Oleh : Marsigit
(Dirangkum dari berbagai sumber)
1. Memanfaatkan dan mengembangkan lingkungan belajar matematika
2. Mengembangkan sumber-sumber belajar matematika
3. Melibatkan siwa dalam kegiatan apersepsi pembelajaran matematika
4. Berhasil mempromosikan motivasi siswa belajar matematika
5. Mengembangkan pembelajaran matematika secara klasikal
6. Mengembangkan pembelajaran matematika secara diskusi kelompok
7. Mengembangkan pembelajaran matematika dalam pelayanan individu
8. Menghubungkan matematika dengan keperluan lain dalam mata pelajaran lain
9. Mengembangkan sturktur pbm matematika
10. Mengembangkan skenario interaksi pbm matematika
11. Mengembangkan skenario pencapaian kompetensi matematika
12. Mengembangkan skenario kegiatan matematika siswa
13. Mengembangkan penilaian berbasis kelas
14. Melakukan kegiatan refleksi pbm matematika
15. Meneliti pbm matematika yang diselenggarakannya
16. Menjadi pengembang kurikulum matematika sekaligus silabusnya
17. Mengembangkan media pembelajaran matematika
18. Mengembangkan alat peraga matematika
19. Mampu menyusun buku text pelajaran matematika
20. Mampu mengembangkan berbagai macam LKS
21. Menyelenggarakan pbm matematika berdasarkan suatu teori baik metode maupun teori belajar siswa
22. Melakukan refleksi pbm matematika
23. Mampu memanfaatkan dan mengembangkan ICT untuk pbm matematika misalnya pemenfaatan BLOG
24. Melakukan inovasi pbm matematika secara kontinue dan konsisten
25. Mengembangkan pelayanan terhadap kebutuhan belajar matematika siswa termasuk kesulitan-kesulitannya.
26. Mampu bekerjasama dengansesama guru dalam memperbaiki pbm matematikanya
27. Mampu mengkomunikasikan problematika pbm matematika kepada orang lain.
28. Secara ikhlas dan terbuka menerima kritik dan saran dai orang lain tentang kekurangan dalam menyelenggarakan pbm matematika.
29. Selalu berusaha menjadi inisiator atau orang terdepan dalam mengembangkan pbm matematika yang inovatif.
30. Memandang bahwa kagiatan mengajar juga merupakan bagian dari mengisi dan mengamalkan ibadahnya.
31. Merasa bertanggungjawab dan konsisten kepada semua level kepentingan, mulai diri sendiri, siswa, teman guru, sekolah, Kepala Sekolah, dst.
32. Mampu menulis karya-karya atau artikel di penerbitan, koran, majalah atau jurnal mengenai aspek pengembangan pbm matematika yang diselenggarakannya.
33. Aktif mengikuti kegiatan-kegiatan MGMP, seminar, lokakarya dan lesson study bidang pbm matematika.
34. Terlibat aktif di sekolah dalam bidang pengembangan pbm matematika
35. Kegiatan mengajar matematika menjadi kegiatan dan prioritas utamanya
36. Menguasai konten matematika
37. Menyadari dan mampu mengimplementasikan pbm matematika pada tataran kualitas yang lebih tinggi (kualitas ke dua)
Friday, December 26, 2008
Indikator Keberhasilan Siswa Belajar Matematika
Oleh: Marsigit
(Dirangkum dari berbagi sumber)
1. Sikap positif terhadap matematika
2. Mengembangkan kreatifitas dan seni mengerjakan matematika
3. Mengembangkan kemampuan berfikir logis
4. Mengembangkan proses/prosedur matematika
5. Melakukan percobaan-percobaan matematika
6. Memahami pentingnya bilangan dan penerapannya
7. Memahamai pentingnya geometri dan penerapannya
8. Menemukan pola-pola matematika
9. Menemukan hubungan-hubungan matematika
10. Mempunyai ketrampilan memecahkan masalah matematika
11. Memahami konsep-konsep atau pengertian matematika
12. Mempunyai kepekaan terhadap persoalan matematika di luar kelas
13. Berusaha secara kontinu dan terus menerus dalam mengembangkan matematika
14. Mampu mengkomunikasikan hasil-hasil pekerjaan matematika
15. Mampu mengembangkan dirinya sebagai seorang peneliti untuk meneliti matematika
16. Mampu bekerja secara mandiri dan independent dalam memecahkan persoalan matematika
17. Toleran dalam bekerjasama untuk memecahkan masalah matematika
18. Mampu menggunakan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari untuk menggali persoalan matematika
19. Mampu menggunakan matematika untuk memecahkan persoalan sehari-hari
20. Mencoba menularkan atau memberikan pengetahuan atau keterampilan matematika kepada orang lain.
21. Memperoleh hasil atau nilai yang tinggi untuk ujian atau tes matematika
22. Mempunyai pengalaman mengikuti berbagai lomba matematika termasuk olimpiade
(Dirangkum dari berbagi sumber)
1. Sikap positif terhadap matematika
2. Mengembangkan kreatifitas dan seni mengerjakan matematika
3. Mengembangkan kemampuan berfikir logis
4. Mengembangkan proses/prosedur matematika
5. Melakukan percobaan-percobaan matematika
6. Memahami pentingnya bilangan dan penerapannya
7. Memahamai pentingnya geometri dan penerapannya
8. Menemukan pola-pola matematika
9. Menemukan hubungan-hubungan matematika
10. Mempunyai ketrampilan memecahkan masalah matematika
11. Memahami konsep-konsep atau pengertian matematika
12. Mempunyai kepekaan terhadap persoalan matematika di luar kelas
13. Berusaha secara kontinu dan terus menerus dalam mengembangkan matematika
14. Mampu mengkomunikasikan hasil-hasil pekerjaan matematika
15. Mampu mengembangkan dirinya sebagai seorang peneliti untuk meneliti matematika
16. Mampu bekerja secara mandiri dan independent dalam memecahkan persoalan matematika
17. Toleran dalam bekerjasama untuk memecahkan masalah matematika
18. Mampu menggunakan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari untuk menggali persoalan matematika
19. Mampu menggunakan matematika untuk memecahkan persoalan sehari-hari
20. Mencoba menularkan atau memberikan pengetahuan atau keterampilan matematika kepada orang lain.
21. Memperoleh hasil atau nilai yang tinggi untuk ujian atau tes matematika
22. Mempunyai pengalaman mengikuti berbagai lomba matematika termasuk olimpiade
Thursday, December 25, 2008
REFLECTION ON THE TEACHING OF “THE MULTIPLICATION ALGORITM OF THE 3rd GRADE OF PRIMARY SCHOOL” THROUGH VTR
By Marsigit
OVERVIEW
Recently study in Indonesia indicated that the use of VTR (Video Tape Recorder) in the teacher training program was perceived by the teachers as good and useful. There is a higher frequency to use the VTR to promote teachers’ professional development in Japan and in developed countries; however, in Indonesia, it pops up like a jack-in-the-box. VTR for teacher education and reform movement in Mathematics Education, specifically for developing lesson study has some benefits as: a) short summary of the lesson with emphasis on major problems in the lesson, b) components of the lesson and main events in the class, and, c) possible issues for discussion and reflection with teachers observing the lesson (Isoda, M., 2006).
Katagiri, S (2004) listed the types of mathematical thinking as mathematical attitudes, mathematical thinking related to mathematical methods, and mathematical thinking related to mathematical contents. This identification of mathematical thinking by Katagiri can be the starting point to reflect any mathematics teaching learning process at school as for to reflect the teaching of “the multiplication algoritm of the 3rd grade of primary school” by Mr. Hideyuki Muramoto; then, the VTR of this lesson will be targeted for the series of activities: observation and reflection.
Characterizing The Lesson from Lesson Plan
The preliminary characteristics of Muramoto’s teaching are stipulated in the Lesson Plan such as follows:
a. Theme : Third grade mathematics lessons that foster students’ ability to use what they learned before to solve problems and make connections in order to solve problems in new learning situations
b. Method: Teaching “the Multiplication algorithm (1)” in a way that develops students who can use what they learned before to solve problems in new learning situations by making connections.
c. Goals of the Unit: To be able to think about how to carry out the calculation of a 2-digit number x a 1-digit number by using what was previously learned about multiplication (mathematical thinking).
d. Scenario of Teaching
1) Developing teaching that help students to become aware of the connection between what they learned before and what they are learning now and use previously learned knowledge to overcome obstacles in a new situation.
2) Connections between previously learned knowledge and new learning
3) Representing a problem situation with diagrams based on the idea of “how many times as much as a unit quantity” consistently and helping students to understand the situation and solution of the problem more clearly.
4) Developing lessons that incorporate this idea and help students to use the diagram to think
Characterizing the Lesson through VTR
a. The problem of video taping
- The quality of pictures are relatively good
- The single camera made the limitation of landscaping the class
- The small caption in the screen helps to catch more the picture of the class
b. The components of the lesson
- The whole class teaching has reduced the complexity of class interaction into the simple or linear pattern of interaction between teacher and students.
- Highlighting the certain ideas from certain student has ignored the other students’ ideas.
- Highlighting the certain aspect of mathematical thinking of a certain students endanger the total management of the class.
c. Encouraging and uncovering students’ mathematical thinking
- Teacher’s effort in encouraging and uncovering students’ mathematical thinking were effective enough.
- Teacher’s effort in serving individual students has not been effective yet.
- Some of the students were able to perform mathematical thinking
- Teacher was able to achieve the goal of the lesson
- Mathematical thinking of a certain students can be a model for others.
- Different students, in the same allocation of time, did similar problems by employing different methods to cultivate the similar results.
- Students’ discussion among themselves has not emerged yet.
- Students’ involvements in classroom management were still limited.
- Teacher has effectively employed the proper teaching aids.
CONCLUSION
The conclusion of the paper highlights some problems as follows:
- The problem of the reduction of the complexity of classroom interaction into the simple or linear pattern between teacher and his students.
- The problem of landscaping the whole classroom activities
- The negative correlation between focusing a certain aspect of students thinking and reducing the variant of their learning contexts.
- The problem of the pattern for the relation for promoting individual needs and the whole classroom management.
- The problem of the gap amongst teachers’ effort (including methods and media), students’ findings and the concept/understanding/rational of the vertical way of calculating 23 times 3.
- The problem of matching the theory of the concept of mathematical thinking and the factual condition of students’ mathematical thinking.
- The problem of mathematical thinking of the lower achievement students.
- The problem of exploring intrinsic, extrinsic and systemic of mathematical thinking.
REFERENCE:
Isoda, M. (2006). Reflecting on Good Practices via VTR Based on a VTR of Mr.
Tanaka's lesson `How many blocks? Draft for APEC-Tsukuba Conference in
Tokyo, Jan 15-20, 2006
Marsigit, (2006), Lesson Study: Promoting Student Thinking On TheConcept Of Least
Common Multiple (LCM) Through Realistic Approach In The 4th Grade Of
Primary Mathematics Teaching, in Progress report of the APEC project: “Colaborative Studies on Innovations for Teaching and Learning Mathematics in Diferent Cultures (II) – Lesson Study focusing on Mathematical Thinking -”, Tokyo: CRICED, University of Tsukuba.
Shikgeo Katagiri (2004)., Mathematical Thinking and How to Teach It. in Progress
report of the APEC project: “Colaborative Studies on Innovations for Teaching
and Learning Mathematics in Diferent Cultures (II) – Lesson Study focusing on
Mathematical Thinking -”, Tokyo: CRICED, University of Tsukuba.
OVERVIEW
Recently study in Indonesia indicated that the use of VTR (Video Tape Recorder) in the teacher training program was perceived by the teachers as good and useful. There is a higher frequency to use the VTR to promote teachers’ professional development in Japan and in developed countries; however, in Indonesia, it pops up like a jack-in-the-box. VTR for teacher education and reform movement in Mathematics Education, specifically for developing lesson study has some benefits as: a) short summary of the lesson with emphasis on major problems in the lesson, b) components of the lesson and main events in the class, and, c) possible issues for discussion and reflection with teachers observing the lesson (Isoda, M., 2006).
Katagiri, S (2004) listed the types of mathematical thinking as mathematical attitudes, mathematical thinking related to mathematical methods, and mathematical thinking related to mathematical contents. This identification of mathematical thinking by Katagiri can be the starting point to reflect any mathematics teaching learning process at school as for to reflect the teaching of “the multiplication algoritm of the 3rd grade of primary school” by Mr. Hideyuki Muramoto; then, the VTR of this lesson will be targeted for the series of activities: observation and reflection.
Characterizing The Lesson from Lesson Plan
The preliminary characteristics of Muramoto’s teaching are stipulated in the Lesson Plan such as follows:
a. Theme : Third grade mathematics lessons that foster students’ ability to use what they learned before to solve problems and make connections in order to solve problems in new learning situations
b. Method: Teaching “the Multiplication algorithm (1)” in a way that develops students who can use what they learned before to solve problems in new learning situations by making connections.
c. Goals of the Unit: To be able to think about how to carry out the calculation of a 2-digit number x a 1-digit number by using what was previously learned about multiplication (mathematical thinking).
d. Scenario of Teaching
1) Developing teaching that help students to become aware of the connection between what they learned before and what they are learning now and use previously learned knowledge to overcome obstacles in a new situation.
2) Connections between previously learned knowledge and new learning
3) Representing a problem situation with diagrams based on the idea of “how many times as much as a unit quantity” consistently and helping students to understand the situation and solution of the problem more clearly.
4) Developing lessons that incorporate this idea and help students to use the diagram to think
Characterizing the Lesson through VTR
a. The problem of video taping
- The quality of pictures are relatively good
- The single camera made the limitation of landscaping the class
- The small caption in the screen helps to catch more the picture of the class
b. The components of the lesson
- The whole class teaching has reduced the complexity of class interaction into the simple or linear pattern of interaction between teacher and students.
- Highlighting the certain ideas from certain student has ignored the other students’ ideas.
- Highlighting the certain aspect of mathematical thinking of a certain students endanger the total management of the class.
c. Encouraging and uncovering students’ mathematical thinking
- Teacher’s effort in encouraging and uncovering students’ mathematical thinking were effective enough.
- Teacher’s effort in serving individual students has not been effective yet.
- Some of the students were able to perform mathematical thinking
- Teacher was able to achieve the goal of the lesson
- Mathematical thinking of a certain students can be a model for others.
- Different students, in the same allocation of time, did similar problems by employing different methods to cultivate the similar results.
- Students’ discussion among themselves has not emerged yet.
- Students’ involvements in classroom management were still limited.
- Teacher has effectively employed the proper teaching aids.
CONCLUSION
The conclusion of the paper highlights some problems as follows:
- The problem of the reduction of the complexity of classroom interaction into the simple or linear pattern between teacher and his students.
- The problem of landscaping the whole classroom activities
- The negative correlation between focusing a certain aspect of students thinking and reducing the variant of their learning contexts.
- The problem of the pattern for the relation for promoting individual needs and the whole classroom management.
- The problem of the gap amongst teachers’ effort (including methods and media), students’ findings and the concept/understanding/rational of the vertical way of calculating 23 times 3.
- The problem of matching the theory of the concept of mathematical thinking and the factual condition of students’ mathematical thinking.
- The problem of mathematical thinking of the lower achievement students.
- The problem of exploring intrinsic, extrinsic and systemic of mathematical thinking.
REFERENCE:
Isoda, M. (2006). Reflecting on Good Practices via VTR Based on a VTR of Mr.
Tanaka's lesson `How many blocks? Draft for APEC-Tsukuba Conference in
Tokyo, Jan 15-20, 2006
Marsigit, (2006), Lesson Study: Promoting Student Thinking On TheConcept Of Least
Common Multiple (LCM) Through Realistic Approach In The 4th Grade Of
Primary Mathematics Teaching, in Progress report of the APEC project: “Colaborative Studies on Innovations for Teaching and Learning Mathematics in Diferent Cultures (II) – Lesson Study focusing on Mathematical Thinking -”, Tokyo: CRICED, University of Tsukuba.
Shikgeo Katagiri (2004)., Mathematical Thinking and How to Teach It. in Progress
report of the APEC project: “Colaborative Studies on Innovations for Teaching
and Learning Mathematics in Diferent Cultures (II) – Lesson Study focusing on
Mathematical Thinking -”, Tokyo: CRICED, University of Tsukuba.
Tuesday, December 23, 2008
Constructing Mathematics Activity at Group-Discussion of The 6th Grade Students Of Primary Schools
By Marsigit
Introduction
This research investigated teacher’s role and students’ activities to construct the comprehensive characteristics of numbers pattern in mathematics teaching at the 6th grade students of primary school. The aim of the study is to explore the role of teacher and the students’ activities in three different cycle of classroom action research. The activities are interpreted in the context of the students’ efforts to construct the comprehensive characteristics of numbers pattern. The analysis focuses on the way in which the teacher’s and students’ activities developed in their interactions. This study bounds territory in which events or processes occurred over a specified period. The framework of research is teaching action in mathematics teaching of Primary School Grade VI. Teacher is perceived to be co-worker in doing research and the researcher is not considered to an outside expert. Thus, the approach of the research is an evaluative-reflective-participatory-critical collaborative enquiry of teaching. In this research we have developed three cycles of classroom action research (CAR) of different teaching schemas which forms part of common practice in an educational setting. They aimed to extend children’s learning from cycle 1 to cycle 3 provide the students’ experience to develop their concepts.
The 1st cycle
In the first cycle, the teacher aimed the students to have some competencies to characterize some pattern of numbers producing by doing addition from any kind of two reversible numbers. The schema of teaching learning process in the 1st cycle was characterized as follows. Firstly, the teacher introduced the lesson, delivered information, posed the problems and explained what the students should do in the following activities. Secondly, having had ordering the students to produce additions from any kind of two reversible numbers, the teacher let the students to work in group-discussion; totally there were 8 group-discussions, each consisted of 4 students. Thirdly, the teacher encouraged the students to present their results of discussions and then strive to conclude the results. In this cycle the teacher developed worksheets and distributed them before the students work in their group-discussions.
The first step in the analysis was to provide a broad description of the sequence of events during the 1st cycle. In the 1st cycle it was recorded that there was considerable variation in terms of student’s activities. The recorded detail brief descriptions of the sessions were used to refer to analyze and to get feedback for preparing the 2nd cycle. In this session we found that there are some characteristics of students’ efforts to construct their knowledge. Some students indicated that they activities were routine execution of tasks; however, ideas are developed and they try to construct the concepts. Interaction in 1st cycle was characterized as an obvious discussion to share understanding among the children.
The students’ activity reflects their deep engagement and interest in the problem solving task There was no indication that the students has a conflict mode to reflects disagreement, however the dominantly role of a certain student begun to be an evident. It was indicated that with the developed schema of teaching learning processes the teacher did not explicitly force their students to pursue the aims of teaching. On the other hand, she encouraged students’ activities towards the achievement of goals by taking the benefits from asymmetrical relationship between teacher and their students and among the students themselves in group-discussion. Some aspects of students’ constructions of their knowledge were invisible and some of them were invisible.
The 2nd cycle
In the 2nd cycle, the teacher aimed the students to have some competencies to characterize some pattern of numbers producing by doing subtraction from any kind of two reversible numbers. The schema of teaching learning process in the 2nd cycle was characterized as follows. Firstly, the teacher introduced the lesson, delivered information, posed the problems and explained what the students should do in the following activities. Secondly, having had ordering the students to produce subtractions from any kind of two reversible numbers, the teacher let the students to work in group-discussion; totally there were 8 group-discussions, each consisted of 4 students. Thirdly, the teacher encouraged the students to present their results of discussions and then strive to conclude the results. In this cycle the teacher developed worksheets and distributed them before the students work in their group-discussions.
