dan Kedua Secara bersama-sama menjawab:

Sesungguh-sungguhnya aku berdua juga telah mengerti bahwa engkau akan memberi komentar seperti itu, tetapi aku berdua ragu apakah aku berdua mengerti atau tidak mengerti komentarmu.

Orang Tua Berambut Putih Ketiga:

Sesungguh-sungguhnya aku juga telah mengerti bahwa engkau berdua akan memberi komentar seperti itu, tetapi aku ragu apakah aku mengerti atau tidak mengerti komentarmu berdua.

Orang Tua Berambut Putih Pertama dan Kedua Secara bersama-sama menjawab:

Mengapa engkau selalu menirukanku?

Orang Tua Berambut Putih Ketiga:
Mengapa engkau selalu menirukanku?

Orang Tua Berambut Putih Pertama dan Kedua Secara bersama-sama menjawab:

Kalau begitu apa maumu?

Orang Tua Berambut Putih Ketiga:
Kalau begitu apa maumu?

Orang Tua Berambut Putih Keempat Menjumpai Ada Tiga Orang Berambut Putih Berkelai:
Wahai para orang tua. Mengapa sesama orang tua seperti engkau bertiga saling berhantam? Apa kau pikir yang ada di sini cuma engkau bertiga? Sebenar-benar yang terjadi adalah bahwa aku telah mengerti pikiranmu bertiga sedari awal. Apakah engkau bertiga tidak mengerti bahwa sedari awal aku telah duduk di sini bersamamu? Maka apalah gunanya mengapa engkau saling bertengkar? Bukankah saling bertukar pikiran itu lebih baik dari pada berkelahi.

Orang Tua Berambut Putih Pertama, Kedua dan Ketiga Secara bersama-sama menjawab:
Sesungguhnya pula aku juga menyadari bahwa engkau yang bukan aku telah mengetahui pikiranku berdua sedari awal. Namun ketahuilah bahwa sebenar-benar yang terjadi bahwa aku bertiga juga mengerti tentang pikiranmu sedari awal seawal-awalnya. Maka aku bertiga juga ingin bertanya mengapa engkau bertanya tentang aku bertiga yang duduk di sini? Padahal engkau tahu bahwa aku bertiga telah duduk di sini dan engkau yang bukan aku bertiga juga duduk di sini. Jadi sebetulnya siapakah engkau yang duduk di sini? Apakah engkau juga tidak duduk di sini? Apakah engkau juga duduk tidak di sini? Apakah engkau juga tidak duduk tidak di sini?

Orang Tua Berambut Putih Keempat:
Sesungguh-sungguhnya aku telah mengerti bahwa engkau bertiga akan mengajukan pertanyaan seperti itu, tetapi aku ragu apakah aku mengerti atau tidak mengerti jawabanmu bertiga.

Orang Tua Berambut Putih Pertama, Kedua dan Ketiga Secara bersama-sama menjawab:

Sesungguh-sungguhnya aku bertiga juga telah mengerti bahwa engkau akan memberi komentar seperti itu, tetapi aku bertiga ragu apakah aku bertiga mengerti atau tidak mengerti komentarmu.

Orang Tua Berambut Putih Keempat:
Sesungguh-sungguhnya aku juga telah mengerti bahwa engkau bertiga akan memberi komentar seperti itu, tetapi aku ragu apakah aku mengerti atau tidak mengerti komentarmu bertiga.

Orang Tua Berambut Putih Pertama, Kedua dan Ketiga Secara bersama-sama menjawab:

Mengapa engkau selalu menirukanku?

Orang Tua Berambut Putih Keempat:
Mengapa engkau selalu menirukanku?

Orang Tua Berambut Putih Pertama, Kedua dan Ketiga Secara bersama-sama menjawab:
Kalau begitu apa maumu?

Orang Tua Berambut Putih Keempat:
Kalau begitu apa maumu?

Orang Tua Berambut Putih Kelima Menjumpai Ada Empat Orang Berambut Putih Berkelahi:

.....
Orang Tua Berambut Putih Keseribu Menjumpai Ada Sembilan Ratus Sembilan Puluh Sembilan Orang Tua Berambut Putih Berkelai.
.....
Orang Tua Berambut Putih Ke-n Menjumpai Ada n-1 Orang Berambut Putih Berkelahi:
.....
Ada diri yang bukan mereka menjumpai mereka berkelahi:

Aku sendiri tidak tahu siapakah diriku. Apakah diriku itu diriku atau bukan diriku. Aku juga tidak tahu apakah diriku adalah satu dari mereka? Aku juga tidak tahu apakah aku tahu pikiran mereka sedari awal? Aku juga tidak tahu apakah aku duduk? Aku juga tidak tahu apakah aku di sini atau tidak di sini? Aku tidak tahu apakah mereka mengetahui pikiranku sedari awal. Aku tidak tahu apakah mereka tahu atau tidak tahu aku di sini atau tidak di sini, aku duduk atau aku tidak duduk? Aku tidak tahu apakah yang akan mereka tanyakan? Aku tidak tahu apakah yang mereka akan komentari. Aku tidak tahu apakah mereka akan selalu menirukanku? Aku tidak tahu apakah aku akan selalu menirukannya. Aku tidak tahu apakah aku juga akan berkelahi atau tidak akan berkelahi dengan mereka? Aku tidak tahu apakah jika aku berkelahi dengan mereka maka akan ada diri yang bukan diriku dan bukan diri mereka yang juga mengetahui pikiranku dan pikiran mereka sedari awal? Oleh karena aku banyak tidak tahu banyak maka aku tidak dapat mengatakan bahwa aku mengerti mereka atau tidak mengerti mereka. Tetapi ada yang aku tahu yaitu bahwa setidaknya aku tahu bahwa para orang tua itu saling merasa dan mengaku mengetahui para orang tua yang lainnya. Tidak hanya itu para orang tua itu bahwa saling bertengkar bahkan saling berkelahi. Tetapi aku juga tidak tahu apakah aku termasuk diantara mereka. Dan aku tidak tahu apakah aku sedang berkata tentang pengetahuanku atau ketidak tahuanku. Sehingga dapat aku simpulkan bahwa yang jelas-jelas aku tahu adalah aku tidak tahu siapakah diriku itu. Itulah sebenar-benar bahwa aku tidaklah mengatahui siapakah diriku itu. Tetapi aku mengetahui bahwa setidaknya aku bisa mengucapkan kalimatku yang terakhir. Maka akupun tidak tahu apakah itu batas ku yang ingin ku gapai. Artinya aku tidak bisa menjawab apakah aku bisa menggapai batasku.

Diantara Penonton Perkelahian Terdapatlah Guru Matematika Bersama Siswanya

Siswa:
Guru apakah engkau melihat perkelahian itu?

Guru matematika:
Ya aku sedang melihat perkelahian itu. Rupanya perkelahian itu sangat seru, tetapi aku tidak tahu mengapa mereka berkelahi, kapan mulai berkelahi dan kapan selesai berkelahi? Kelihatannya perkelahian diantara para orang tua berambut putih itu memang sebuah misteri.

Siswa:
Guru, bukankah engkau telah mengajariku matematika. Apakah aku bisa menggunakan matematika yang telah engkau ajarkan kepadaku untuk memecahkan misteri perkelahian itu.

Guru matematika:
Oh muridku pertanyaanmu sungguh cerdas. Tetapi ketahuilah bahwa matematika yang telah engkau pelajari hanya sebagian kecil saja dapat bisa memecah misteri perkelahian itu.

Siswa:
Apa contohnya Pak guru?

Guru matematika:
Jikalau engkau perhatikan, pertama ada 1 orang tua berambut putih, kemudian datang orang tua berambut putih ke 2, kemudian datang orang tua berambut putih ke 3, ke 4, ke 5, ... dst.

Siswa:
Oh aku tahu Pak Guru. Bukankah itu barisan bilangan? Kalau bilangan menunjukkan nomor urut dari orang tua berambut putih yang datang, maka aku menemukan barisan bilangan itu sebagai: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, ..... dst.

Guru matematika:
Bagus, betul sekali kamu. Untuk yang ini engkau mendapat nilai 10.

Siswa:
Tetapi guru, aku juga menemukan kalau kita ingin mengetahui banyaknya orang tua berambut putih pada stuatu saat maka aku juga bisa. Yaitu aku menemukan deret matematika sebagai:
1+1+1+1+1+1+1+... dst

Guru matematika:
Bagus, betul sekali kamu. Untuk yang ini engkau mendapat nilai 10.