The analysis of session in the 2nd cycle examines the ways in which teacher’s approach and process of teaching tasks in their small-group activities. It aims at highlighting students’ activities and situated positions towards knowledge, learning to construct their knowledge. In this session, students are seen as dynamic and contextual in nature, being socially constructed in their interactions small-group discussions. The students’ activity reflects their deep engagement and interest in the problem solving task. There were no indications that the students did not focus on the task. Interaction in 2nd cycle was characterized as an obvious collaborative interaction. The students were not working individually in the group but developed their ideas together. The teacher encouraged students’ activities towards the achievement of goals by taking the benefits from asymmetrical relationship between teacher and their students and among the students themselves in group-discussion.
There were several examples of conversations in which some students did not want their talking to be heard by the teacher; on the other word, the teacher needed to give enough time for them to have a discussion in a certain group. There was no indication that the student has a conflict mode to reflect disagreement. In this entire session there was no indication of the students to refuse to engage in certain activity. Some aspects of students’ constructions of their knowledge were visible and some of them were invisible.
The 3rd cycle
In the 3rd cycle, the teacher aimed the students to have some competencies to characterize some pattern of numbers producing by doing multiplication from any kind of two reversible numbers. The schema of teaching learning process in the 3rd cycle was characterized as follows. Firstly, the teacher introduced the lesson, delivered information, posed the problems and explained what the students should do in the following activities. Secondly, having had ordering the students to produce multiplications from any kind of two reversible numbers, the teacher let the students to work in group-discussion; totally there were 8 group-discussions, each consisted of 4 students. Thirdly, the teacher encouraged the students to present their results of discussions and then strive to conclude the results. In this cycle the teacher developed worksheets and distributed them before the students work in their group-discussions.
In this session, collaborations in group-discussion reflected balancing in students’ social status and power. The constructive interaction among the students reflects various different understandings in a rational way by giving judgments and justifications. This led them to share their understanding of the concepts; it was indicated by their showing for helping and explaining for the purpose of assisting the other to understand the problems. In this session, there were indications that different group-discussion require different situational teacher intervention. The students’ activity reflects their deep engagement and interest in the problem solving task
There was no indication that the students have a conflict mode to reflect disagreement. The teacher encouraged students’ activities towards the achievement of goals by taking the benefits from asymmetrical relationship between teacher and their students and among the students themselves in group-discussion. The results of observations indicated that, among the students, there were various interests of different activities and different way to construct their activities. Some of the children have a separate discussion in the same group-discussion; while others initiated a variety of activities; others kept on the task and the left concentrated to prepare the answer orally the teacher’s question. Most aspects of students’ constructions of their knowledge were visible.
Results
In this study we have been concerned with describing and understanding interactions between teacher and their students and among the students themselves in group-discussions. The theoretical notions from which our analysis started were activity theory, constructive and the concept of guided participation. In particular, the students’ activities and the teacher’s role to encourage them are aspects that were highlighted in this study. Theoretical framework indicated that that the teacher used to emphasize her goal and then directs the students towards it. In group-discussions setting, the unfolding and development of activities is seen both implicitly and explicitly, also there were indications that there were opportunities for students to develop their understanding. When activities did not have a clear endpoint, both the teacher was able to influence the course of the activity, in line with her own interests.
The teacher’s role in the activity would be difficult to interpret in the absence of information about the principles group-discussions. The teacher’s perceptions of her role in supporting children’s learning and their intentions for the activity seemed to be changed from one cycle to the next one; and in the entire her activities this also seemed to be evident; one of indication was that the fact that in the initial interviews the teacher described her intentions in general terms and saw the building activity as a vehicle for general cognitive development was not so clear. Teacher’s introductions at any cycle may then be seen as related to the general aims which were adaptable to the development of the individual child. The teacher’s role became one of important factors for their children to develop their cognitive among their constraints in group-discussions. These important roles were not only evident in her having an awareness of the developmental goals, but also the knowledge of their students, her sensitivities to the student’s interests and motivation.
There were indications that in each cycle the students were not only simply behave as the performer of the activities but also as the active agent in constructing the activities themselves. Some students were not only remained in their role as the constructor in much of the sessions but also actively adopted other roles while the teacher taking on the role of assistant. The strike effect of activity in group-discussions was that conversational skill of them became the evident; some of them deliver their own initiations, and the other students seemed to take in such a defensive position on their arguments. By observing on the transitions from one activity to another, it became evident that an important aspect of the interaction was concerned with activities of negotiation. Students’ way to achieve the tasks seemed to be different; some did them through quiet persistence and others through explicit way.
References
Brannen, J., 1992, Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research, Aldershot: Averbury.
Miles, M.B. and Huberman, A.M, 1994, Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook, London: Sage Publications.
Shuard, H., 'Issues for curriculum development in primary mathematics' in Bourne, J., 1994, Thingking Through Prac¬tice, London: Routledge.
Tangyong, A.F., Gardner, R. (1994) 'The Active Learning Through Professional Support (ALPS)
project in Indonesia' in Beyond Jomtien, (1994) Implementing Primary Education for All, London :The MacMillan Press
Yin, R.K., 1993, Applications of Case Study Research: Applied Social Research Methods
Introduction
This research investigated teacher’s role and students’ activities to construct the comprehensive characteristics of numbers pattern in mathematics teaching at the 6th grade students of primary school. The aim of the study is to explore the role of teacher and the students’ activities in three different cycle of classroom action research. The activities are interpreted in the context of the students’ efforts to construct the comprehensive characteristics of numbers pattern. The analysis focuses on the way in which the teacher’s and students’ activities developed in their interactions. This study bounds territory in which events or processes occurred over a specified period. The framework of research is teaching action in mathematics teaching of Primary School Grade VI. Teacher is perceived to be co-worker in doing research and the researcher is not considered to an outside expert. Thus, the approach of the research is an evaluative-reflective-participatory-critical collaborative enquiry of teaching. In this research we have developed three cycles of classroom action research (CAR) of different teaching schemas which forms part of common practice in an educational setting. They aimed to extend children’s learning from cycle 1 to cycle 3 provide the students’ experience to develop their concepts.
The 1st cycle
In the first cycle, the teacher aimed the students to have some competencies to characterize some pattern of numbers producing by doing addition from any kind of two reversible numbers. The schema of teaching learning process in the 1st cycle was characterized as follows. Firstly, the teacher introduced the lesson, delivered information, posed the problems and explained what the students should do in the following activities. Secondly, having had ordering the students to produce additions from any kind of two reversible numbers, the teacher let the students to work in group-discussion; totally there were 8 group-discussions, each consisted of 4 students. Thirdly, the teacher encouraged the students to present their results of discussions and then strive to conclude the results. In this cycle the teacher developed worksheets and distributed them before the students work in their group-discussions.
The first step in the analysis was to provide a broad description of the sequence of events during the 1st cycle. In the 1st cycle it was recorded that there was considerable variation in terms of student’s activities. The recorded detail brief descriptions of the sessions were used to refer to analyze and to get feedback for preparing the 2nd cycle. In this session we found that there are some characteristics of students’ efforts to construct their knowledge. Some students indicated that they activities were routine execution of tasks; however, ideas are developed and they try to construct the concepts. Interaction in 1st cycle was characterized as an obvious discussion to share understanding among the children.
The students’ activity reflects their deep engagement and interest in the problem solving task There was no indication that the students has a conflict mode to reflects disagreement, however the dominantly role of a certain student begun to be an evident. It was indicated that with the developed schema of teaching learning processes the teacher did not explicitly force their students to pursue the aims of teaching. On the other hand, she encouraged students’ activities towards the achievement of goals by taking the benefits from asymmetrical relationship between teacher and their students and among the students themselves in group-discussion. Some aspects of students’ constructions of their knowledge were invisible and some of them were invisible.
The 2nd cycle
In the 2nd cycle, the teacher aimed the students to have some competencies to characterize some pattern of numbers producing by doing subtraction from any kind of two reversible numbers. The schema of teaching learning process in the 2nd cycle was characterized as follows. Firstly, the teacher introduced the lesson, delivered information, posed the problems and explained what the students should do in the following activities. Secondly, having had ordering the students to produce subtractions from any kind of two reversible numbers, the teacher let the students to work in group-discussion; totally there were 8 group-discussions, each consisted of 4 students. Thirdly, the teacher encouraged the students to present their results of discussions and then strive to conclude the results. In this cycle the teacher developed worksheets and distributed them before the students work in their group-discussions.
The analysis of session in the 2nd cycle examines the ways in which teacher’s approach and process of teaching tasks in their small-group activities. It aims at highlighting students’ activities and situated positions towards knowledge, learning to construct their knowledge. In this session, students are seen as dynamic and contextual in nature, being socially constructed in their interactions small-group discussions. The students’ activity reflects their deep engagement and interest in the problem solving task. There were no indications that the students did not focus on the task. Interaction in 2nd cycle was characterized as an obvious collaborative interaction. The students were not working individually in the group but developed their ideas together. The teacher encouraged students’ activities towards the achievement of goals by taking the benefits from asymmetrical relationship between teacher and their students and among the students themselves in group-discussion.
There were several examples of conversations in which some students did not want their talking to be heard by the teacher; on the other word, the teacher needed to give enough time for them to have a discussion in a certain group. There was no indication that the student has a conflict mode to reflect disagreement. In this entire session there was no indication of the students to refuse to engage in certain activity. Some aspects of students’ constructions of their knowledge were visible and some of them were invisible.
The 3rd cycle
In the 3rd cycle, the teacher aimed the students to have some competencies to characterize some pattern of numbers producing by doing multiplication from any kind of two reversible numbers. The schema of teaching learning process in the 3rd cycle was characterized as follows. Firstly, the teacher introduced the lesson, delivered information, posed the problems and explained what the students should do in the following activities. Secondly, having had ordering the students to produce multiplications from any kind of two reversible numbers, the teacher let the students to work in group-discussion; totally there were 8 group-discussions, each consisted of 4 students. Thirdly, the teacher encouraged the students to present their results of discussions and then strive to conclude the results. In this cycle the teacher developed worksheets and distributed them before the students work in their group-discussions.
In this session, collaborations in group-discussion reflected balancing in students’ social status and power. The constructive interaction among the students reflects various different understandings in a rational way by giving judgments and justifications. This led them to share their understanding of the concepts; it was indicated by their showing for helping and explaining for the purpose of assisting the other to understand the problems. In this session, there were indications that different group-discussion require different situational teacher intervention. The students’ activity reflects their deep engagement and interest in the problem solving task
There was no indication that the students have a conflict mode to reflect disagreement. The teacher encouraged students’ activities towards the achievement of goals by taking the benefits from asymmetrical relationship between teacher and their students and among the students themselves in group-discussion. The results of observations indicated that, among the students, there were various interests of different activities and different way to construct their activities. Some of the children have a separate discussion in the same group-discussion; while others initiated a variety of activities; others kept on the task and the left concentrated to prepare the answer orally the teacher’s question. Most aspects of students’ constructions of their knowledge were visible.
Results
In this study we have been concerned with describing and understanding interactions between teacher and their students and among the students themselves in group-discussions. The theoretical notions from which our analysis started were activity theory, constructive and the concept of guided participation. In particular, the students’ activities and the teacher’s role to encourage them are aspects that were highlighted in this study. Theoretical framework indicated that that the teacher used to emphasize her goal and then directs the students towards it. In group-discussions setting, the unfolding and development of activities is seen both implicitly and explicitly, also there were indications that there were opportunities for students to develop their understanding. When activities did not have a clear endpoint, both the teacher was able to influence the course of the activity, in line with her own interests.
The teacher’s role in the activity would be difficult to interpret in the absence of information about the principles group-discussions. The teacher’s perceptions of her role in supporting children’s learning and their intentions for the activity seemed to be changed from one cycle to the next one; and in the entire her activities this also seemed to be evident; one of indication was that the fact that in the initial interviews the teacher described her intentions in general terms and saw the building activity as a vehicle for general cognitive development was not so clear. Teacher’s introductions at any cycle may then be seen as related to the general aims which were adaptable to the development of the individual child. The teacher’s role became one of important factors for their children to develop their cognitive among their constraints in group-discussions. These important roles were not only evident in her having an awareness of the developmental goals, but also the knowledge of their students, her sensitivities to the student’s interests and motivation.
There were indications that in each cycle the students were not only simply behave as the performer of the activities but also as the active agent in constructing the activities themselves. Some students were not only remained in their role as the constructor in much of the sessions but also actively adopted other roles while the teacher taking on the role of assistant. The strike effect of activity in group-discussions was that conversational skill of them became the evident; some of them deliver their own initiations, and the other students seemed to take in such a defensive position on their arguments. By observing on the transitions from one activity to another, it became evident that an important aspect of the interaction was concerned with activities of negotiation. Students’ way to achieve the tasks seemed to be different; some did them through quiet persistence and others through explicit way.
References
Brannen, J., 1992, Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research, Aldershot: Averbury.
Miles, M.B. and Huberman, A.M, 1994, Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook, London: Sage Publications.
Shuard, H., 'Issues for curriculum development in primary mathematics' in Bourne, J., 1994, Thingking Through Prac¬tice, London: Routledge.
Tangyong, A.F., Gardner, R. (1994) 'The Active Learning Through Professional Support (ALPS)
project in Indonesia' in Beyond Jomtien, (1994) Implementing Primary Education for All, London :The MacMillan Press
Yin, R.K., 1993, Applications of Case Study Research: Applied Social Research Methods
PHILOSOPHICAL EXPLANATION ON MATHEMATICAL EXPERIENCES OF THE FIFTH GRADE STUDENTS
By Marsigit
Introduction
This article strives to explain philosophically on the students’ experiences on decimal numeration which were emerged in the research on The Effect of Epistemic Fidelity On Teaching Decimal Numeration With Physical Materials by Kaye Stacey et al (2001). The use of linear arithmetic blocks (LAB) was associated with more active engagement by students and deeper discussion than that of multi-base arithmetic blocks (MAB). Epistemic fidelity is critical to facilitate teaching with the models, but Stacey, K, et al (p.199-221, 2001) attributed the enhanced environment to the greater accessibility of the LAB material. This research and its results exhibits the writer to employ Greimas’ Structural Analyses, Kant’s theory of double-affection and other notions of philosophical explanation in order to uncover concepts behind the aspects of the process as well as the results of the research. The in-depth explanations of the nature of mathematical experiences, specifically about the effect of epistemic fidelity on teaching decimal numeration with physical materials, will expose not a single truth of its nature due to the fact that they will be put in the area of philosophy.
The level of philosophical discussion have their characteristics such as the need to cross-check as well as to compare with several point of views independently, to construct general theory of subject related. Mackenzie, J.S, (1917), stated that philosophy has to take account of the general results of the investigations of all sciences to endeavour or to construct a general theory. To achieve the purpose the writer employ some philosophical approaches such as interpretation, internal coherences, idealisation, comparison, analogy and description. Based on those approaches, accordingly, the writer adapts Greimas’ Hermenetics Structural Analyses to show the inter-relationship among the components of decimal numeration teaching with physical materials as it was carried out as part of the research of Kaye Stacey et al. To achieve the objective i.e the general theory of the related subject, the writer strive to implement the theory of ‘double-affection’ to the scheme of Greimas’ Hermenitics Structural Analyses with the context of the process and the results of the research, conducted by Stacey, K, et al, (2001), on the effect of epistemic fidelity and accessibility on teaching with physical material.
Greimas’ Hermenitics Structural Analyses
In that scheme, the student was put into the centre of the mathematical teaching learning activities; the teacher has a role as the ‘the sender’ as well as the ‘supporter’ in such a way that their students learn physical material as an object of learning; the ‘transaction’ between the teacher and their students happened if there is a motivation of the students to learn the objects i.e. physical material; the ‘constraints’ need to be considered and to be anticipated as well as to be found its solutions in such away that the students are able to interact with their physical material; the ‘anti-subject’ arises if there is extremely constraints such as bullying, un-expected accident etc. in such a way that the students are not able to interact with their physical material mathematical objects; the ‘receivers’ are the people or the agents that takes the benefit of the students’ interaction with their objects, therefore, the student him/herself cam be perceived as ‘receiver’.
The Myth Of Double Affection
The theory of double affection is a classical attempt to rescue Kant’s account of perceptual awareness from what is alleged to be a glaring inconsistency (Gram, S.M, in Werkmeister, W.H, 1975). According to Kant, ‘to be affected by anything ‘ is to experience the effect of an object upon the faculty of representation (ibid, p.29). Kant provides two kinds of objects which affect the subject: there are ‘thing in themselves’ which affect the self; and there are ‘appearances in themselves’ which act on our sensibility and are independent of whatever characteristics attach to our sensory receptors (Werkmeister, W.H, 1975). Facing this Kant’s notion, Gram, S.M, in Werkmeister, W.H, (1975) delivered the following argument:
“ Suppose we say that what affects our sensibility is ‘a thing in itself’. This account of what affects us, however, prevents us from distinguishing between a case in which somebody perceives an object and the quite different case in which an object exert a merely causal influence on the body of the perceiver. This can be seen by consulting an elementary fact of perception. The fact is that to perceive anything is to perceive it under ‘a certain description’. If this were not the case, then we could not distinguish between the perceiving of one object rather than another. But if we must always perceive something under a description, to say that we are affected by ‘a thing in itself’ when we perceive anything would imply that we perceive that objects satisfy certain descriptions. And this would contradict the claim that we cannot be perceptually acquainted with ‘a thing in itself’.
The above propositions were delivered to argue Kant’s description that affection as the experience of the ‘effect’ of an object on our sensory apparatus; whilst, the dilemma facing Kant’s theory has nothing to do with the quite separate issue of whether what is related to sensibility is the effect of an object rather than the object itself; and, the issue concerns the nature of the object which is immediately present to perceptual awareness rather than the casual relation in which it might stand to some further object. The notion of affection does not, however, become fully clear unless we can specify the kind of object which can stand in such a relation to our sensibility (ibid, p.29). He then erected the next dilemma as shown the following:
“If ‘a thing in itself’ can act upon our sensory organs even though we cannot perceive it to satisfy any description at all, we would not be able to distinguish between ‘the situation ‘ in which an object casually affects our bodies in certain ways and we do not perceive the effects of that action from the quite different situation in which the object exerts such as influence and we do perceive it. If the first affection is to hold between ‘a thing in itself’ and ‘an act of perceptual awareness, we would have to be able to perceive ‘thing in themselves’ under descriptions appropriate to them or obliterate the distinction between causation and perceptual awareness”.
What we can learn is that there should be any other relation between ‘thing in themselves’ and affection. Kant asserted that ‘space’ and ‘time’ are forms of our sensibility; what affects our sensibility is an object that has ‘spatial’ or ‘temporal’ characteristics i.e. a phenomenal object. If the object which affects the forms of our sensibility cannot itself have ‘spatio-temporal’ characteristics, then what affects us must, on Kant’s theory, be a thing in itself . Empirical affection does not require that the objects in our sensory field lack spatio-temporal characteristics; while, transcendental affection countenances the existence of objects which affect ego in themselves. However, the distinction between these two kinds of perception is still a myth (ibid 32-33).
Research on The Effect Of Epistemic Fidelity On Tea-ching Decimal Numeration With Physical Materials by Kaye Stacey et al (2001)
The results of the research on the effect of epistemic fidelity and accessibility on teaching with physical material (Stacey, K, et al, 2001) comes to some conclusion that: 1) the are numbers of favor differences of different model of physical material (LAB and MAB), 2) the most striking difference between the two models was their ability to model number density, with LAB found to be the superior model in this respect, 3) teaching with physical materials is an area of great difficulty for many students, 4) students did not attend to the volume relationships embedded in MAB and struggled to remember the names, rather than immediately appreciating the sense behind them, 5) MAB students experienced difficulty generalizing to numbers beyond the model due to their difficulties with volume and apparent dimensional shifts in their perceptions of the components, 6) LAB appeared to promote richer engagement in the classroom than MAB due to its greater accessibility (detail results of the research, refer to Educational Studies in Mathematics 47: 199-221, 2001).
It was acknowledged by the researchers that some manipulative materials can be distracting and open misinterpretation; teachers could overestimate the value of physical materials because they are already familiar with the concepts being presented (Ball in Kaye, et al, 2001). It also stated that, Meira (1998), the mechanical devices became ‘visible’ as things that required explanation, rather than ‘invisible’ resources for making the mathematics more accessible. Having considered those notions of the constraints in employing physical materials in teaching mathematics and having learnt the document of the process and the results of the research, the writer perceives that the research consists a lot of important critical concepts that need to be developed as the notions in the implementation of mathematics teaching as well as the notions of theoretical and or philosophical discussions. In term of theoretical concept, those important critical concepts consist of: 1) epistemic fidelity, 2) the posing problems devices, 3) the link between the features of the device and the target knowledge, 4) something objective, 5) students’ engagement, and 6) accessibility. From the explanation, it can be inferred that the objective of this paper is to investigate general theory of the aspects of mathematics teaching learning processes with the context of the process and the results of the research conducted by Stacey, K, et al, (2001), on the effect of epistemic fidelity and accessibility on teaching with physical material.
Philosophical Explanation on Mathematical Experience
In their theoretical review of the stated research, Stacey, K, et al, (2001) indicated that epistemic fidelity of the material is one of the factors influences the transparency of instructional material. They also indicated that epistemic fidelity of the material depends on the materials themselves in which the mathematical domain being represented does not depend on their use by students. Explicitly, they defined that the epistemic fidelity of an instructional material is a measure of the quality of analogical mapping between the features of the material and the target knowledge domain. Further, they stated that epistemic fidelity of a model depends on the relationship of features intrinsic in the model to target mathematical structure, and is independent of user characteristics. On the other hand, Gram, S.M. (1975) provides a clear and comprehensive statement, of the case that likely as what Stacey, K., et al infer as epistemic fidelity, that he called ‘double affection’. He claimed that what affects our sensibility is ‘a phenomenal object’; it allowing anything which has spatial or temporal characteristics to count as such an object. Further he stated that, according to Kant, sensibility is the capacity (that the researcher claimed as ‘quality’) for receiving representations through the mode in which we are affected by objects.
From those two points of view we may learn that although there similarities of the claim of the relation between subject and object of learning, although the writer could not identify what did they mean by ‘a measure of the quality of analogical mapping between the features of the material and the target knowledge domain’, except that of its category consists of excellent, good, satisfactory and unsatisfactory. If the researchers meant that epistemic fidelity is the capacity for receiving representations through the mode in which we are affected by objects, the next problem is that we need to clarify them. Kant implied that affection is to be partially defined in terms of a relation in which an object stands to certain spatio-temporal forms; and this kind of relationship is specified in terms of a connection between an object and these forms, not in term of an object exhibiting these forms and sensibility. It is important here to conclude that, according to Kant, if the object which affects the forms of our sensibility cannot itself have spatio-temporal characteristics, then what affects us must be ‘a thing in itself’(in which the researchers indicated it as ‘material in themselves’). It seemed that the researchers did not specify the affect of the different characteristics of the object in term of ‘appearances in themselves’ and ‘things in themselves’.
Next, they also indicated that the ‘accessibility’ of the materials is a collection or psychological factors that arise in the use of the materials by students but which are not specific to particular students (ibid. p. 2001); further it was stated that accessibility of a model of physical material depends on characteristics of likely users interacting with features of the model; accessibility, stands above the detailed analyses of particular tasks in particular classrooms that Meira (1998) in Stacy (2001) has traced in his quest for ‘transparency’. Accordingly, there are at least two issues (both social and psychological) that may impact of LAB and MAB. In LAB the issues consists of: 1) students’ confusing the organizer rods with the value of the component and 2) students’ confusing about the left-right positioning of the place value columns. It is clear that what the researcher infer by ‘accessibility’ is something related to the subject that what inferred by Kant as ‘sensibility’.
Differences accessibility were actually found that students in MAB group experienced confusion with remembering the new names components. There was no such confusion in the LAB group. How numbers are represented? In MAB group, the students did not understand that the components relative value is based on their volume. In term of ability to generalise beyond the model, the students were confused by the apparent dimensional shift and appeared to be looking for a forth dimension. Were the different learning outcomes related to differences in epistemic fidelity or accessibility? The LAB model was more effective on decimal numeration; the LAB model was found to more transparent model for numeration; the LAB model was more effective model of number density; the LAB model should also be better model for rounding decimal number.
In term of the differences between the group, the LAB model was more favourable and the LAB model appeared to promote richer engagement in the classroom due to greater accessibility. The Year 5 students appeared reluctant to use the MAB; it was a constant struggle to get them to use it. There was more discussion and exchange the ideas in the LAB group and there more significantly episodes of talk referring to the LAB model than the MAB model. There was evidence that LAB students spontaneously exploring new ideas, which did not occur with students using MAB. When LAB was not available, students made connections with other physical representations, such as ruler lengths and MAB; One student pointed out “LAB is another type of MAB”; “These are the exact same thing”. The LAB group scored higher than the MAB group on every measure of attitude(Likert items). In term of the attitude, the LAB group is typified by one student’s comment: ”Learning what the numbers mean –how big they were-just from length, was the best”.
Conclusion
The research has given the researchers an insight into the different roles of epistemic fidelity and accessibility of physical instructional material. The researchers hypothesise that epistemic fidelity is necessary for securely grounded teaching of concept with a model, whereas accessibility promotes rich classroom engagement. Epistemic fidelity and accessibility have different roles in establishment transparency. From all of those findings, the writer strives to develop the method to uncover what are there behind the concepts.
Over all, we regard to the students’ status of mathematical knowledge resulted by manipulating with physical materials, in the schema of Greimas’ Hermenetics Structural Analyses. If the distinction between the two kinds of perception is still a myth, then we can still argue it on the status of mathematical knowledge. As it was acknowledged by the researchers that some manipulative materials can be distracting and open misinterpretation; it can be explain with the theory of double-affection due to the fact that the teachers are already familiar with the concepts being presented. The writer perceives that Kant’s notion of appearance in them selves and thing in themselves are useful to explain the issues of visibility and /or invisibility of the mechanical device.
The writer emphasizes that the different context, i.e. in term of time and space as it was notified by Kant, may influence students perception of the objects. Therefore, teachers need to employ those kind of factors as supporting one in teaching learning of mathematics. The link between the features of the device and the target knowledge was very intensively to be discussed by Kant in his Critical of Pure Reason. General theory of the aspects of mathematics teaching learning processes is to pursue in term of the relation of student as a subject and physical material as an object in the schema of Greimas’ Hermenetics Structural Analyses. The effort to pursue those relationships will determine the extent of the quality of philosophical point of view.
References:
Haryatmoko, 2004, Research Methodology, Unpublished document of his lecturing in the Post Graduate Program of Philosophy Science, Gadjah Mada University
Kant, I., 1998, Critique of Pure Reason (trans. Meiklejohn, J.M, )
Kant, I., 1998, Prolegomena to Any Future Metaphysics(trans.)
Smith, N.K., 2003, A Commentary to Kant’s Critique of Pure Reason, New York: Palgrave Macmillan.
Stacey K., 2001, The Effect Of Epistemic Fidelity On Teaching Decimal Numeration With Physical Materials by Kaye Stacey
Werkmeister, W.H., 1975, Reflections on Kant’ Philosophy,Florida: University Presses of Florida.
Introduction
This article strives to explain philosophically on the students’ experiences on decimal numeration which were emerged in the research on The Effect of Epistemic Fidelity On Teaching Decimal Numeration With Physical Materials by Kaye Stacey et al (2001). The use of linear arithmetic blocks (LAB) was associated with more active engagement by students and deeper discussion than that of multi-base arithmetic blocks (MAB). Epistemic fidelity is critical to facilitate teaching with the models, but Stacey, K, et al (p.199-221, 2001) attributed the enhanced environment to the greater accessibility of the LAB material. This research and its results exhibits the writer to employ Greimas’ Structural Analyses, Kant’s theory of double-affection and other notions of philosophical explanation in order to uncover concepts behind the aspects of the process as well as the results of the research. The in-depth explanations of the nature of mathematical experiences, specifically about the effect of epistemic fidelity on teaching decimal numeration with physical materials, will expose not a single truth of its nature due to the fact that they will be put in the area of philosophy.
The level of philosophical discussion have their characteristics such as the need to cross-check as well as to compare with several point of views independently, to construct general theory of subject related. Mackenzie, J.S, (1917), stated that philosophy has to take account of the general results of the investigations of all sciences to endeavour or to construct a general theory. To achieve the purpose the writer employ some philosophical approaches such as interpretation, internal coherences, idealisation, comparison, analogy and description. Based on those approaches, accordingly, the writer adapts Greimas’ Hermenetics Structural Analyses to show the inter-relationship among the components of decimal numeration teaching with physical materials as it was carried out as part of the research of Kaye Stacey et al. To achieve the objective i.e the general theory of the related subject, the writer strive to implement the theory of ‘double-affection’ to the scheme of Greimas’ Hermenitics Structural Analyses with the context of the process and the results of the research, conducted by Stacey, K, et al, (2001), on the effect of epistemic fidelity and accessibility on teaching with physical material.
Greimas’ Hermenitics Structural Analyses
In that scheme, the student was put into the centre of the mathematical teaching learning activities; the teacher has a role as the ‘the sender’ as well as the ‘supporter’ in such a way that their students learn physical material as an object of learning; the ‘transaction’ between the teacher and their students happened if there is a motivation of the students to learn the objects i.e. physical material; the ‘constraints’ need to be considered and to be anticipated as well as to be found its solutions in such away that the students are able to interact with their physical material; the ‘anti-subject’ arises if there is extremely constraints such as bullying, un-expected accident etc. in such a way that the students are not able to interact with their physical material mathematical objects; the ‘receivers’ are the people or the agents that takes the benefit of the students’ interaction with their objects, therefore, the student him/herself cam be perceived as ‘receiver’.
The Myth Of Double Affection
The theory of double affection is a classical attempt to rescue Kant’s account of perceptual awareness from what is alleged to be a glaring inconsistency (Gram, S.M, in Werkmeister, W.H, 1975). According to Kant, ‘to be affected by anything ‘ is to experience the effect of an object upon the faculty of representation (ibid, p.29). Kant provides two kinds of objects which affect the subject: there are ‘thing in themselves’ which affect the self; and there are ‘appearances in themselves’ which act on our sensibility and are independent of whatever characteristics attach to our sensory receptors (Werkmeister, W.H, 1975). Facing this Kant’s notion, Gram, S.M, in Werkmeister, W.H, (1975) delivered the following argument:
“ Suppose we say that what affects our sensibility is ‘a thing in itself’. This account of what affects us, however, prevents us from distinguishing between a case in which somebody perceives an object and the quite different case in which an object exert a merely causal influence on the body of the perceiver. This can be seen by consulting an elementary fact of perception. The fact is that to perceive anything is to perceive it under ‘a certain description’. If this were not the case, then we could not distinguish between the perceiving of one object rather than another. But if we must always perceive something under a description, to say that we are affected by ‘a thing in itself’ when we perceive anything would imply that we perceive that objects satisfy certain descriptions. And this would contradict the claim that we cannot be perceptually acquainted with ‘a thing in itself’.
The above propositions were delivered to argue Kant’s description that affection as the experience of the ‘effect’ of an object on our sensory apparatus; whilst, the dilemma facing Kant’s theory has nothing to do with the quite separate issue of whether what is related to sensibility is the effect of an object rather than the object itself; and, the issue concerns the nature of the object which is immediately present to perceptual awareness rather than the casual relation in which it might stand to some further object. The notion of affection does not, however, become fully clear unless we can specify the kind of object which can stand in such a relation to our sensibility (ibid, p.29). He then erected the next dilemma as shown the following:
“If ‘a thing in itself’ can act upon our sensory organs even though we cannot perceive it to satisfy any description at all, we would not be able to distinguish between ‘the situation ‘ in which an object casually affects our bodies in certain ways and we do not perceive the effects of that action from the quite different situation in which the object exerts such as influence and we do perceive it. If the first affection is to hold between ‘a thing in itself’ and ‘an act of perceptual awareness, we would have to be able to perceive ‘thing in themselves’ under descriptions appropriate to them or obliterate the distinction between causation and perceptual awareness”.
What we can learn is that there should be any other relation between ‘thing in themselves’ and affection. Kant asserted that ‘space’ and ‘time’ are forms of our sensibility; what affects our sensibility is an object that has ‘spatial’ or ‘temporal’ characteristics i.e. a phenomenal object. If the object which affects the forms of our sensibility cannot itself have ‘spatio-temporal’ characteristics, then what affects us must, on Kant’s theory, be a thing in itself . Empirical affection does not require that the objects in our sensory field lack spatio-temporal characteristics; while, transcendental affection countenances the existence of objects which affect ego in themselves. However, the distinction between these two kinds of perception is still a myth (ibid 32-33).
Research on The Effect Of Epistemic Fidelity On Tea-ching Decimal Numeration With Physical Materials by Kaye Stacey et al (2001)
The results of the research on the effect of epistemic fidelity and accessibility on teaching with physical material (Stacey, K, et al, 2001) comes to some conclusion that: 1) the are numbers of favor differences of different model of physical material (LAB and MAB), 2) the most striking difference between the two models was their ability to model number density, with LAB found to be the superior model in this respect, 3) teaching with physical materials is an area of great difficulty for many students, 4) students did not attend to the volume relationships embedded in MAB and struggled to remember the names, rather than immediately appreciating the sense behind them, 5) MAB students experienced difficulty generalizing to numbers beyond the model due to their difficulties with volume and apparent dimensional shifts in their perceptions of the components, 6) LAB appeared to promote richer engagement in the classroom than MAB due to its greater accessibility (detail results of the research, refer to Educational Studies in Mathematics 47: 199-221, 2001).
It was acknowledged by the researchers that some manipulative materials can be distracting and open misinterpretation; teachers could overestimate the value of physical materials because they are already familiar with the concepts being presented (Ball in Kaye, et al, 2001). It also stated that, Meira (1998), the mechanical devices became ‘visible’ as things that required explanation, rather than ‘invisible’ resources for making the mathematics more accessible. Having considered those notions of the constraints in employing physical materials in teaching mathematics and having learnt the document of the process and the results of the research, the writer perceives that the research consists a lot of important critical concepts that need to be developed as the notions in the implementation of mathematics teaching as well as the notions of theoretical and or philosophical discussions. In term of theoretical concept, those important critical concepts consist of: 1) epistemic fidelity, 2) the posing problems devices, 3) the link between the features of the device and the target knowledge, 4) something objective, 5) students’ engagement, and 6) accessibility. From the explanation, it can be inferred that the objective of this paper is to investigate general theory of the aspects of mathematics teaching learning processes with the context of the process and the results of the research conducted by Stacey, K, et al, (2001), on the effect of epistemic fidelity and accessibility on teaching with physical material.
Philosophical Explanation on Mathematical Experience
In their theoretical review of the stated research, Stacey, K, et al, (2001) indicated that epistemic fidelity of the material is one of the factors influences the transparency of instructional material. They also indicated that epistemic fidelity of the material depends on the materials themselves in which the mathematical domain being represented does not depend on their use by students. Explicitly, they defined that the epistemic fidelity of an instructional material is a measure of the quality of analogical mapping between the features of the material and the target knowledge domain. Further, they stated that epistemic fidelity of a model depends on the relationship of features intrinsic in the model to target mathematical structure, and is independent of user characteristics. On the other hand, Gram, S.M. (1975) provides a clear and comprehensive statement, of the case that likely as what Stacey, K., et al infer as epistemic fidelity, that he called ‘double affection’. He claimed that what affects our sensibility is ‘a phenomenal object’; it allowing anything which has spatial or temporal characteristics to count as such an object. Further he stated that, according to Kant, sensibility is the capacity (that the researcher claimed as ‘quality’) for receiving representations through the mode in which we are affected by objects.
From those two points of view we may learn that although there similarities of the claim of the relation between subject and object of learning, although the writer could not identify what did they mean by ‘a measure of the quality of analogical mapping between the features of the material and the target knowledge domain’, except that of its category consists of excellent, good, satisfactory and unsatisfactory. If the researchers meant that epistemic fidelity is the capacity for receiving representations through the mode in which we are affected by objects, the next problem is that we need to clarify them. Kant implied that affection is to be partially defined in terms of a relation in which an object stands to certain spatio-temporal forms; and this kind of relationship is specified in terms of a connection between an object and these forms, not in term of an object exhibiting these forms and sensibility. It is important here to conclude that, according to Kant, if the object which affects the forms of our sensibility cannot itself have spatio-temporal characteristics, then what affects us must be ‘a thing in itself’(in which the researchers indicated it as ‘material in themselves’). It seemed that the researchers did not specify the affect of the different characteristics of the object in term of ‘appearances in themselves’ and ‘things in themselves’.
Next, they also indicated that the ‘accessibility’ of the materials is a collection or psychological factors that arise in the use of the materials by students but which are not specific to particular students (ibid. p. 2001); further it was stated that accessibility of a model of physical material depends on characteristics of likely users interacting with features of the model; accessibility, stands above the detailed analyses of particular tasks in particular classrooms that Meira (1998) in Stacy (2001) has traced in his quest for ‘transparency’. Accordingly, there are at least two issues (both social and psychological) that may impact of LAB and MAB. In LAB the issues consists of: 1) students’ confusing the organizer rods with the value of the component and 2) students’ confusing about the left-right positioning of the place value columns. It is clear that what the researcher infer by ‘accessibility’ is something related to the subject that what inferred by Kant as ‘sensibility’.
Differences accessibility were actually found that students in MAB group experienced confusion with remembering the new names components. There was no such confusion in the LAB group. How numbers are represented? In MAB group, the students did not understand that the components relative value is based on their volume. In term of ability to generalise beyond the model, the students were confused by the apparent dimensional shift and appeared to be looking for a forth dimension. Were the different learning outcomes related to differences in epistemic fidelity or accessibility? The LAB model was more effective on decimal numeration; the LAB model was found to more transparent model for numeration; the LAB model was more effective model of number density; the LAB model should also be better model for rounding decimal number.
In term of the differences between the group, the LAB model was more favourable and the LAB model appeared to promote richer engagement in the classroom due to greater accessibility. The Year 5 students appeared reluctant to use the MAB; it was a constant struggle to get them to use it. There was more discussion and exchange the ideas in the LAB group and there more significantly episodes of talk referring to the LAB model than the MAB model. There was evidence that LAB students spontaneously exploring new ideas, which did not occur with students using MAB. When LAB was not available, students made connections with other physical representations, such as ruler lengths and MAB; One student pointed out “LAB is another type of MAB”; “These are the exact same thing”. The LAB group scored higher than the MAB group on every measure of attitude(Likert items). In term of the attitude, the LAB group is typified by one student’s comment: ”Learning what the numbers mean –how big they were-just from length, was the best”.