Siswa:
Tetapi guru, kenapa mereka berkelahi?

Guru matematika:
Aku juga tidak tahu. Coba mari kita tanyakan kepada dosen yang pernah memberi kuliah Filsafat Pendidikan Matematika . Wahai dosen, dapatkah engkau menerangkan pertanyaan siswaku ini, mengapa para orang tua berambut putih itu saling berkelahi?

Dosen:
Terimakasih Pak Guru Matematika. Sebenarnya jawabanku hanyalah untuk Pak Guru saja, karena aku terikat oleh ruang dan waktu sehingga tidak mampu menjelaskan perkara ini kepada siswamu.

Guru matematika:
Baiklah, maka terangkanlah kepadaku, karena kebetulan siswaku tadi sudah pergi.

Dosen:
Menurut pengamatanku setiap orang tua berambut putih itu mengaku diri sebagai ilmu. Berarti aku dapat menyimpulkan bahwa mereka itu sebenar-benarnya adalah satu, yaitu ilmu itu sendiri.
Mengapa pada suatu saat kita melihat mereka sebagai banyak? Itulah sebenar-benar ilmu. Hakekat ilmu adalah multirupa. Dia bisa menempati satu titik sekaligus untuk wajahnya yang banyak, tetapi dia juga bisa menempati tempat yang banyak untuk wajahnya yang satu.

Guru matematika:
Mengapa dia mulai dari yang satu.

Dosen:
Saya tidak tahu persis darimana datang orang tua berambut putih pertama. Tetapi baiklah jikalau menganggap bahwa mereka dimulai dari seorang tua berambut putih, maka dapat aku katakan bahwa yang satu itupun disebut permulaan. Maka setiap permulaan selalu ada akhir di situ. Ketahuilah bahwa sebenar-benar pondasi adalah suatu permulaan. Maka jika mereka mengakui memulai dari seorang tua berambut putih, maka sebenar-benar mereka ingin menunjukkan bahwa mereka adalah suatu ilmu yang mempunyai pondasi. Itulah sifat suatu ilmu, bahwa suatu ilmu tentulah mempunyai pondasi.

Guru metamatika:
Dosen, mengapa setiap orang tua berambut putih yang datang kemudian terlibat perkelahian?

Dosen:
Hendaknya engkau waspada dan jernih dalam memandang. Mereka juga ingin menunjukkan kepada kita bahwa tiadalah suatu ilmu didapat tanpa perkelahian. Tetapi hendaknya engkau juga jangan salah paham. Perkelahian yang dimaksud di sini adalah perkelahian dalam arti yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya.

Guru matematika:
Aku belum paham penjelasanmu yang terakhir, dosen?

Dosen:
Ituylah yang pernah diakui oleh orang tua berambut puth yang lain. Bahwa sebenar-benar perkelahian dalam ilmu adalah metode sintetik yang sesuai dengan prinsip kontradiktif.

Guru matematika:
Aku semakin tambah bingung, dosen?

Dosen:
Ambil seumpama contoh pertanyaanku ini. "Apakah engkau seorang guru?"

Guru matematika:
Jelas. Siapa yang meragukan bahwa saya seorang guru?

Dosen:
Akulah orang pertama yang meragukan.

Guru matematika:
Kenapa engkau meragukan bahwa saya seorang guru?

Dosen:
Ya, karena sebenar-benar bahwa "engkau" tidaklah sama dengan "guru". Sebelum aku tahu persis siapa engkau, dan sebelum aku tahu persis siapa guru, maka aku tidak akan pernah mengatakan bahwa engkau sama dengan guru.

Guru matematika:
Aku dapat membuktikan bahwa aku memang betul-betul guru. Bahkan aku sudah mempunyai Sertifikat Pendidik Profesional. Ini sertifikatnya. Apakah engkau masih ragu?

Dosen:
Ya benar aku masih ragu, karena aku pun menemukan bahwa "sertifikat" itu tidak sama dengan "guru". Maka aku pun belum dapat mengatakan bahwa sertifikatmu menunjukkan bahwa engkau seorang guru.

Guru matematika:
Kalau begitu engkau adalah seorang dosen yang keterlaluan. Mengapa engkau tidak percaya dengan sertifikat yang engkau buat sendiri.