Conclusion
The research has given the researchers an insight into the different roles of epistemic fidelity and accessibility of physical instructional material. The researchers hypothesise that epistemic fidelity is necessary for securely grounded teaching of concept with a model, whereas accessibility promotes rich classroom engagement. Epistemic fidelity and accessibility have different roles in establishment transparency. From all of those findings, the writer strives to develop the method to uncover what are there behind the concepts.
Over all, we regard to the students’ status of mathematical knowledge resulted by manipulating with physical materials, in the schema of Greimas’ Hermenetics Structural Analyses. If the distinction between the two kinds of perception is still a myth, then we can still argue it on the status of mathematical knowledge. As it was acknowledged by the researchers that some manipulative materials can be distracting and open misinterpretation; it can be explain with the theory of double-affection due to the fact that the teachers are already familiar with the concepts being presented. The writer perceives that Kant’s notion of appearance in them selves and thing in themselves are useful to explain the issues of visibility and /or invisibility of the mechanical device.
The writer emphasizes that the different context, i.e. in term of time and space as it was notified by Kant, may influence students perception of the objects. Therefore, teachers need to employ those kind of factors as supporting one in teaching learning of mathematics. The link between the features of the device and the target knowledge was very intensively to be discussed by Kant in his Critical of Pure Reason. General theory of the aspects of mathematics teaching learning processes is to pursue in term of the relation of student as a subject and physical material as an object in the schema of Greimas’ Hermenetics Structural Analyses. The effort to pursue those relationships will determine the extent of the quality of philosophical point of view.
References:
Haryatmoko, 2004, Research Methodology, Unpublished document of his lecturing in the Post Graduate Program of Philosophy Science, Gadjah Mada University
Kant, I., 1998, Critique of Pure Reason (trans. Meiklejohn, J.M, )
Kant, I., 1998, Prolegomena to Any Future Metaphysics(trans.)
Smith, N.K., 2003, A Commentary to Kant’s Critique of Pure Reason, New York: Palgrave Macmillan.
Stacey K., 2001, The Effect Of Epistemic Fidelity On Teaching Decimal Numeration With Physical Materials by Kaye Stacey
Werkmeister, W.H., 1975, Reflections on Kant’ Philosophy,Florida: University Presses of Florida.
Penggunaan Kalkulator Dalam Pembelajaran Matematika di SMK
Peneliti: Retno Siswanto
Pembimbing: Marsigit
1. Proses pelaksanaan pemanfaatan kalkulator grafik dalam proses pembelajaran matematika
Dalam proses pembelajaran matematika peneliti telah melaksanakan dua tahapan. Dua tahapan tersebut adalah mengenalkan dan memanfaatkan kalkulator grafik dalam proses pembelajaran matematika. Karena kedua tahapan tersebut saling berkaitan, peneliti berusaha mengenalkan terlebih dahulu kalkulator grafik, kemudian memanfaatkannya dalam proses pembelajaran matematika.Tahapan pertama, adalah mengenalkan kalkulator grafik. Proses mengenalkan kalkulator grafik ditunjukkan dengan menunjukkan fakta kalkulator kepada siswa. Selain menunjukkan kenampakan fisik, siswa diberikan informasi tentang jenis-jenis kalkulator dan pemanfaatannya.
Tahapan kedua, adalah memanfaatkan dalam proses pembelajaran matematika. Proses pemanfatannya dilkukan dengan menjelaskan penggunaan, memberikan teori, dan memberikan contoh soal yang dapat diselesaikan dengan kalkulator grafik. Teori dan contoh yang diberikan berkaitan dengan soal-soal yang akan dikerjakan oleh siswa. Sehingga dengan memberikan teori dan contoh soal tersebut diharapkan siswa dapat mempunyai gambaran tentang bagaimana menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan dengan kalkulator grafik. Salah satu hasil pelaksanaan kalkulator grafik dalam proses pembelajaran matematika yaitu tentang diskusi siswa dalam menyelesaikan soal sistem persamaan linier dua variabel dengan metode grafik. Dari salah satu contoh ini siswa mengalami beberapa proses. Proses tersebut yaitu :
a. proses pemahaman tentang arti penting kalkulator grafik.
b. proses pemahaman teori dan penggunaan kalkulator grafik dalam menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan.
c. proses memasukkan data soal ke kalkakulator grafik.
d. proses penafsiran tampilan layar kalkulator grafikdan proses menarik kesimpulan
Proses pertama yaitu proses pemahaman tentang arti penting kalkulator grafik. Esensi dari proses pemahaman tersebut yaitu menjelaskan secara mendasar dan mendetail tentang kalkulator grafik. Proses pemahaman tersebut akan mengkristal dalam diri siswa seiring dengan penggunaannya dalam menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan. Proses ini sangat penting karena siswa akan mengalami perubahan pemikiran tentang kalkulator yang hanya dipandang sebagai alat bantu hitung saja.Proses kedua yaitu proses pemahaman teori dan penggunaan kalkulator grafik dalam menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan. Proses tersebut berkaitan dengan proses sebelumnya yaitu proses pemahaman arti penting kalkulator grafik. Proses yang kedua ini peneliti fokuskan pada bagaimana siswa diberikan teori dan contoh tentang penggunaannya dalam menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan. Teori disini yaitu tentang perintah-perintah dalam kalkulator grafik yang dapat menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan. Dari data hasil penelitian menunjukkan bahwa teori tersebut adalah perintah, manipulasi simbolik, dan grafik. Perintah dalam kalkulator grafik yaitu solve, simult, ekspand. Penjelasan tentang hal itu akan dijelaskan dalam pembahasan yang kedua yaitu tentang metode menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan dengan kalkulator grafik.Proses ketiga, yaitu proses memasukkan data soal ke kalkakulator grafik. Proses memasukkan data soal ke kalkulator yaitu proses memindahkan bahasa matematika dalam soal ke bahasa kalkulator grafik. Siswa mengalami kesulitan dalam proses tersebut. Kesulitan tersebut dapat diselesaikan dengan memberikan solusi dari setiap soal dengan kalkulator grafik.Proses keempat yaitu proses penafsiran tampilan layar kalkulator grafik. Setiap siswa yang menekan tombol kalkulator grafik maka kalkulator otomatis tampilan layar akan mengalami perubahan. Dari setiap perubahan ini tentunya siswa membutuhkan penafsiran maksud dari tampilan layar tersebut. Dengan penafsiran tersebut siswa akan mengalami perubahan pemahaman tentang bahasa kalkulator grafik.Proses kelima, yaitu proses menarik kesimpulan. Proses ini sangat penting, karena merupakan proses penarikan kesimpulan ada dalam proses memasukkan data dan penafsiran. Akhir dari proses penarikan kesimpulan adalah final penyelesaian soal dengan kalkulator grafik. Siswa yang salah langkah dalam proses sebelumnya tentunya akan mengalami penarikan yang salah. Sebaliknya siswa yang mengalami proses pemasukan data dan proses penafsiran yang benar tentunya akan menghasilkan penarikan kesimpulan yang benar pula.Dari kelima proses diatas, dapat diartikan bahwa siswa akan mengalami proses tersebut secara berturut-turut. Artinya proses tersebut merupakan proses induktif. Siswa menggunakan kalkulator grafik untuk menyelesaikan soal-soal persamaan dan pertidaksamaan. Salah satunya yaitu menyelesaikan soal sistem persamaan linier dua variabel dengan metode grafik.
Ada beberapa hal pemanfaatan kalkulator grafik. Pemanfaatan tersebut antara lain yaitu :
a. Untuk mencocokkan gambar grafik
Terlihat bahwa kalkulator grafik memberikan tampilan yang sama. Jadi kalkulator grafik tersebut dapat digunakan untuk mencocokkan hasil gambar grafik dari buku dan dari LKS.
b. Untuk mencocokkan jawaban himpunan penyelesaiaan
Terlihat bahwa hasil x = 3 mempunyai nilai y1 dan y2 yang sama. y1 adalah nilai y dari garis x + y = 4 dan y2 adalah nilai y dari garis x – y = 2. Nilai y1 dan y2 dari tampilan diatas yaitu 1.
Dari tampilan diatas dapat diartikan bahwa kalkulator grafik dapat digunakan untuk mencocokkan himpunan penyelesaian.
c. Untuk memberikan pengalaman nyata tentang gambar grafik
Grafik himpunan penyelesaian dengan kalkulator grafik dapat diatur kemunculannya. Artinya proses pemunculannya dapat diperlambat (slow motion). Proses perlambatannya dapat dilihat dalam perubahan gambar di bawah ini :
1) Dengan pengaturan Format Graph Order Seq
Format Graph Order Seq dilakukan untuk memunculkan gambar grafik secara satu persatu. Grafik x + y = 4 dapat diperlambat pemunculannya berdasarkan proses tampilan sebagai berikut
a) Tampilan pertama
Terlihat tampilan layar monitor masih di antara x = -2 dan x = -1
b) Tampilan kedua
Terlihat bahwa garis x + y = 4 telah memotong sumbu y positif
c) Tampilan ketiga
Terlihat bahwa garis x + y = 4 telah memotong sumbu x positif
d) Tampilan keempat
Terlihat bahwa garis x + y = 4 telah tergambar dan garis x – y = 2 akan muncul pada layar monitor.
e) Tampilan kelima
Terlihat garis x - y = 2 telah memotong sumbu y negatif
f) Tampilan keenam
Terlihat pada layar garis x – y = 2 telah memotong sumbu x posotif dan memotong garsis x + y = 4 di titik (3,1)
g) Tampilan ketujuh
Terlihat pada layar tampilan seluruhnya dari sistem persamaan liniear tersebut.
2) Dengan pengaturan Format Graph Order Simult
Format Graph Order Simult dilakukan untuk memunculkan gambar dua atau lebih grafik secara bersama-sama. Grafik x + y = 4 dan grafik x – y = 2 dapat diperlambat pemunculannya berdasarkan proses tampilan sebagai berikut :
a) Tampilan pertama
Terlihat pada layar kedua grafik berada pada nilai x diantara x = 0 dan x = -2.
b) Tampilan kedua
Terlihat pada layar kedua garis bergerak pada nila x diantara x =1 dan x = 2.
c) Tampilan ketiga
Terlihat pada layar bahwa garis x – y = 2 telah memotong sumbu x di titik (2,0)
d) Tampilan keempat
Terlihat pada layar bahwa kedua garis telah berpotongan di titik (3,1)
e) Tampilan kelima
Terlihat pada layar bahwa garis x + y = 4 telah memotong sumbu x positif.
f) Tampilan keenam
Terlihat pada layar bahwa kedua grafik telah tergambar seluruhnya.
Dari pemaparan pemunculan grafik dengan dua format yang berbeda tersebut, siswa mengalami pengalaman yang nyata tentang gambar grafik. Hal ini dibuktikan dengan adanya perbedaan pada setiap tampilan pada layar dengan format yang berbeda. Dengan perbedaan pada setiap tampilan tentu akan mengakibatkan siswa mengalami penafsiran dan penarikan kesimpulan terhadap setiap tampilan tersebut. Contohnya yaitu ketika kedua grafik tersebut memotong sumbu x, memotong sumbu y dan saling memotong. Dalam proses tersebut siswa dapat mengamati secara visual pemunculan kedua grafik tersebut, sehingga hal ini memberikan pengalaman yang nyata kepada siswa tentang gambar grafik.
2. Metode menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan dengan kalkulator grafik
Metode menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan dengan kalkulator grafik dalam penelitian ini tertera dalam tebel Metode menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan dengan kalkulator grafik.
Dari perintah solve tersebut, siswa mendapatkan hasil jawaban yang sama yaitu x = -7. Dengan demikian perintah solve dapat untuk menyelesaikan persamaan linier satu variabel. Disamping itu perintah solve dapat untuk membuktikan jawaban yang sebelumnya dihitung tanpa kalkulator dan mempercepat penyelesaian soal.
2) Perintah simult
Perintah simult adalah salah satu perintah dari fitur matrik. Penyelesaiannya berdasarkan persamaan dalam matriks. Contoh soal yang dapat diselesaikannya adalah sistem persamaan linier tiga variabel.
Tentukan himpunan penyelesaian dari :
2 x + y + z = 9 ……….. (1)
x + 2 y – z = 6 …………(2)
3 x – y + z = 8 ………...(3)
Penyelesaian tanpa kalkulator adalah sebagai berikut :
Langkah pertama kita mulai dengan mengeliminasi variabel z dari (1) dan (2)
2 x + y + z = 9
x + 2 y – z = 6 -
3 x + 3 y = 15 x + y = 5 …….. (4)
juga untuk (1) dan (3)
2 x + y + z = 9
3 x – y + z = 8 -
- x + 2 y = 1 ………. (5)
kemudian kita eliminasi y dari persamaan (4) dan (5)
x + y = 5 x 2 2 x + 2 y = 10
- x + 2 y = 1 x 1 - x + 2 y = 1 -
3 x = 9
x = 3
Substitusikan x = 3 ke dalam persamaan (4)
x + y = 5
3 + y = 5
y = 5 – 3
y = 2
Substitusikan x = 3 dan y =2 ke dalam persamaan (1)
2 x + y + z = 9
2(3) + (2) + z = 9
6 + 2 + z = 9 z = 9 – 8 z = 1 HP {(3,2,1)}
Jika menggunakan kalkulator maka siswa menekan tombol :
CATALOG S 13 kali ENTER 2nd , 2 , 1
, 1 2nd 9 1 , 2 , (-) 1 2nd 9 3 , (-) 1 , 1 2nd , 2nd , 9 , 6 , 8 2nd ) ENTER
Karena layar untuk simult kurang sempurna siswa dapat menekan tombol : sebanyak dua kali sehingga tampilan layar menjadi:
Dari perintah simult tersebut, siswa mendapatkan himpunan penyelesaian yang sama yaitu {(3,2,1)}. Dengan demikian perintah simult dapat untuk menyelesaikan persamaan linier tiga variabel. Disamping itu perintah simult dapat untuk membuktikan jawaban yang sebelumnya dihitung tanpa kalkulator dan mempercepat penyelesaian soal.
3) Perintah expand
Perintah ekspand adalah salah satu perintah dari fitur aljabar. Penyelesaiannya berdasarkan proses penjabaran.. Contoh soal yang dapat diselesaikannya adalah soal dalam menentukan persamaan kuadrat yang diketahui akar-akarnya.
Tentukan akar persamaan kuadrat yang akar-akarnya -2 dan 5 !
Persamaan kuadrat yang akar-akarnya –2 dan 5 adalah
( x – x1 ) ( x - x2 ) = 0
dengan x1 = -2 dan x2 = 5 maka didapat :
penghitungan tanpa kalkulator :
( x – (-2)) ( x – (5)) = 0
( x + 2 ) ( x – 5) = 0
x (x – 5 ) + 2 ( x – 5 ) = 0
x2 – 5 x + 2 x – 10 = 0
x2 – 3 x – 10 = 0
penghitungan dengan kalkulator :
Siswa menekan tombol :
F2 3 ( X + 2 ) ( X - 5 ) , X ) ENTER
Dari perintah ekspand tersebut, siswa mendapatkan hasil jawaban yang sama yaitu x2 – 3 x – 10 = 0. Dengan demikian perintah ekspand dapat untuk menentukan persamaan kuadrat yang diketahui akar-akarnya. Disamping itu perintah ekspand dapat untuk membuktikan jawaban yang sebelumnya dihitung tanpa kalkulator dan mempercepat penyelesaian soal.
b. Metode manipulasi simbolik
Metode manipulasi simbolik menggunakan perintah solve dengan syarat tertentu. Syarat ini ditandai dengan menekan tombol .
Contohnya dalam menyelesaikan soal sistem persamaan linier dua variabel. Tentukan himpunan penyelesaian sistem persamaan linier :
x + y = 5
x + 3y = 7
Hal ini dapat ditampilkan dengan menggunakan proses aritmatika dan aljabar yang kemudian setiap proses dicocokkan dengan kalkulator.
Langkah-langkahnya sebagai berikut :
1) Pertama kita ubah terlebih dahulu persamaan tersebut :
x + y = 5 kita sebut persamaan 1 diubah menjadi y = 5- x
2) Kalau dengan kalkulator kita tekan tombol
F2 1 X + Y = 5 , Y ) ENTER
Sehingga tampilan pada layar kalkulator menjadi :
3) Kemudian persamaan y = 5 – x kita substitusikan kedalam persamaan kedua yaitu x + 3y =7. Pengerjaannya menjadi demikian :
x + 3 y = 7
x + 3 (5-x) = 7
x + 15 - 3x = 7
x - 3x = 7 - 15
- 2 x = -8
x = 4
4) Kita cocokkan dengan kalkulator
F2 1 X + 3Y = 7 , X )
ENTER ENTER Sehingga tampilan layar menjadi
Dengan demikian hal ini cocok dengan yang kita kerjakan dengan cara subtitusi.
5) Langkah terakhir yaitu kita tentukan nilai y dengan cara kita masukkan ke dalam 2 persamaan tadi dengan nilai x = 4.
Untuk persamaan x + y = 5. Pengerjaannya yaitu
x + y = 5
4 + y = 5
y = 5 – 4
y = 1
Jadi himpunan penyelesaiannnya adalah {(4,1)}
6) Hal ini juga dapat kita gunakan kalkulator dengan meneruskan menekan tombol :
F2 1 X + Y = 5 , Y )
ENTER ENTER sehingga tampilan layar kalkulator menjadi :
Dengan demikian hasil ini cocok dengan pengerjaan di buku
7) Demikian juga untuk persamaan kedua yaitu x + 3y = 7. Kita substitusikan nilai x = 4 ke dalam persamaan tersebut. Pengerjaannnya seperti ini :
x + 3 y = 7
4 + 3y = 7
3y = 7 - 4
3y = 3
y = 1
Sehingga himpunan penyeleaiannya adalah {(4,1)}
8) Hal ini dapat kita lakukan juga menggunakan kalkulator dengan menekan tombol :
F2 1 X + 3Y = 7 , Y )
ENTER ENTER Sehingga tampilan layar menjadi :
Dari kedelapan langkah tersebut metode manipulasi simbolik bermanfaat untuk menentukan nilai variabel persamaan dengan syarat sebuah persamaan yang diketahui. Hal ini terlihat dari hasil x = 4 dan y = 1
c. Metode grafik
Metode grafik telah dibahas pada bagian proses pelaksanaan pemanfaatan kalkulator grafik dalam proses pembelajaran matematika.
3. Respon siswa terhadap pemanfaatan kalkulator dalam proses pembelajaran matematika
Dari data respon siswa terhadap pemanfaatan kalkulator grafik dalam proses pembelajaran matematika, siswa mengalami proses penggunaan kalkulator grafik. Hal ini terlihat dari adanya respon siswa memanfaatkan kalkulator grafik, kesulitan-kesulitan yang dialami, cara mengatasi kesulitan dan akibat penggunaan kalkulator grafik.
Siswa merasakan dengan adanya kalkulator grafik dalam proses pembelajaran matematika membuat pelajaran matematika lebih menarik dan penyelesaian masalah matematika lebih mudah. Hal ini dikarenakan kalkulator grafik mempunyai peran yang efektif di kelas dalam menyelesaikan soal matematika.
Penggunaan kalkulator grafik yang efektif akan menyebabkan siswa menjadi aktif untuk menyelesaikan soal. Selain itu suasan kelas menjadi dinamis dan berkembang.
Kendala-kendala yang dialami siswa dalam mengggunakan kalkulator grafik adalah membahasakan kalimat matematika ke dalam bahasa kalkulator grafik dan mengungkapkan setiap tampilan layar kalkulator grafik ke dalam kalimat matematika.
Setiap soal yang apabila diselesaikan dengan kalkulator grafik harus disesuaikan dengan aturan mengerjakan soal menurut bahasa kalkulator grafik. Hal ini karena kalkulator grafik mempunyai aturan tertentu dalam menyelesaikan soal matematika. Apabila siswa tidak memahami aturan-aturan atau teori-teori penggunaan kalkulator grafik untuk menyelesaikan soal maka siswa akan mengalami kesulitan dalam memasukkan data soal ke kalkulator grafik.
Kesulitan yang lain adalah mengartikan, menganalisa dan memberikan kesimpulan dari jawaban soal dari kalkulator grafik . Kesulitan ini terkait dengan kemampuan siswa untuk menganalisa setiap perubahan tampilan layar kalkulator grafik. Setiap perubahan tampilan layat kalkulator grafik merupakan rangkaian penyelesaian soal matematika yang harus dilaksanakan oleh siswa.
Siswa yang mengalami kesulitan diatas mengatasi kendala tersebut dengan menanyakan kepada guru dan teman yang lebih tahu. Hal ini dikarenakan siswa mempunyai keinginan untuk mendapatkan jawaban dari setiap proses penggunaan kalkulator grafik dalam proses pembelajaran matematika.
Hal lain yang tidak dapat dipungkiri adalah akibat penggunaan kalkulator grafik tanpa diimbangi kemampuan untuk memahami prosedur operasi dan berfikir matematis menyebabkan tingkat ketergantungan yang tinggi, kehilangan kepercaan diri, dan malas berfikir. Jadi yang menjadi tujuan utama hanya sekedar mendapatkan jawaban tanpa memahami konsep matematikanya. Hal ini tentunya bertentangan dengan berbagai penelitian tentang kalkulator grafik yang menunjukkan kalkulator grafik yang bermanfaat dalam proses pembelajaran matematika.
Kesimpulan
Dalam penelitian studi kasus, hasil penelitian tentunya tidak dapat digenerelisir menjadi sebuah teori umum. Tetapi setidaknya, upaya mengkaji secara mendalam dari sebuah studi kasus dapat menjadi bahan pemikiran bagi pihak-pihak yang berkompeten.
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Kalkulator grafik dapat bermanfaat dalam proses pembelajaran matematika pokok bahasan persamaan dan pertidaksamaan.
2. Proses dalam menggunakan kalkulator grafik adalah proses pemahaman tentang arti penting kalkulator grafik, proses pemahaman teori dan penggunaan kalkulator grafik dalam menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan, proses memasukkan data soal ke kalkakulator grafik, dan proses penafsiran tampilan layar kalkulator grafikdan proses menarik kesimpulan.
3. Kalkulator grafik dapat digunakan untuk mencocokkan gambar grafik, mencocokkan jawaban himpunan penyelesaian dan memberikan pengalaman yang nyata tentang gambar grafik.
4. Metode dalam menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan dalam pokok bahasan persamaan dan pertidaksamaan adalah dengan perintah, manipulasi simbolik dan grafik.
5. Metode penyelesaian soal persamaan dan pertidaksamaan dengan kalkulator grafik bermanfaat untuk membuktikan jawaban yang sebelumnya dihitung tanpa kalkulator dan mempercepat penyelesaian soal metematika.
6. Kendala-kendala yang dialami siswa dalam menggunakan kalkulator grafik adalah membahasakan kalimat matematika ke dalam bahasa kalkulator dan mengungkapkan setiap tampilan layar kalkulator ke dalam kalimat matematika.
7. Dengan adanya kalkulator grafik dalam proses pembelajaran matematika pelajaran matematika menjadi lebih menarik dan penyelesaian soal matematika lebih mudah.
8. Akibat penggunaan kalkulator grafik tanpa diimbangi kemampuan untuk memahami prosedur operasi dan berfikir matematis menyebabkan tingkat ketergantungan yang tinggi, kehilangan kepercaan diri, dan malas berfikir.
Pembimbing: Marsigit
1. Proses pelaksanaan pemanfaatan kalkulator grafik dalam proses pembelajaran matematika
Dalam proses pembelajaran matematika peneliti telah melaksanakan dua tahapan. Dua tahapan tersebut adalah mengenalkan dan memanfaatkan kalkulator grafik dalam proses pembelajaran matematika. Karena kedua tahapan tersebut saling berkaitan, peneliti berusaha mengenalkan terlebih dahulu kalkulator grafik, kemudian memanfaatkannya dalam proses pembelajaran matematika.Tahapan pertama, adalah mengenalkan kalkulator grafik. Proses mengenalkan kalkulator grafik ditunjukkan dengan menunjukkan fakta kalkulator kepada siswa. Selain menunjukkan kenampakan fisik, siswa diberikan informasi tentang jenis-jenis kalkulator dan pemanfaatannya.
Tahapan kedua, adalah memanfaatkan dalam proses pembelajaran matematika. Proses pemanfatannya dilkukan dengan menjelaskan penggunaan, memberikan teori, dan memberikan contoh soal yang dapat diselesaikan dengan kalkulator grafik. Teori dan contoh yang diberikan berkaitan dengan soal-soal yang akan dikerjakan oleh siswa. Sehingga dengan memberikan teori dan contoh soal tersebut diharapkan siswa dapat mempunyai gambaran tentang bagaimana menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan dengan kalkulator grafik. Salah satu hasil pelaksanaan kalkulator grafik dalam proses pembelajaran matematika yaitu tentang diskusi siswa dalam menyelesaikan soal sistem persamaan linier dua variabel dengan metode grafik. Dari salah satu contoh ini siswa mengalami beberapa proses. Proses tersebut yaitu :
a. proses pemahaman tentang arti penting kalkulator grafik.
b. proses pemahaman teori dan penggunaan kalkulator grafik dalam menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan.
c. proses memasukkan data soal ke kalkakulator grafik.
d. proses penafsiran tampilan layar kalkulator grafikdan proses menarik kesimpulan
Proses pertama yaitu proses pemahaman tentang arti penting kalkulator grafik. Esensi dari proses pemahaman tersebut yaitu menjelaskan secara mendasar dan mendetail tentang kalkulator grafik. Proses pemahaman tersebut akan mengkristal dalam diri siswa seiring dengan penggunaannya dalam menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan. Proses ini sangat penting karena siswa akan mengalami perubahan pemikiran tentang kalkulator yang hanya dipandang sebagai alat bantu hitung saja.Proses kedua yaitu proses pemahaman teori dan penggunaan kalkulator grafik dalam menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan. Proses tersebut berkaitan dengan proses sebelumnya yaitu proses pemahaman arti penting kalkulator grafik. Proses yang kedua ini peneliti fokuskan pada bagaimana siswa diberikan teori dan contoh tentang penggunaannya dalam menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan. Teori disini yaitu tentang perintah-perintah dalam kalkulator grafik yang dapat menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan. Dari data hasil penelitian menunjukkan bahwa teori tersebut adalah perintah, manipulasi simbolik, dan grafik. Perintah dalam kalkulator grafik yaitu solve, simult, ekspand. Penjelasan tentang hal itu akan dijelaskan dalam pembahasan yang kedua yaitu tentang metode menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan dengan kalkulator grafik.Proses ketiga, yaitu proses memasukkan data soal ke kalkakulator grafik. Proses memasukkan data soal ke kalkulator yaitu proses memindahkan bahasa matematika dalam soal ke bahasa kalkulator grafik. Siswa mengalami kesulitan dalam proses tersebut. Kesulitan tersebut dapat diselesaikan dengan memberikan solusi dari setiap soal dengan kalkulator grafik.Proses keempat yaitu proses penafsiran tampilan layar kalkulator grafik. Setiap siswa yang menekan tombol kalkulator grafik maka kalkulator otomatis tampilan layar akan mengalami perubahan. Dari setiap perubahan ini tentunya siswa membutuhkan penafsiran maksud dari tampilan layar tersebut. Dengan penafsiran tersebut siswa akan mengalami perubahan pemahaman tentang bahasa kalkulator grafik.Proses kelima, yaitu proses menarik kesimpulan. Proses ini sangat penting, karena merupakan proses penarikan kesimpulan ada dalam proses memasukkan data dan penafsiran. Akhir dari proses penarikan kesimpulan adalah final penyelesaian soal dengan kalkulator grafik. Siswa yang salah langkah dalam proses sebelumnya tentunya akan mengalami penarikan yang salah. Sebaliknya siswa yang mengalami proses pemasukan data dan proses penafsiran yang benar tentunya akan menghasilkan penarikan kesimpulan yang benar pula.Dari kelima proses diatas, dapat diartikan bahwa siswa akan mengalami proses tersebut secara berturut-turut. Artinya proses tersebut merupakan proses induktif. Siswa menggunakan kalkulator grafik untuk menyelesaikan soal-soal persamaan dan pertidaksamaan. Salah satunya yaitu menyelesaikan soal sistem persamaan linier dua variabel dengan metode grafik.
Ada beberapa hal pemanfaatan kalkulator grafik. Pemanfaatan tersebut antara lain yaitu :
a. Untuk mencocokkan gambar grafik
Terlihat bahwa kalkulator grafik memberikan tampilan yang sama. Jadi kalkulator grafik tersebut dapat digunakan untuk mencocokkan hasil gambar grafik dari buku dan dari LKS.
b. Untuk mencocokkan jawaban himpunan penyelesaiaan
Terlihat bahwa hasil x = 3 mempunyai nilai y1 dan y2 yang sama. y1 adalah nilai y dari garis x + y = 4 dan y2 adalah nilai y dari garis x – y = 2. Nilai y1 dan y2 dari tampilan diatas yaitu 1.
Dari tampilan diatas dapat diartikan bahwa kalkulator grafik dapat digunakan untuk mencocokkan himpunan penyelesaian.
c. Untuk memberikan pengalaman nyata tentang gambar grafik
Grafik himpunan penyelesaian dengan kalkulator grafik dapat diatur kemunculannya. Artinya proses pemunculannya dapat diperlambat (slow motion). Proses perlambatannya dapat dilihat dalam perubahan gambar di bawah ini :
1) Dengan pengaturan Format Graph Order Seq
Format Graph Order Seq dilakukan untuk memunculkan gambar grafik secara satu persatu. Grafik x + y = 4 dapat diperlambat pemunculannya berdasarkan proses tampilan sebagai berikut
a) Tampilan pertama
Terlihat tampilan layar monitor masih di antara x = -2 dan x = -1
b) Tampilan kedua
Terlihat bahwa garis x + y = 4 telah memotong sumbu y positif
c) Tampilan ketiga
Terlihat bahwa garis x + y = 4 telah memotong sumbu x positif
d) Tampilan keempat
Terlihat bahwa garis x + y = 4 telah tergambar dan garis x – y = 2 akan muncul pada layar monitor.
e) Tampilan kelima
Terlihat garis x - y = 2 telah memotong sumbu y negatif
f) Tampilan keenam
Terlihat pada layar garis x – y = 2 telah memotong sumbu x posotif dan memotong garsis x + y = 4 di titik (3,1)
g) Tampilan ketujuh
Terlihat pada layar tampilan seluruhnya dari sistem persamaan liniear tersebut.
2) Dengan pengaturan Format Graph Order Simult
Format Graph Order Simult dilakukan untuk memunculkan gambar dua atau lebih grafik secara bersama-sama. Grafik x + y = 4 dan grafik x – y = 2 dapat diperlambat pemunculannya berdasarkan proses tampilan sebagai berikut :
a) Tampilan pertama
Terlihat pada layar kedua grafik berada pada nilai x diantara x = 0 dan x = -2.
b) Tampilan kedua
Terlihat pada layar kedua garis bergerak pada nila x diantara x =1 dan x = 2.
c) Tampilan ketiga
Terlihat pada layar bahwa garis x – y = 2 telah memotong sumbu x di titik (2,0)
d) Tampilan keempat
Terlihat pada layar bahwa kedua garis telah berpotongan di titik (3,1)
e) Tampilan kelima
Terlihat pada layar bahwa garis x + y = 4 telah memotong sumbu x positif.
f) Tampilan keenam
Terlihat pada layar bahwa kedua grafik telah tergambar seluruhnya.
Dari pemaparan pemunculan grafik dengan dua format yang berbeda tersebut, siswa mengalami pengalaman yang nyata tentang gambar grafik. Hal ini dibuktikan dengan adanya perbedaan pada setiap tampilan pada layar dengan format yang berbeda. Dengan perbedaan pada setiap tampilan tentu akan mengakibatkan siswa mengalami penafsiran dan penarikan kesimpulan terhadap setiap tampilan tersebut. Contohnya yaitu ketika kedua grafik tersebut memotong sumbu x, memotong sumbu y dan saling memotong. Dalam proses tersebut siswa dapat mengamati secara visual pemunculan kedua grafik tersebut, sehingga hal ini memberikan pengalaman yang nyata kepada siswa tentang gambar grafik.
2. Metode menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan dengan kalkulator grafik
Metode menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan dengan kalkulator grafik dalam penelitian ini tertera dalam tebel Metode menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan dengan kalkulator grafik.
Dari perintah solve tersebut, siswa mendapatkan hasil jawaban yang sama yaitu x = -7. Dengan demikian perintah solve dapat untuk menyelesaikan persamaan linier satu variabel. Disamping itu perintah solve dapat untuk membuktikan jawaban yang sebelumnya dihitung tanpa kalkulator dan mempercepat penyelesaian soal.
2) Perintah simult
Perintah simult adalah salah satu perintah dari fitur matrik. Penyelesaiannya berdasarkan persamaan dalam matriks. Contoh soal yang dapat diselesaikannya adalah sistem persamaan linier tiga variabel.
Tentukan himpunan penyelesaian dari :
2 x + y + z = 9 ……….. (1)
x + 2 y – z = 6 …………(2)
3 x – y + z = 8 ………...(3)
Penyelesaian tanpa kalkulator adalah sebagai berikut :
Langkah pertama kita mulai dengan mengeliminasi variabel z dari (1) dan (2)
2 x + y + z = 9
x + 2 y – z = 6 -
3 x + 3 y = 15 x + y = 5 …….. (4)
juga untuk (1) dan (3)
2 x + y + z = 9
3 x – y + z = 8 -
- x + 2 y = 1 ………. (5)
kemudian kita eliminasi y dari persamaan (4) dan (5)
x + y = 5 x 2 2 x + 2 y = 10
- x + 2 y = 1 x 1 - x + 2 y = 1 -
3 x = 9
x = 3
Substitusikan x = 3 ke dalam persamaan (4)
x + y = 5
3 + y = 5
y = 5 – 3
y = 2
Substitusikan x = 3 dan y =2 ke dalam persamaan (1)
2 x + y + z = 9
2(3) + (2) + z = 9
6 + 2 + z = 9 z = 9 – 8 z = 1 HP {(3,2,1)}
Jika menggunakan kalkulator maka siswa menekan tombol :
CATALOG S 13 kali ENTER 2nd , 2 , 1
, 1 2nd 9 1 , 2 , (-) 1 2nd 9 3 , (-) 1 , 1 2nd , 2nd , 9 , 6 , 8 2nd ) ENTER
Karena layar untuk simult kurang sempurna siswa dapat menekan tombol : sebanyak dua kali sehingga tampilan layar menjadi:
Dari perintah simult tersebut, siswa mendapatkan himpunan penyelesaian yang sama yaitu {(3,2,1)}. Dengan demikian perintah simult dapat untuk menyelesaikan persamaan linier tiga variabel. Disamping itu perintah simult dapat untuk membuktikan jawaban yang sebelumnya dihitung tanpa kalkulator dan mempercepat penyelesaian soal.
3) Perintah expand
Perintah ekspand adalah salah satu perintah dari fitur aljabar. Penyelesaiannya berdasarkan proses penjabaran.. Contoh soal yang dapat diselesaikannya adalah soal dalam menentukan persamaan kuadrat yang diketahui akar-akarnya.
Tentukan akar persamaan kuadrat yang akar-akarnya -2 dan 5 !
Persamaan kuadrat yang akar-akarnya –2 dan 5 adalah
( x – x1 ) ( x - x2 ) = 0
dengan x1 = -2 dan x2 = 5 maka didapat :
penghitungan tanpa kalkulator :
( x – (-2)) ( x – (5)) = 0
( x + 2 ) ( x – 5) = 0
x (x – 5 ) + 2 ( x – 5 ) = 0
x2 – 5 x + 2 x – 10 = 0
x2 – 3 x – 10 = 0
penghitungan dengan kalkulator :
Siswa menekan tombol :
F2 3 ( X + 2 ) ( X - 5 ) , X ) ENTER
Dari perintah ekspand tersebut, siswa mendapatkan hasil jawaban yang sama yaitu x2 – 3 x – 10 = 0. Dengan demikian perintah ekspand dapat untuk menentukan persamaan kuadrat yang diketahui akar-akarnya. Disamping itu perintah ekspand dapat untuk membuktikan jawaban yang sebelumnya dihitung tanpa kalkulator dan mempercepat penyelesaian soal.
b. Metode manipulasi simbolik
Metode manipulasi simbolik menggunakan perintah solve dengan syarat tertentu. Syarat ini ditandai dengan menekan tombol .
Contohnya dalam menyelesaikan soal sistem persamaan linier dua variabel. Tentukan himpunan penyelesaian sistem persamaan linier :
x + y = 5
x + 3y = 7
Hal ini dapat ditampilkan dengan menggunakan proses aritmatika dan aljabar yang kemudian setiap proses dicocokkan dengan kalkulator.
Langkah-langkahnya sebagai berikut :
1) Pertama kita ubah terlebih dahulu persamaan tersebut :
x + y = 5 kita sebut persamaan 1 diubah menjadi y = 5- x
2) Kalau dengan kalkulator kita tekan tombol
F2 1 X + Y = 5 , Y ) ENTER
Sehingga tampilan pada layar kalkulator menjadi :
3) Kemudian persamaan y = 5 – x kita substitusikan kedalam persamaan kedua yaitu x + 3y =7. Pengerjaannya menjadi demikian :
x + 3 y = 7
x + 3 (5-x) = 7
x + 15 - 3x = 7
x - 3x = 7 - 15
- 2 x = -8
x = 4
4) Kita cocokkan dengan kalkulator
F2 1 X + 3Y = 7 , X )
ENTER ENTER Sehingga tampilan layar menjadi
Dengan demikian hal ini cocok dengan yang kita kerjakan dengan cara subtitusi.
5) Langkah terakhir yaitu kita tentukan nilai y dengan cara kita masukkan ke dalam 2 persamaan tadi dengan nilai x = 4.
Untuk persamaan x + y = 5. Pengerjaannya yaitu
x + y = 5
4 + y = 5
y = 5 – 4
y = 1
Jadi himpunan penyelesaiannnya adalah {(4,1)}
6) Hal ini juga dapat kita gunakan kalkulator dengan meneruskan menekan tombol :
F2 1 X + Y = 5 , Y )
ENTER ENTER sehingga tampilan layar kalkulator menjadi :
Dengan demikian hasil ini cocok dengan pengerjaan di buku
7) Demikian juga untuk persamaan kedua yaitu x + 3y = 7. Kita substitusikan nilai x = 4 ke dalam persamaan tersebut. Pengerjaannnya seperti ini :
x + 3 y = 7
4 + 3y = 7
3y = 7 - 4
3y = 3
y = 1
Sehingga himpunan penyeleaiannya adalah {(4,1)}
8) Hal ini dapat kita lakukan juga menggunakan kalkulator dengan menekan tombol :
F2 1 X + 3Y = 7 , Y )
ENTER ENTER Sehingga tampilan layar menjadi :
Dari kedelapan langkah tersebut metode manipulasi simbolik bermanfaat untuk menentukan nilai variabel persamaan dengan syarat sebuah persamaan yang diketahui. Hal ini terlihat dari hasil x = 4 dan y = 1
c. Metode grafik
Metode grafik telah dibahas pada bagian proses pelaksanaan pemanfaatan kalkulator grafik dalam proses pembelajaran matematika.