Dosen:
Jangan salah paham. Yang aku maksud dengan sertifikat adalah sebenar-benar sertifikat dalam arti yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Dan yang aku maksud sebagai guru, adalah guru dalam arti yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya.

Guru matematika:
Kalau begitu coba lihatlah. Aku akan tunjukkan kepadamu bagaimana aku bisa mengajar matematika di depan kelas. Lihatlah gerakanku, lihatlah murid-muridku, dengarlah suaraku.

Dosen:
Aku juga menemukan bahwa ternyata "gerakanmu" tidaklah sama dengan "mengajar", "suaramu" tidaklah sama dengan "mengajar". "muridmu" tidaklah sama dengan "mengajarmu".

Guru matematika:
Lantas apa lagi, Dosen? Aku harus berbuat apa agar engkau yakin bahwa aku adalah seorang guru. Aku sebagai seorang gurupun engkau belum yakin, apalagi bahwa aku sebagai seorang guru matematika.

Dosen:
Baiklah, walaupun aku tidak dapat memperoleh keyakinanku seratus persen, tetapi setidaknya keyakinan itu sudah mulai ada. Karena penjelasanmu, karena uraianmu, karena contoh-contohmu, karena demonstrasimu itulah aku mulai yakin bahwa engkau adalah seorang guru, bahkan guru matematika. Itulah betapa sulitnya menjawab pertanyaanku yang pertama, yaitu "Apakah engkau seorang guru?".

Guru matematika:
Kalau Dosen sudah ada keyakinan bahwa aku seorang guru, maka bagaimana selanjutnya?

Dosen:
Itulah sebenar-benar jawaban pertanyaanmu yang lebih awal tadi, yaitu mengapa para orang tua berambut putih tadi berkelahi.

Guru matematika:
Aku belum jelas, Dosen?

Dosen:
Bukankah aku dan engkau baru saja berkelahi dan masih akan berkelahi sekedar dalam rangka memperoleh pengetahuan atau ilmu yang mengatakan bahwa "Engkau adalah guru". Jika engkau sadar maka adalah ilmuku dan ilmumulah yang sedang berkelahi. Padahal engkau tahu bahwa para orang tua berambut putih itu tidak lain tidak bukan adalah ilmu, yaitu ilmuku dan ilmumu juga. Maka sebenar-benar memperoleh ilmu adalah malalui perkelahian di antara pengetahuan-pengetahuannya itu sendiri. Tetapi jangan salah paham. Bahwa perkelahian itupun dapat terjadi dalam masing-masing diriku atau dirimu. Ilmuku adalah tesisku. Tesisku adalah anti-tesismu. Ilmumu adalah tesismu. Tesismu adalah antitesisku. Maka sebenar-benar perkelahian itu adalah "sintesis" antara tesis dan anti-tesis. Namun juga jangan salah paham, karena tesis ku yang satu juga merupakan anti-tesisku yang lain. Demikian pula, tesismu yang satu juga dapat merupakan anti-tesismu yang lain. Anti-tesis akan muncul tepat bersama munculnya tesis. Seperti halnya, orang tua berambut putih akan muncul tepat bersama pertanyaanmu. Perkelahian para orang tua berambut putih itulah kemudian disebut sebagai sintesis kemudian menghasilkan tesis-tesis baru dari anti-tesis anti-tesis nya tesis-tesis. Tesis-tesis dan anti-tesis anti-tesis silih berdatangan seperti datangnya para orang tua berambut putih itu. Proses diperolehnya tesis-tesis dan anti-tesis anti-tesis baru itu lah digambarkan sebagai para orang tua berambut putih berkelahi.Itulah yang kemudian disebut sebagai metode berpikir sintetik dalam berpikir. Itulah sebenar-benar tempat tinggal para orang tua berambut putih, yaitu batas pikiranku dan juga batas pikiranmu. Amien.

7 comments:

alkusaeri said...

assalamualaikum wr wb
mohon maaf sebelumnya, saya ingin bertanya tentang pengembangan model pembelajaran yaitu
apakah pada setiap model pengembangan yang ada, dalam menentukan kelayakan produk yang dihasilkan ada aturan tersendiri atau pasangan masing-masing. misalnya model plomp untuk menentukan kelayakan harus menggunakna nieveen.terus bagaimana dengan model brog & gall, dick & carry dan model-model lainnya.
sama refrensi-refrensi yang masih relevan digunakan

mufarikhin said...