3. Respon siswa terhadap pemanfaatan kalkulator dalam proses pembelajaran matematika
Dari data respon siswa terhadap pemanfaatan kalkulator grafik dalam proses pembelajaran matematika, siswa mengalami proses penggunaan kalkulator grafik. Hal ini terlihat dari adanya respon siswa memanfaatkan kalkulator grafik, kesulitan-kesulitan yang dialami, cara mengatasi kesulitan dan akibat penggunaan kalkulator grafik.
Siswa merasakan dengan adanya kalkulator grafik dalam proses pembelajaran matematika membuat pelajaran matematika lebih menarik dan penyelesaian masalah matematika lebih mudah. Hal ini dikarenakan kalkulator grafik mempunyai peran yang efektif di kelas dalam menyelesaikan soal matematika.
Penggunaan kalkulator grafik yang efektif akan menyebabkan siswa menjadi aktif untuk menyelesaikan soal. Selain itu suasan kelas menjadi dinamis dan berkembang.
Kendala-kendala yang dialami siswa dalam mengggunakan kalkulator grafik adalah membahasakan kalimat matematika ke dalam bahasa kalkulator grafik dan mengungkapkan setiap tampilan layar kalkulator grafik ke dalam kalimat matematika.
Setiap soal yang apabila diselesaikan dengan kalkulator grafik harus disesuaikan dengan aturan mengerjakan soal menurut bahasa kalkulator grafik. Hal ini karena kalkulator grafik mempunyai aturan tertentu dalam menyelesaikan soal matematika. Apabila siswa tidak memahami aturan-aturan atau teori-teori penggunaan kalkulator grafik untuk menyelesaikan soal maka siswa akan mengalami kesulitan dalam memasukkan data soal ke kalkulator grafik.
Kesulitan yang lain adalah mengartikan, menganalisa dan memberikan kesimpulan dari jawaban soal dari kalkulator grafik . Kesulitan ini terkait dengan kemampuan siswa untuk menganalisa setiap perubahan tampilan layar kalkulator grafik. Setiap perubahan tampilan layat kalkulator grafik merupakan rangkaian penyelesaian soal matematika yang harus dilaksanakan oleh siswa.
Siswa yang mengalami kesulitan diatas mengatasi kendala tersebut dengan menanyakan kepada guru dan teman yang lebih tahu. Hal ini dikarenakan siswa mempunyai keinginan untuk mendapatkan jawaban dari setiap proses penggunaan kalkulator grafik dalam proses pembelajaran matematika.
Hal lain yang tidak dapat dipungkiri adalah akibat penggunaan kalkulator grafik tanpa diimbangi kemampuan untuk memahami prosedur operasi dan berfikir matematis menyebabkan tingkat ketergantungan yang tinggi, kehilangan kepercaan diri, dan malas berfikir. Jadi yang menjadi tujuan utama hanya sekedar mendapatkan jawaban tanpa memahami konsep matematikanya. Hal ini tentunya bertentangan dengan berbagai penelitian tentang kalkulator grafik yang menunjukkan kalkulator grafik yang bermanfaat dalam proses pembelajaran matematika.
Kesimpulan
Dalam penelitian studi kasus, hasil penelitian tentunya tidak dapat digenerelisir menjadi sebuah teori umum. Tetapi setidaknya, upaya mengkaji secara mendalam dari sebuah studi kasus dapat menjadi bahan pemikiran bagi pihak-pihak yang berkompeten.
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Kalkulator grafik dapat bermanfaat dalam proses pembelajaran matematika pokok bahasan persamaan dan pertidaksamaan.
2. Proses dalam menggunakan kalkulator grafik adalah proses pemahaman tentang arti penting kalkulator grafik, proses pemahaman teori dan penggunaan kalkulator grafik dalam menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan, proses memasukkan data soal ke kalkakulator grafik, dan proses penafsiran tampilan layar kalkulator grafikdan proses menarik kesimpulan.
3. Kalkulator grafik dapat digunakan untuk mencocokkan gambar grafik, mencocokkan jawaban himpunan penyelesaian dan memberikan pengalaman yang nyata tentang gambar grafik.
4. Metode dalam menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan dalam pokok bahasan persamaan dan pertidaksamaan adalah dengan perintah, manipulasi simbolik dan grafik.
5. Metode penyelesaian soal persamaan dan pertidaksamaan dengan kalkulator grafik bermanfaat untuk membuktikan jawaban yang sebelumnya dihitung tanpa kalkulator dan mempercepat penyelesaian soal metematika.
6. Kendala-kendala yang dialami siswa dalam menggunakan kalkulator grafik adalah membahasakan kalimat matematika ke dalam bahasa kalkulator dan mengungkapkan setiap tampilan layar kalkulator ke dalam kalimat matematika.
7. Dengan adanya kalkulator grafik dalam proses pembelajaran matematika pelajaran matematika menjadi lebih menarik dan penyelesaian soal matematika lebih mudah.
8. Akibat penggunaan kalkulator grafik tanpa diimbangi kemampuan untuk memahami prosedur operasi dan berfikir matematis menyebabkan tingkat ketergantungan yang tinggi, kehilangan kepercaan diri, dan malas berfikir.
Monday, December 22, 2008
Developing Teaching Material for Bilingual Secondary Mathematics Teaching in Indonesia
An Occasion as one of the Activities for Preparing Lesson Plan (RPP) for Teaching Learning Linear Inequality With One Variable for SMP Students Grade 7
By: Marsigit
Basic Competence
• To solve linear inequality with one variable
• To construct the mathematical models for the problems related to linear equation and inequality with one variable.
• To solve the mathematical models for the problems related to linear equation and inequality with one variable.
Illustration:
Truck is a vehicle used to carry heavy and large amount of goods. There are many kind of trucks; it depends on the maximum weight of goods will be carried. In general there are three kinds of trucks such as follows:
• Light weight truck. It carries less than 6.300 kg of goods.
• Middle weight truck. It carries between 6.300 kg and 15.000 kg of goods.
• Heavy weight truck. It carries more than 15.000 kg of goods.
The words : less than, between, and more than are frequently used in linear inequality with one variable.
What will you learn in this Lesson?
• To understand the linear inequality with one variable.
• To solve linear inequality with one variable.
• To apply linear inequality with one variable.
A. Understanding the Linear Inequality with One Variable
1. The Concept of Inequality
• Equality is a state of being equal representing by the sentences connected by the sign “ = “ on both sides.
Example : 5 + 3 = 8
• Equation is a statement of equality between two expressions involving one or more unknown quantities, called variables. The expressions are connected by the sign “ = “
Example : x + 3 = 8
• Inequality is a statement indicating that two quantities are not equal, represented by the symbol <, >, or ≠, meaning less than, greater than, and not equal to.
Example : 5 + 4 ≠ 3
6 + 8 ≥ 7
• Inequality with variable is a statement involving variables indicating that two quantities are not equal, represented by the symbol <, >, or ≠, meaning less than, greater than, and not equal to.
Example : x + 6 ≠ 2
y – 4 > -5
Note :
A statement is a true or false mathematical sentence
Open sentence is a mathematical sentence in which its truth value has not been determined yet.
Example
Determine if the following sentences is an inequality or inequality with variable
1).12 – 3 ≤ 10 2). x + 6 > 3x - 2 3). 7 + 7 ≠ 30 : 2
Solution:
1. The sentence of 12 – 3 ≤ 10 is an inequality
2. The sentence of x + 6 > 3x – 2 is an inequality with variable
3. The sentence of 7 + 7 ≠ 30 : 2 is an inequality
Exercise
Determine if the following sentences is an inequality or inequality with variable
1. x + y ≥ 4
2. 92 ≠ 9 + 9
3. 10 ≤ 100 – 2 + y
4. 2x – 12 ≠ 3
5.6 + 2x < style="font-weight: bold;">2. The Concept of Linear Inequality with One Variable
An inequality that contains one variable of which the power is one is called a linear inequality with one variable.
Example
Write down the following sentences into a linear inequality with one variable.
1. The speed of a car cannot be more than 60 km/hr and cannot be less than 40 km/hr.
2. An air balloon can be ridden by four to six passengers.
Solution:
1. Let the speed of a car is v. You can express “the speed of a car cannot be more than 60 km/hr” as v ≤ 60. “The speed of a car cannot be less than 40 km/hr” can be expressed as v ≥ 40, or 40 ≤ v. Therefore, “The speed of a car cannot be more than 60 km/hr and cannot be less than 40 km/hr” can be written as v ≤ 60 and 40 ≤ v. Thus, it can be simplified as 40 ≤ v ≤ 60.
2. Let, the number of passengers is x, you can write that “An air balloon can be ridden by four to six passengers” as 4 ≤ x ≤ 6.
Exercise
Write down the following sentences into a linear inequality with one variable.
1. Twice of Tanti’s age is less than 32 years.
2. Father’s weight is between 55 to 60 kg.
3. Twice of a number is more than the number decreased by 21.
4. The candidate must be 25 to 30 years old.
5. Five times a number decreased by 11 is more than three times the number decreased by 6.
B. Solving Linear Inequality with One Variable
1. The Concept of Rational Numbers
Rational numbers are the extension of integers and fractions. Therefore rational numbers consist of integers and all fractions.
Rational number is a number that can be written in the form of , where a and b are integers and b ≠ 0.
Example
Determine whether the following numbers is rational number?
1. 3 2. 3.
Solution
1. Three is rational number, because it can be written as , that is .
2. Minus a half is rational number because it is equal to the definition of rational number.
3. is not rational number because it can’t be written as , where a and b are integers and b ≠ 0.
Note :
Try to calculate by your calculator, you’ll find 1,4142 as the result.
Exercise
Which one of the following numbers is rational number?
1. 0 2. 3. 4. 5.
If you want to sketch x > -3, where x is an integer, into line number, you’ll find the following graph.
But, if you want to sketch x > -3, where x is a rational number, you’ll find the following graph.
Why the graphs are so different? The second line tell us that the solutions of x > -3 are not only integers, as -2 or -1, but also fractions as or .
2. The Solutions of Linear Inequality with One Variable
Consider the inequality of t + 2 > 6. To find the solutions of the inequality, first, you pay attention to equation of t + 2 = 6. Then solve it.
The value of t = 4 is called zero value of the inequality of . Try to substitute t by the numbers which is more than 4 or less than 4., i.e. 5 and 3.
• For t = 5, the inequality of will be a true statement, that is .
• For t = 3, the inequality of will be a wrong statement, that is .
Therefore, the solution set of where t are rational numbers, is t > 4.
Example
Find the solution of , where y are natural numbers. Then, sketch the graph of the solution.
Solution
First, find the zero value of the inequality of by changing it into the form of .
both sides are added by 11
both sides are divided by 4
Check for y > 5 and y < y =" 6" y =" 4." y =" 6," y =" 4," y =" 4," y =" 3," y =" 2," y =" 1." style="font-weight: bold;">Exercise
Find the solutions of the following inequalities. Make its line-numbers.
1. , where x are rational numbers.
2. , where x are integers.
3. , where x are whole numbers.
4. , where x are natural numbers less than 15.
5. , where x are rational numbers.
3. The Equivalent of Linear Inequality with One Variable
There are some rules about inequality, i.e. :
1. If both sides are added or subtracted by certain number, the sign of the inequality does not change.
Example :
both sides are subtracted by 6
2. If both sides are multiplied or divided by a positive number (non zero), the sign of the inequality does not change.
Example :
both sides are divided by 2
3. If both sides are multiplied or divided by a negative number (non zero), the sign of the inequality changes into the opposite.
Example :
both sides are divided by (-3)
the sign changes into the opposite
Exercise
Find the solution of the following inequalities.
1. 4.
2. 5.
3.
C. The application of Linear Inequality with One Variable
There are a lot of daily problems that need a linear inequality with one variable as a solution. Generally, you have to change the problems to mathematic sentence first. After that, you can already solve the problems.
Example
Mr Ahmad has a rectangle form of vegetables farm. The wide of the farm is X m and its length is (2x + 5) meters. He will put the bamboos around the farm as a fence. Determine the value of x so that he can put a bamboos 100 meters long!
Solution
He will put the bamboos as a fence 100 meters long. It means the perimeter is not more than 100 m. For example, the farm’s perimeter is K, so K 100.
both sides are subtracted by 10
both sides are divide by 6
Hence, in order that 100 m bamboos are enough as a fence, the value of is not more than 15 m.
Exercise
1. A computer shop has one million rupiahs profits for each computer that has been sold. How many computers to sell to get between 20 million and 25 million profits?
2. Mother bought a pizza in a circle form , she divides the pizza into 12 equal parts. Ali gets parts, Tono parts, and Anton parts. Is the rest of pizza bigger than of the whole pizza.
3. An employee will get bonuses if the shop has at least 5 million profits each moth. This year, the shop has Rp 48.000.000 profits. Will the employee get the bonuses?
4. A rectangle has 4 meter long more than its wide. Determine the are of the rectangle if the perimeter is 32 m!
5. A bamboo of 15 meters long is cut into two parts. The first part is 3 meters longer than the other. How long for each part of the bamboo ?
--------///---------
Catatan: Artikel ini diperuntukan khusus bagi guru yang mempersiapkan diri untuk pbm matematika kelas bilingual atau kelas internasional dan bagi para mahasiswa yang sedang menempuh kuliah Bahasa Inggris II untuk Pendidikan Matematika
By: Marsigit
Basic Competence
• To solve linear inequality with one variable
• To construct the mathematical models for the problems related to linear equation and inequality with one variable.
• To solve the mathematical models for the problems related to linear equation and inequality with one variable.
Illustration:
Truck is a vehicle used to carry heavy and large amount of goods. There are many kind of trucks; it depends on the maximum weight of goods will be carried. In general there are three kinds of trucks such as follows:
• Light weight truck. It carries less than 6.300 kg of goods.
• Middle weight truck. It carries between 6.300 kg and 15.000 kg of goods.
• Heavy weight truck. It carries more than 15.000 kg of goods.
The words : less than, between, and more than are frequently used in linear inequality with one variable.
What will you learn in this Lesson?
• To understand the linear inequality with one variable.
• To solve linear inequality with one variable.
• To apply linear inequality with one variable.
A. Understanding the Linear Inequality with One Variable
1. The Concept of Inequality
• Equality is a state of being equal representing by the sentences connected by the sign “ = “ on both sides.
Example : 5 + 3 = 8
• Equation is a statement of equality between two expressions involving one or more unknown quantities, called variables. The expressions are connected by the sign “ = “
Example : x + 3 = 8
• Inequality is a statement indicating that two quantities are not equal, represented by the symbol <, >, or ≠, meaning less than, greater than, and not equal to.
Example : 5 + 4 ≠ 3
6 + 8 ≥ 7
• Inequality with variable is a statement involving variables indicating that two quantities are not equal, represented by the symbol <, >, or ≠, meaning less than, greater than, and not equal to.
Example : x + 6 ≠ 2
y – 4 > -5
Note :
A statement is a true or false mathematical sentence
Open sentence is a mathematical sentence in which its truth value has not been determined yet.
Example
Determine if the following sentences is an inequality or inequality with variable
1).12 – 3 ≤ 10 2). x + 6 > 3x - 2 3). 7 + 7 ≠ 30 : 2
Solution:
1. The sentence of 12 – 3 ≤ 10 is an inequality
2. The sentence of x + 6 > 3x – 2 is an inequality with variable
3. The sentence of 7 + 7 ≠ 30 : 2 is an inequality
Exercise
Determine if the following sentences is an inequality or inequality with variable
1. x + y ≥ 4
2. 92 ≠ 9 + 9
3. 10 ≤ 100 – 2 + y
4. 2x – 12 ≠ 3
5.6 + 2x < style="font-weight: bold;">2. The Concept of Linear Inequality with One Variable
An inequality that contains one variable of which the power is one is called a linear inequality with one variable.
Example
Write down the following sentences into a linear inequality with one variable.
1. The speed of a car cannot be more than 60 km/hr and cannot be less than 40 km/hr.
2. An air balloon can be ridden by four to six passengers.
Solution:
1. Let the speed of a car is v. You can express “the speed of a car cannot be more than 60 km/hr” as v ≤ 60. “The speed of a car cannot be less than 40 km/hr” can be expressed as v ≥ 40, or 40 ≤ v. Therefore, “The speed of a car cannot be more than 60 km/hr and cannot be less than 40 km/hr” can be written as v ≤ 60 and 40 ≤ v. Thus, it can be simplified as 40 ≤ v ≤ 60.
2. Let, the number of passengers is x, you can write that “An air balloon can be ridden by four to six passengers” as 4 ≤ x ≤ 6.
Exercise
Write down the following sentences into a linear inequality with one variable.
1. Twice of Tanti’s age is less than 32 years.
2. Father’s weight is between 55 to 60 kg.
3. Twice of a number is more than the number decreased by 21.
4. The candidate must be 25 to 30 years old.
5. Five times a number decreased by 11 is more than three times the number decreased by 6.
B. Solving Linear Inequality with One Variable
1. The Concept of Rational Numbers
Rational numbers are the extension of integers and fractions. Therefore rational numbers consist of integers and all fractions.
Rational number is a number that can be written in the form of , where a and b are integers and b ≠ 0.
Example
Determine whether the following numbers is rational number?
1. 3 2. 3.
Solution
1. Three is rational number, because it can be written as , that is .
2. Minus a half is rational number because it is equal to the definition of rational number.
3. is not rational number because it can’t be written as , where a and b are integers and b ≠ 0.
Note :
Try to calculate by your calculator, you’ll find 1,4142 as the result.
Exercise
Which one of the following numbers is rational number?
1. 0 2. 3. 4. 5.
If you want to sketch x > -3, where x is an integer, into line number, you’ll find the following graph.
But, if you want to sketch x > -3, where x is a rational number, you’ll find the following graph.
Why the graphs are so different? The second line tell us that the solutions of x > -3 are not only integers, as -2 or -1, but also fractions as or .
2. The Solutions of Linear Inequality with One Variable
Consider the inequality of t + 2 > 6. To find the solutions of the inequality, first, you pay attention to equation of t + 2 = 6. Then solve it.
The value of t = 4 is called zero value of the inequality of . Try to substitute t by the numbers which is more than 4 or less than 4., i.e. 5 and 3.
• For t = 5, the inequality of will be a true statement, that is .
• For t = 3, the inequality of will be a wrong statement, that is .
Therefore, the solution set of where t are rational numbers, is t > 4.
Example
Find the solution of , where y are natural numbers. Then, sketch the graph of the solution.
Solution
First, find the zero value of the inequality of by changing it into the form of .
both sides are added by 11
both sides are divided by 4
Check for y > 5 and y < y =" 6" y =" 4." y =" 6," y =" 4," y =" 4," y =" 3," y =" 2," y =" 1." style="font-weight: bold;">Exercise
Find the solutions of the following inequalities. Make its line-numbers.
1. , where x are rational numbers.
2. , where x are integers.
3. , where x are whole numbers.
4. , where x are natural numbers less than 15.
5. , where x are rational numbers.