Ini adalah "perkelahian" yang membawa berkah. Perkelahian tetapi bukanlah sebenar-benarnya perkelahian. Memang benar, ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu hal yang sudah selesai terpikirkan, sesuatu hal yang tidak pernah mutlak, sebab selalu akan disisihkan oleh hasil-hasil penelitian dan eksperimen baru yang lebih sempurna. Penemuan-penemuan baru ini juga nantinya akan berhadapan dengan penemuan ahli-ahli lainnya.
Bukankah hidup itu berpikir? Dengan berpikirlah, manusia mengada. Berpikir melahirkan sangsi dan kritik. Ini pangkal pengetahuan. Bukankah berpikir dan memikirkan itu sebuah karunia yang luar biasa? Bukankah disinilah letak keistimewaan manusia di antara makhluk lainnya?

Marsigit said...

Saya copy kan komentar dari P. Jero Budi sebagai berikut:

"Elegi seorang Tua Berambut Putih"
Ada empat orang berambut putih yang berkelahi dan bertanya satu sama lain. Tetapi pada akhirnya terdapat "persamaan yang benar-benar sama" diantara mereka. Hal ini mengingatkan saya pada salah satu metode membuktikan sesuatu yang "unik/tunggal" dalam Matematika, misalnya saja: kita akan membuktikan bahwa suatu variabel x bersifat tunggal, maka kita bisa membuat asumsi bahwa terdapat X1 dan X2 dimana X1 tidak sama dengan X2. Apabila dalam proses pembuktian ditemukan X1 = x2, ini mengindikasikan bahwa pengandaian salah dan haruslah X1 =X2.
Ini memberikan gambaran bahwa "Orang Tua Berambut Putih pertama, kedua, ketiga, dan keempat sebenarnya adalah satu" itulah sebenar-benarnya Ilmu (sesuai dengan ulasan pada (Elegi Guru Menggapai Batas). Dan ketika ada si A yang datang dan tidak mengetahui sedari awal-awalnya pikiran Orang Tua berambut Putih, maka dialah sebenarnya yang sedang berusaha untuk menggapainya dan salah satu elemennya adalah diri saya.
Terima Kasih (Jero)

Terimakasih Pak Jero.

vivin riyani (lt kls a) said...

ass.pak menurut saya sesuatu dianggap ada apabila sesuatu itu bisa dilihat,nyata dan bisa dirasakan.oya mengapa anda sering menggunakan simbol org tua berambut putih?hub nya dengan filsafat apa?

Unknown said...

Segala sesuatu memiliki esensi. Adakah yang bukan sesuatu memiliki esensi? atau adakah sesuatu yang tidak memiliki esensi? Esensi bukanlah semata-mata yang terlihat. Esensi bukanlah semata-mata yang terdengar. Setiap orang berproses menuju esensi, karena ada sesuatulah yang membuat mereka lepas dari esensi, meskipun sesuatu itu hakikatnya bagian dari esensi. Esensi segala sesuatu bisa dicapai dengan hati. Tanpa esensi akan mendatangkan kecenderungan untuk pertentangan. Meskipun yang bertentangan itu sebenarya memiliki esensi yang satu.
Gunawan (S2 PMat 09 UNY)

http://binerstudyclub. Blogspot.com said...

Tahapan-tahapan perjalanan jiwa dan pemikiran yang berjalan dari waktu ke waktu akan senantiasa menghadirkan pertentangan-pertentangan. Apa yang sudah kita peroleh dan kita capai pada saat ini dan sebelumnya senantiasa akan berbenturan dengan apa yang nanti kita dapati. Dan ini tidak dapat kita hindari karena kita tidak mungkin mampu mengosongkan jiwa dan pikiran kita untuk memberi jalan lapang pada setiap sesuatu yang baru. Namun pada saatnya segala apa yang kita dapatkan tersebut akan luluh menyatu dalam diri kita dan memberi warna serta meneguhkan eksistensi keberadaan kita. Bahwa kita adalah kita, bukan dia, bukan mereka. Bilakah saat itu tiba? Kiranya tak seorangpun tahu, kecuali Dia Sang Pencipta Alam Semesta.
(Supriyono, Pend Mat-S1 UPY NIM 06413334)

Marsigit said...

Amiin Pak Pri