3. The Equivalent of Linear Inequality with One Variable
There are some rules about inequality, i.e. :
1. If both sides are added or subtracted by certain number, the sign of the inequality does not change.
Example :
both sides are subtracted by 6
2. If both sides are multiplied or divided by a positive number (non zero), the sign of the inequality does not change.
Example :
both sides are divided by 2
3. If both sides are multiplied or divided by a negative number (non zero), the sign of the inequality changes into the opposite.
Example :
both sides are divided by (-3)
the sign changes into the opposite
Exercise
Find the solution of the following inequalities.
1. 4.
2. 5.
3.
C. The application of Linear Inequality with One Variable
There are a lot of daily problems that need a linear inequality with one variable as a solution. Generally, you have to change the problems to mathematic sentence first. After that, you can already solve the problems.
Example
Mr Ahmad has a rectangle form of vegetables farm. The wide of the farm is X m and its length is (2x + 5) meters. He will put the bamboos around the farm as a fence. Determine the value of x so that he can put a bamboos 100 meters long!
Solution
He will put the bamboos as a fence 100 meters long. It means the perimeter is not more than 100 m. For example, the farm’s perimeter is K, so K 100.
both sides are subtracted by 10
both sides are divide by 6
Hence, in order that 100 m bamboos are enough as a fence, the value of is not more than 15 m.
Exercise
1. A computer shop has one million rupiahs profits for each computer that has been sold. How many computers to sell to get between 20 million and 25 million profits?
2. Mother bought a pizza in a circle form , she divides the pizza into 12 equal parts. Ali gets parts, Tono parts, and Anton parts. Is the rest of pizza bigger than of the whole pizza.
3. An employee will get bonuses if the shop has at least 5 million profits each moth. This year, the shop has Rp 48.000.000 profits. Will the employee get the bonuses?
4. A rectangle has 4 meter long more than its wide. Determine the are of the rectangle if the perimeter is 32 m!
5. A bamboo of 15 meters long is cut into two parts. The first part is 3 meters longer than the other. How long for each part of the bamboo ?
--------///---------
Catatan: Artikel ini diperuntukan khusus bagi guru yang mempersiapkan diri untuk pbm matematika kelas bilingual atau kelas internasional dan bagi para mahasiswa yang sedang menempuh kuliah Bahasa Inggris II untuk Pendidikan Matematika
Pendekatan Matematika Realistik pada Pembelajaran Pecahan di SMP
Oleh: Marsigit
Sebagaimana telah kita ketahui, Matematika Realistik menekankan kepada konstruksi dari konteks benda-benda konkrit sebagai titik awal bagi siswa guna memperoleh konsep matematika. Benda-benda konkret dan obyek-obyek lingkungan sekitar dapat digunakan sebagai konteks pembelajaran matematika dalam membangun keterkaitan matematika melalui interaksi sosial. Benda-benda konkrit dimanipulasi oleh siswa dalam kerangka menunjang usaha siswa dalam proses matematisasi konkret ke abstrak. Siswa perlu diberi kesempatan agar dapat mengkontruksi dan menghasilkan matematika dengan cara dan bahasa mereka sendiri. Diperlukan kegiatan refleksi terhadap aktivitas sosial sehingga dapat terjadi pemaduan dan penguatan hubungan antar pokok bahasan dalam struktur pemahaman matematika.
Menurut Hans Freudental matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Dengan demikian ketika siswa melakukan kegiatan belajar matematika maka dalam dirinya terjadi proses matematisasi. Terdapat dua macam matematisasi, yaitu: (1) matematisasi horisontal dan (2) matematisasi vertikal. Matematisasi horisontal berproses dari dunia nyata ke dalam simbol-simbol matematika. Proses terjadi pada siswa ketika ia dihadapkan pada problematika yang kehidupan / situasi nyata. Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi di dalam sistem matematika itu sendiri; misalnya: penemuan strategi menyelesaiakn soal, mengkaitkan hubungan antar konsep-konsep matematis atau menerapkan rumus/temuan rumus.
Kita dapat menelaah Bilangan Pecah dalam pembelajaran matematika SMP melalui 2 (dua) sisi yaitu kedudukan formal Bilangan Pecah dalam konteks kurikulum dan silabus, dan kajian substantif bilangan pecah itu sendiri. Di dalam Pedoman Pengembangan KTSP disebutkan bahwa dalam pembelajaran matematika dapat dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Tujuan pembelajaran bilangan pecahan di SMP dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Memecahkan masalah kontekstual dan menemukan konsep bilangan pecah dari masalah kontekstual yang dipecahkan.
2. Memahami konsep bilangan pecah, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep bilangan pecah, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah
3. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi dan membuat generalisasi tentang bilangan pecah.
4. Mengomunikasikan konsep dan penggunaan bilangan pecah
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan bilangan pecah dalam kehidupan sehari-hari.
Standar Kompetensi yang berkaitan dengan pembelajaran pecahan adalah agar siswa memahami sifat-sifat operasi hitung bilangan dan penggunaannya dalam pemecahan masalah. Dengan Materi Pokok berupa Bilangan Bulat dan Bilangan Pecah maka diharapkan dapat dicapai menggunakan 2 (dua) Kompetensi Dasar yaitu: Melakukan operasi hitung bilangan pecahan, dan menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan pecahan dalam pemecahan masalah.
Tipe realistik mempunyai ciri pendekatan buttom-up dimana siswa mengembangkan model sendiri dan kemudian model tersebut dijadikan dasar untuk mengembangkan matematika formalnya. Ada dua macam model yang terjadi dalam proses tersebut yakni model dari situasi (model of situation) dan model untuk matematis (model for formal mathematics). Di dalam realistik model muncul dari strategi informal siswa sebagai respon terhadap masalah real untuk kemudian dirumuskan dalam matematika formal, proses seperti ini sesuai dengan sejarah perkembangan matematika itu sendiri.
Berikut merupakan contoh pengembangan Masalah Realistik berkaitan dengan Bilangan Pecahan: Suatu Bahan Diskusi Untuk Para Guru
1. Pecahan dan bentuknya
Diskusikan seberapa jauh anda dapat menggunakan ilustrasi atau gambar sebagai sarana agar siswa dapat menggali atau menemukan konsep dan bentuk pecahan?
2. Pecahan Sederhana
Buatlah masalah kontekstual yang dapat menunjang pembelajaran Pecahan Sederhana !
3. Membandingkan Pecahan
Diskusikan bagaimana mengembangkan alat peragayang cukup memadai agar siswa mampu membandingkan pecahan? Jelaskan bagaimana menggunakannya 5. Mengurutkan Pecahan-pecahan
4. Pecahan Desimal
Diskusikan adakah suatu proses yang cukup memadai agar siswa mampu memahami pecahan desimal?
Penulis dapat menyimpulkan bahwa di dalam pembelajaran Bilangan Pecahan melalui pendekatan Realistik kiranya dapat disimpulkan bahwa:
1. Siswa perlu diberi kesempatan untuk menggali dan merefleksikan konsep alternatif tentang ide-ide bilangan pecahan yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
2. Siswa perlu diberi kesempatan untuk menggali dan memperoleh pengetahauan baru tentang bilangan pecahan dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri.
3. Siswa perlu diberi kesempatan untuk memperoleh pengetahuan sebagai proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan.
4. Siswa perlu diberi kesempatan untuk memperoleh pengetahuan baru tentang bilangan pecahan yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman
5. Siswa perlu diberi kesempatan untuk memahami, mengerjakan dan mengimplementasikan bilangan pecahan.
Guru perlu merevitalisasi diri sehingga:
1. Mendudukan dirinya sebagai fasilitator
2. Mampu mengembangkan pembelajaran secara interaktif
3. Mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif.
4. Mampu mengembangkan kurikulum dan silabus dan secara aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil, baik fisik maupun sosial.
5. Mampu mengembangkan skenario pembelajaran:
a. Skema Interaksi: Klasikal, Diskusi Kelompok, Kegiatan Individu
b. Skema Pencapaian Kompetensi: Motivasi, Sikap, Pengetahuan, Skill, dan Pengalaman
BAHAN BACAAN
......... 2003. The PISA 2003 Assessment Framework- Mathematics, Reading, Science and Problem solving Knowledge and Skill.
Koeno Gravemeijer. 1994. Developing Realistics Mathematics Education. Utrecht: CD Press.
Marsigit, dkk, 2007, Matematika SMP Kl VII, Bogor: Yudistira
Sutarto Hadi. 2002. Effective Teacher Profesional Development for Implemention of Realistic Mathematics Education in Indonesia. Disertasi. Enschede: PrintPartners Ipskamp
Sebagaimana telah kita ketahui, Matematika Realistik menekankan kepada konstruksi dari konteks benda-benda konkrit sebagai titik awal bagi siswa guna memperoleh konsep matematika. Benda-benda konkret dan obyek-obyek lingkungan sekitar dapat digunakan sebagai konteks pembelajaran matematika dalam membangun keterkaitan matematika melalui interaksi sosial. Benda-benda konkrit dimanipulasi oleh siswa dalam kerangka menunjang usaha siswa dalam proses matematisasi konkret ke abstrak. Siswa perlu diberi kesempatan agar dapat mengkontruksi dan menghasilkan matematika dengan cara dan bahasa mereka sendiri. Diperlukan kegiatan refleksi terhadap aktivitas sosial sehingga dapat terjadi pemaduan dan penguatan hubungan antar pokok bahasan dalam struktur pemahaman matematika.
Menurut Hans Freudental matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Dengan demikian ketika siswa melakukan kegiatan belajar matematika maka dalam dirinya terjadi proses matematisasi. Terdapat dua macam matematisasi, yaitu: (1) matematisasi horisontal dan (2) matematisasi vertikal. Matematisasi horisontal berproses dari dunia nyata ke dalam simbol-simbol matematika. Proses terjadi pada siswa ketika ia dihadapkan pada problematika yang kehidupan / situasi nyata. Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi di dalam sistem matematika itu sendiri; misalnya: penemuan strategi menyelesaiakn soal, mengkaitkan hubungan antar konsep-konsep matematis atau menerapkan rumus/temuan rumus.
Kita dapat menelaah Bilangan Pecah dalam pembelajaran matematika SMP melalui 2 (dua) sisi yaitu kedudukan formal Bilangan Pecah dalam konteks kurikulum dan silabus, dan kajian substantif bilangan pecah itu sendiri. Di dalam Pedoman Pengembangan KTSP disebutkan bahwa dalam pembelajaran matematika dapat dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Tujuan pembelajaran bilangan pecahan di SMP dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Memecahkan masalah kontekstual dan menemukan konsep bilangan pecah dari masalah kontekstual yang dipecahkan.
2. Memahami konsep bilangan pecah, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep bilangan pecah, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah
3. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi dan membuat generalisasi tentang bilangan pecah.
4. Mengomunikasikan konsep dan penggunaan bilangan pecah
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan bilangan pecah dalam kehidupan sehari-hari.
Standar Kompetensi yang berkaitan dengan pembelajaran pecahan adalah agar siswa memahami sifat-sifat operasi hitung bilangan dan penggunaannya dalam pemecahan masalah. Dengan Materi Pokok berupa Bilangan Bulat dan Bilangan Pecah maka diharapkan dapat dicapai menggunakan 2 (dua) Kompetensi Dasar yaitu: Melakukan operasi hitung bilangan pecahan, dan menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan pecahan dalam pemecahan masalah.
Tipe realistik mempunyai ciri pendekatan buttom-up dimana siswa mengembangkan model sendiri dan kemudian model tersebut dijadikan dasar untuk mengembangkan matematika formalnya. Ada dua macam model yang terjadi dalam proses tersebut yakni model dari situasi (model of situation) dan model untuk matematis (model for formal mathematics). Di dalam realistik model muncul dari strategi informal siswa sebagai respon terhadap masalah real untuk kemudian dirumuskan dalam matematika formal, proses seperti ini sesuai dengan sejarah perkembangan matematika itu sendiri.
Berikut merupakan contoh pengembangan Masalah Realistik berkaitan dengan Bilangan Pecahan: Suatu Bahan Diskusi Untuk Para Guru
1. Pecahan dan bentuknya
Diskusikan seberapa jauh anda dapat menggunakan ilustrasi atau gambar sebagai sarana agar siswa dapat menggali atau menemukan konsep dan bentuk pecahan?
2. Pecahan Sederhana
Buatlah masalah kontekstual yang dapat menunjang pembelajaran Pecahan Sederhana !
3. Membandingkan Pecahan
Diskusikan bagaimana mengembangkan alat peragayang cukup memadai agar siswa mampu membandingkan pecahan? Jelaskan bagaimana menggunakannya 5. Mengurutkan Pecahan-pecahan
4. Pecahan Desimal
Diskusikan adakah suatu proses yang cukup memadai agar siswa mampu memahami pecahan desimal?
Penulis dapat menyimpulkan bahwa di dalam pembelajaran Bilangan Pecahan melalui pendekatan Realistik kiranya dapat disimpulkan bahwa:
1. Siswa perlu diberi kesempatan untuk menggali dan merefleksikan konsep alternatif tentang ide-ide bilangan pecahan yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
2. Siswa perlu diberi kesempatan untuk menggali dan memperoleh pengetahauan baru tentang bilangan pecahan dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri.
3. Siswa perlu diberi kesempatan untuk memperoleh pengetahuan sebagai proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan.
4. Siswa perlu diberi kesempatan untuk memperoleh pengetahuan baru tentang bilangan pecahan yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman
5. Siswa perlu diberi kesempatan untuk memahami, mengerjakan dan mengimplementasikan bilangan pecahan.
Guru perlu merevitalisasi diri sehingga:
1. Mendudukan dirinya sebagai fasilitator
2. Mampu mengembangkan pembelajaran secara interaktif
3. Mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif.
4. Mampu mengembangkan kurikulum dan silabus dan secara aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil, baik fisik maupun sosial.
5. Mampu mengembangkan skenario pembelajaran:
a. Skema Interaksi: Klasikal, Diskusi Kelompok, Kegiatan Individu
b. Skema Pencapaian Kompetensi: Motivasi, Sikap, Pengetahuan, Skill, dan Pengalaman
BAHAN BACAAN
......... 2003. The PISA 2003 Assessment Framework- Mathematics, Reading, Science and Problem solving Knowledge and Skill.
Koeno Gravemeijer. 1994. Developing Realistics Mathematics Education. Utrecht: CD Press.
Marsigit, dkk, 2007, Matematika SMP Kl VII, Bogor: Yudistira
Sutarto Hadi. 2002. Effective Teacher Profesional Development for Implemention of Realistic Mathematics Education in Indonesia. Disertasi. Enschede: PrintPartners Ipskamp
Sunday, December 21, 2008
Contoh Hasil Observasi Penelitian Kelas Pembelajaran Matematika
Hasil Pengamatan Kelas Tentang Metode Matematika Menurut Versi Katagiri, Terhadap Aktivitas Belajar Matematika SMP Kelas II Dalam Mempelajari Luas dan Volume Tabung, Bola dan Kerucut, Tahun 2006
Peneliti/Pengamat: Marsigit, Mathilda Susanti, Elly Arliani
a. Metode Matematika Jenis Problem Formation and Comprehension
1) Apakah siswa melakukan ABSTRAKSI
Abstraksi adalah mencari kesamaan-kesamaan untuk memperoleh bentuk atau sifat yang paling sederhana yang akan menjadi obyek Mathematical Thinking
Misal Abstraksi:
Dengan ABSTRAKSI maka tentang KUBUS, hanya dipelajari tentang UKURAN dan BENTUK nya saja (bukan warna, bahan, harga, dan sifat-sifat yang lain)
Jawab:
- Siswa melakukan abstraksi terhadap Model Tabung, Bola dan Kerucut
- Model Tabung---abstraksi---unsur-unsur tabung: alas, tinggi, selimut, volum tabung, luas selimut.
- Model Bola---abstraksi----unsur-unsur bola: jari-jari bola, diameter, selimut bola, volum bola, luas selimut
- Model Kerucut---abstraksi---unsur-unsur kerucut: alas kerucut, puncak, tinggi, selimut, volum kerucut
- KONSEP KERUCUT dianggap sebagai SEGITIGA
- KERUCUT adalah bangun yang berbentuk SEGITIGA
- KERUCUT adalah SEGITIGA YANG DI DALAMNYA TERDAPAT RUANG.
2) Dengan cara apa saja dan sebutkan ISTILAH-ISTILAH matematika yang digunakan untuk melakukan ABSTRAKSI
Jawab:
Cara melakukan Abstraksi:
- Pengamatan terhadap MODEL PERAGA
- Dengan membandingkan Contoh Benda dalam kehidupan se-hari-
- hari---dengan Model Bangun/Alat Peraga---dan Gambar
- Istila-istilah yang digunakan untuk melakukan abstraksi:
o Mendefinisikan bangun dengan Kalimat sehari-hari: Tabung adalah benda yang bermanfaat untuk menyimpan pensil; Bola adalah benda yang menyerupai jeruk; Kerucut adalah benda yang terdiri dari lingkaran-lingkaran yang semakin ke-atas semakin kecil; Kerucut adalah segitiga yang mempunyai ruang dan lengkungan.
o Menggunakan Istilah pada unsure-unsur:
- unsur-unsur tabung: alas, tinggi, selimut, volum tabung, luas selimut.
- unsur-unsur bola: jari-jari bola, diameter, selimut bola, volum bola, luas selimut
- unsur-unsur kerucut: alas kerucut, puncak, tinggi, selimut, volum kerucut
3) Keadaan yang bagaimana siswa melakukan ABSTRAKSI
Keadaan yang menyebabkan siswa melakukan ABSTRAKSI:
- Setelah guru memberi pertanyaan
- Setelah guru memberi kesempatan melakukan kegiatan kelompok
- Ketika mengerjakan LKS
4) Apakah siswa melakukan IDEALISASI
IDEALISASI adalah (1) menganggap sempurna sifat yang ada, atau (2) menetapkan tujuan atau keadaan untuk dicapai Misal : (1)lurus sempurna, datar sempurna, dst; (2) harus begini, harus begitu dsb
Jawab:
- Siswa melakukan Idealisasi Semu ?
- Mengarah pada bentuk ideal yang ditentukan guru
- Siswa tidak mempermasalahkan Alat peraga yang cacat.
- Siswa belum bisa mengkritisi tentang Model Kerucut jika terbuat dari Baja Tebal. Dapat menyimpulkan akibatnya (idealisasi) jika di ajak diskusi oleh Peneliti
- Idealisasi pada syarat berlakunya rumus Volume Kerucut= 1/3 Volume tabung, yaitu bahwa DIAMETER ALAS KERUCUT dan ALAS TABUNG harus persis sama; dan TINGGI KERUCUT dan TINGGI TABUNG harus persis sama (siswa mengecek/melakukan idealisasi dengan pengamatan)
5) Dengan cara apa saja dan sebutkan ISTILAH-ISTILAH matematika yang digunakan untuk melakukan IDEALISASI
- Dengan cara melakukan konfirmasi kepada guru apakah kegiatan sudah sesuai dengan yang diharapkan guru.
- Dengan bertanya kepada siswa yang lain.
- Dengan membetulkan pendapat siswa yang lain.
- Dengan pengamatan pada MODEL PERAGA
6) Keadaan yang bagaimana siswa melakukan IDEALISASI
- Jika mengalami keraguan/kesulitan
- Jika di tanya guru
7) Apakah siswa menggunakan GAMBAR/Model Matematika/ALAT PERAGA untuk menyatakan gagasan matematika? Jika “ya” sebut dan gambarlah serta sebut pula tujuannya.
a. Siswa menggunakan alat peraga untuk menyatakan UNSUR-UNSUR TABUNG, BOLA dan KERUCUT
b. Menggunakan Tinggi Tabung sebagai LEBAR persegi panjang pembentuk selimut.
c. Menggunakan KELILING LINGKARAN ALAS sebagai PANJANG persegi panjang pembentuk selimut.
8) Apakah siswa menggunakan ANGKA/BILANGAN/LAMBANG MATEMATIKA/Model Matematika/ALAT PERAGA untuk menyatakan gagasan matematika? Jika “ya” sebutkanlah dan sebut pula tujuannya.
Jawab:
a. Siswa menyatakan KONSEP KERUCUT dengan KONSEP dan LINGKARAN.
b. Siswa mendefinisikan KERUCUT sebagai BANGUN YANG TERDIRI DARI GARIS LURUS, LINGKARAN ATAU KURVA LENGKUNG.
c. Siswa mendefinisikan KERUCUT sebagai SEGITIGA YANG BERDIRI DI ATAS LINGKARAN.
d. Menyatakan LUAS dengan L, JARI-JARI dengan r, TINGGI dengan t
e. Menyatakan LUAS PERMUKAAN TABUNG =2 phi r (r+t)
f. Menyatakan PERMUKAAN BOLA dengan 4 phi r^2
g. Menyatakan VOLUME KERUCUT dengan 1/3 phi r^2 t
9) Apakah siswa melakukan PENYEDERHANAAN Konsep Matematika?
Jawab:
Siswa melakukan penyederhanaan konsep sbb:
a. KONSEP KERUCUT dianggap sebagai SEGITIGA
b. KERUCUT adalah bangun yang berbentuk SEGITIGA
c. KERUCUT adalah SEGITIGA YANG DI DALAMNYA TERDAPAT RUANG.
d. Penyederhanaan RUMUS/PERHITUNGAN :
4 P r^2= 4 x 22/7 x 10,5 x 10,5 = …
10) Dengan cara apa saja dan sebutkan ISTILAH/LAMBANG/Model Matematika/Alat Peraga yang digunakan untuk melakukan PENYEDERHANAAN
Siswa melakukan penyederhanaan konsep dengan cara:
a. Pengamatan terhadap MODEL PERAGA
b. Melakukan operasi hitung dari penjabaran rumus
11) Keadaan yang bagaimana siswa melakukan PENYEDERHANAAN
a. Jika diberi pertanyaan
b. Jika diberi kesempatan bekerja di dalam kelompok
12) Apakah siswa membuat CONTOH Konsep Matematika?
Jika “Ya” sebutkan contoh-contoh itu.
Jawab:
a. LUAS PERMUKAAN TABUNG =2 phi r (r+t)
b. PERMUKAAN BOLA dengan 4 phi r^2
c. VOLUME KERUCUT dengan 1/3 phi r^2 t
13) Keadaan yang bagaimana siswa mampu membuat CONTOH
Keterangan: Contoh Positif, Contoh Negatif, Secara Lisan, Secara Tertulis, Secara Langsung, Secara Tidak Langsung.
Jawab:
Ketika di beri pertanyaan
Ketika mengerjakan soal
b. Metode Matematika Jenis Establishing a Perspective
1. Apakah siswa melakukan ANALOGI terhadap Prosedur/Langkah Matematika?
Analogi adalah menerapkan suatu prosedur yang sama untuk keadaan atau tujuan yang berbeda.
JAwab:
ya
a. SELIMUT TABUNG di analoginak dengan LUAS PERSEGIPANJANG
b. LILITAN BOLA di analogikan dengan LUAS PERMUKAAN BOLA
c. MODEL GEOMETRI di analogikan dengan BENDA SEKITAR misal, Kerucut dengan Topi, dsb
2. Dengan cara apa saja dan sebutkan ISTILAH-ISTILAH matematika yang digunakan untuk melakukan ANALOGI
Jawab:
a. Menutup permukaan Bola
b. Menutup permukaan Tabung
c. Membuka lagi
d. Melilit
3. Keadaan yang bagaimana siswa melakukan ANALOGI
a. Ketika mengerjakan LKS
b. Ketika bekerja di kelompok
4. Apakah siswa membuat CATATAN/KETERANGAN terhadap Prosedur/Langkah Matematika?
Jawab:
Ya
5. Dengan cara apa saja dan sebutkan ISTILAH-ISTILAH matematika yang digunakan untuk melakukan CATATAN/KETERANGAN?
Jika “Ya” sebutkan CATATAN/KETERANGAN tersebut.
Jawab:
Membetulkan rumus
6. Keadaan yang bagaimana siswa Membuat CATATAN/KETERANGAN
Jawab:
Setelah memperoleh konfirmasi dari anggota kelompom yang lain atau dari Ibu Guru
c. Metode Matematika Jenis Executing Solutions
1. Apakah siswa melakukan kegiatan INDUKSI
Keterangan: Induksi dapat berupa: menemukan pola, menemukan rumus,
Jawab:
a. Bagi siswa yang belum tahu melakukan induksi untuk menemukan rumus.
b. Bagi siswa yang sudah tahu, melakukan induksi untuk reconfirm rumus yang telah mereka ketahui (induksi semu)
c. Induksi dilakukan untuk menemukan rumus
2. Dengan cara apa saja dan sebutkan ISTILAH-ISTILAH matematika yang digunakan untuk melakukan INDUKSI
Jawab:
a. Luas permuk Tabung, induksi dilakukan dengan :
- Pengamatan model tabung
- Manipulasi model Tabung
- Menggambar komponen tabung: lingkaran bawah, lingkaran atas, dan bagian tengah tabung
- Menentukan luas masing-masing komponen
- Menjumlahkan luas masing-masing komponen
Catatan: ada siswa melakukan kekeliruan dengan mengalikan luas.
b. Luas permuk. Bola, induksi dilakukan dengan:
- Pengamatan model Bola
- Melakukan lilitan menutup muka setengah Bola dengan tali
- Memikirkan bahwa panjang lilitan = luas permukaan setengah bola
- Lilitan pada bola digunakan untuk menutup luas daerah lingkaran
- Menemukan bahwa Luas permukaan setengah bola = dua kali luas lingkaran
- Menemukan bahwa luas permukaan bola = 4 kali luas lingkaran.
c. Volume kerucut, induksi dilakukan dengan :
- pengamatan model
- praktek mengisi penuh tabung dengan volume kerucut
- (Terjadi kesalahan prosedur di dalam praktek, karena tidak teliti membaca petunjuk yg dibuat guru)
3. Keadaan yang bagaimana siswa melakukan INDUKSI
Jawab:
a. Ketika mengerjakan LKS
b. Ketika bekerja di dalam kelompok
4. Apakah siswa melakukan kegiatan DEDUKSI
Keterangan: Deduksi dapat berupa: mengerjakan contoh,
Jawab:
a. Bagi siswa yang belum tahu rumusnya, tidak melakukan deduksi untuk menemukan rumus
b. Bagi siswa yang sudah tahu rumusnya, melakukan deduksi untuk reconfirm rumus yang telah mereka ketahui
c. Mereka semua melakukan deduksi bahwa rumus yang mereka temukan berlaku untuk semua (Tabung, Bola, Kerucut); dan ditunjukkan dengan mengerjakan soal yang diberikan oleh gurunya.
5. Dengan cara apa saja dan sebutkan ISTILAH-ISTILAH matematika yang digunakan untuk melakukan DEDUKSI
Jawab:
a. Mengerjakan soal
6. Keadaan yang bagaimana siswa melakukan DEDUKSI
Jawab:
a. Bekerja di dalam kelompok
b. Mengerjakan soal
c. Diberi pertanyaan lisan
7. Apakah siswa menggunakan GAMBAR/Model Matematika/Alat Peraga untuk menyelesaikan soal matematika? Jika “ya” sebut dan gambarlah serta sebut pula tujuannya.
Jawab:
a. Menggunakan Alat Peraga untuk menyelesaikan soal
b. Tetapi tanpa alat peraga juga bisa
8. Apakah siswa menggunakan ANGKA/BILANGAN/LAMBANG MATEMATIKA/Model Matematika/Alat Peraga untuk menyelesaikan soal matematika? Jika “ya” sebutkanlah dan sebut pula tujuannya.
Jawab:
a. Menggunakan Alat Peraga untuk menyelesaikan soal
b. Tetapi tanpa alat peraga juga bisa
d. Metode Matematika Jenis Logical Organization
1) Apakah siswa mempertanyakan KEBENARAN suatu konsep matematika?
Jika “Ya” sebutkan KEBENARAN dari konsep-konsep yang mana?
Jawab: Ya
a. Menanyakan benarkah selimut tabung = bentuk persegi panjang
b. Lilitan Bola kepanjangan
c. Volume pasir pada Tabung kelebihan/kekurangan (kemudian di jelaskan oleh guru beberapa factor penyebabnya a.l. siswa kurang teliti; ukuran tidak tepat, dan pasir tercampur kerikil, dsb)
d. Menanyakan benarkah Volume Tabung = 3 x Volume Kerucut
e. Menanyakan benarkah Luas muka bola = 4 kali luas lingkaran
2) Dengan cara apa saja dan sebutkan ISTILAH-ISTILAH matematika yang digunakan siswa untuk mencek KEBENARAN konsep matematika?
Jawab: Ya
Dengan cara mengajukan pertanyaan kepada Guru/ Siswa yang lain
3) Keadaan yang bagaimana siswa melakukan ceking terhadap KEBENARAN suatu konsep?
Jawab:
Setelah praktek
Pada diskusi kelompok
4) Apakah siswa menggunakan ISTILAH/LAMBANG/NOTASI/MODEL MATEMATIKA/ALAT PERAGA secara BENAR atau SALAH?
Jawab:
a. Terjadi kesalahan prosedur di dalam praktek, karena tidak teliti membaca petunjuk yg dibuat guru, misal:
- mengisi tabung lebih dulu
- melilitkan dengan tali yang menumpuk
b. Salah dalam menulis rumus
c. Salah dalam menemukan rumus.
5) Sebutkan ISTILAH/LAMBANG/NOTASI secara BENAR atau SALAH?
- Salah dalam menulis rumus Karen Kurang teliti
- Salah konsep, mestinya dijumlahkan luasnya, tetapi dikalikan
- Salah menulis rumus L permuk tabung = 2 phi r (r + t) benar = 2 phi r^2 t (salah)
6) Keadaan yang bagaimana siswa menggunakan ISTILAH/LAMBANG/NOTASI/MODEL MATEMATIKA/ALAT PERAGA secara BENAR atau SALAH?
Jawab:
Dalam diskusi kelompok dan presentasi
Peneliti/Pengamat: Marsigit, Mathilda Susanti, Elly Arliani
a. Metode Matematika Jenis Problem Formation and Comprehension
1) Apakah siswa melakukan ABSTRAKSI
Abstraksi adalah mencari kesamaan-kesamaan untuk memperoleh bentuk atau sifat yang paling sederhana yang akan menjadi obyek Mathematical Thinking
Misal Abstraksi:
Dengan ABSTRAKSI maka tentang KUBUS, hanya dipelajari tentang UKURAN dan BENTUK nya saja (bukan warna, bahan, harga, dan sifat-sifat yang lain)
Jawab:
- Siswa melakukan abstraksi terhadap Model Tabung, Bola dan Kerucut
- Model Tabung---abstraksi---unsur-unsur tabung: alas, tinggi, selimut, volum tabung, luas selimut.
- Model Bola---abstraksi----unsur-unsur bola: jari-jari bola, diameter, selimut bola, volum bola, luas selimut
- Model Kerucut---abstraksi---unsur-unsur kerucut: alas kerucut, puncak, tinggi, selimut, volum kerucut
- KONSEP KERUCUT dianggap sebagai SEGITIGA
- KERUCUT adalah bangun yang berbentuk SEGITIGA
- KERUCUT adalah SEGITIGA YANG DI DALAMNYA TERDAPAT RUANG.
2) Dengan cara apa saja dan sebutkan ISTILAH-ISTILAH matematika yang digunakan untuk melakukan ABSTRAKSI
Jawab:
Cara melakukan Abstraksi:
- Pengamatan terhadap MODEL PERAGA
- Dengan membandingkan Contoh Benda dalam kehidupan se-hari-
- hari---dengan Model Bangun/Alat Peraga---dan Gambar
- Istila-istilah yang digunakan untuk melakukan abstraksi:
o Mendefinisikan bangun dengan Kalimat sehari-hari: Tabung adalah benda yang bermanfaat untuk menyimpan pensil; Bola adalah benda yang menyerupai jeruk; Kerucut adalah benda yang terdiri dari lingkaran-lingkaran yang semakin ke-atas semakin kecil; Kerucut adalah segitiga yang mempunyai ruang dan lengkungan.
o Menggunakan Istilah pada unsure-unsur:
- unsur-unsur tabung: alas, tinggi, selimut, volum tabung, luas selimut.
- unsur-unsur bola: jari-jari bola, diameter, selimut bola, volum bola, luas selimut
- unsur-unsur kerucut: alas kerucut, puncak, tinggi, selimut, volum kerucut
3) Keadaan yang bagaimana siswa melakukan ABSTRAKSI
Keadaan yang menyebabkan siswa melakukan ABSTRAKSI:
- Setelah guru memberi pertanyaan
- Setelah guru memberi kesempatan melakukan kegiatan kelompok
- Ketika mengerjakan LKS
4) Apakah siswa melakukan IDEALISASI
IDEALISASI adalah (1) menganggap sempurna sifat yang ada, atau (2) menetapkan tujuan atau keadaan untuk dicapai Misal : (1)lurus sempurna, datar sempurna, dst; (2) harus begini, harus begitu dsb
Jawab:
- Siswa melakukan Idealisasi Semu ?
- Mengarah pada bentuk ideal yang ditentukan guru
- Siswa tidak mempermasalahkan Alat peraga yang cacat.
- Siswa belum bisa mengkritisi tentang Model Kerucut jika terbuat dari Baja Tebal. Dapat menyimpulkan akibatnya (idealisasi) jika di ajak diskusi oleh Peneliti
- Idealisasi pada syarat berlakunya rumus Volume Kerucut= 1/3 Volume tabung, yaitu bahwa DIAMETER ALAS KERUCUT dan ALAS TABUNG harus persis sama; dan TINGGI KERUCUT dan TINGGI TABUNG harus persis sama (siswa mengecek/melakukan idealisasi dengan pengamatan)
5) Dengan cara apa saja dan sebutkan ISTILAH-ISTILAH matematika yang digunakan untuk melakukan IDEALISASI
- Dengan cara melakukan konfirmasi kepada guru apakah kegiatan sudah sesuai dengan yang diharapkan guru.
- Dengan bertanya kepada siswa yang lain.
- Dengan membetulkan pendapat siswa yang lain.
- Dengan pengamatan pada MODEL PERAGA
6) Keadaan yang bagaimana siswa melakukan IDEALISASI
- Jika mengalami keraguan/kesulitan
- Jika di tanya guru
7) Apakah siswa menggunakan GAMBAR/Model Matematika/ALAT PERAGA untuk menyatakan gagasan matematika? Jika “ya” sebut dan gambarlah serta sebut pula tujuannya.
a. Siswa menggunakan alat peraga untuk menyatakan UNSUR-UNSUR TABUNG, BOLA dan KERUCUT
b. Menggunakan Tinggi Tabung sebagai LEBAR persegi panjang pembentuk selimut.
c. Menggunakan KELILING LINGKARAN ALAS sebagai PANJANG persegi panjang pembentuk selimut.
8) Apakah siswa menggunakan ANGKA/BILANGAN/LAMBANG MATEMATIKA/Model Matematika/ALAT PERAGA untuk menyatakan gagasan matematika? Jika “ya” sebutkanlah dan sebut pula tujuannya.
Jawab:
a. Siswa menyatakan KONSEP KERUCUT dengan KONSEP dan LINGKARAN.
b. Siswa mendefinisikan KERUCUT sebagai BANGUN YANG TERDIRI DARI GARIS LURUS, LINGKARAN ATAU KURVA LENGKUNG.
c. Siswa mendefinisikan KERUCUT sebagai SEGITIGA YANG BERDIRI DI ATAS LINGKARAN.
d. Menyatakan LUAS dengan L, JARI-JARI dengan r, TINGGI dengan t
e. Menyatakan LUAS PERMUKAAN TABUNG =2 phi r (r+t)
f. Menyatakan PERMUKAAN BOLA dengan 4 phi r^2
g. Menyatakan VOLUME KERUCUT dengan 1/3 phi r^2 t
9) Apakah siswa melakukan PENYEDERHANAAN Konsep Matematika?
Jawab:
Siswa melakukan penyederhanaan konsep sbb:
a. KONSEP KERUCUT dianggap sebagai SEGITIGA
b. KERUCUT adalah bangun yang berbentuk SEGITIGA
c. KERUCUT adalah SEGITIGA YANG DI DALAMNYA TERDAPAT RUANG.
d. Penyederhanaan RUMUS/PERHITUNGAN :
4 P r^2= 4 x 22/7 x 10,5 x 10,5 = …
10) Dengan cara apa saja dan sebutkan ISTILAH/LAMBANG/Model Matematika/Alat Peraga yang digunakan untuk melakukan PENYEDERHANAAN
Siswa melakukan penyederhanaan konsep dengan cara:
a. Pengamatan terhadap MODEL PERAGA
b. Melakukan operasi hitung dari penjabaran rumus
11) Keadaan yang bagaimana siswa melakukan PENYEDERHANAAN
a. Jika diberi pertanyaan
b. Jika diberi kesempatan bekerja di dalam kelompok
12) Apakah siswa membuat CONTOH Konsep Matematika?
Jika “Ya” sebutkan contoh-contoh itu.
Jawab:
a. LUAS PERMUKAAN TABUNG =2 phi r (r+t)
b. PERMUKAAN BOLA dengan 4 phi r^2
c. VOLUME KERUCUT dengan 1/3 phi r^2 t
13) Keadaan yang bagaimana siswa mampu membuat CONTOH
Keterangan: Contoh Positif, Contoh Negatif, Secara Lisan, Secara Tertulis, Secara Langsung, Secara Tidak Langsung.
Jawab:
Ketika di beri pertanyaan
Ketika mengerjakan soal
b. Metode Matematika Jenis Establishing a Perspective
1. Apakah siswa melakukan ANALOGI terhadap Prosedur/Langkah Matematika?
Analogi adalah menerapkan suatu prosedur yang sama untuk keadaan atau tujuan yang berbeda.
JAwab:
ya
a. SELIMUT TABUNG di analoginak dengan LUAS PERSEGIPANJANG
b. LILITAN BOLA di analogikan dengan LUAS PERMUKAAN BOLA
c. MODEL GEOMETRI di analogikan dengan BENDA SEKITAR misal, Kerucut dengan Topi, dsb
2. Dengan cara apa saja dan sebutkan ISTILAH-ISTILAH matematika yang digunakan untuk melakukan ANALOGI
Jawab:
a. Menutup permukaan Bola
b. Menutup permukaan Tabung
c. Membuka lagi
d. Melilit
3. Keadaan yang bagaimana siswa melakukan ANALOGI
a. Ketika mengerjakan LKS
b. Ketika bekerja di kelompok
4. Apakah siswa membuat CATATAN/KETERANGAN terhadap Prosedur/Langkah Matematika?
Jawab:
Ya
5. Dengan cara apa saja dan sebutkan ISTILAH-ISTILAH matematika yang digunakan untuk melakukan CATATAN/KETERANGAN?
Jika “Ya” sebutkan CATATAN/KETERANGAN tersebut.
Jawab:
Membetulkan rumus
6. Keadaan yang bagaimana siswa Membuat CATATAN/KETERANGAN
Jawab:
Setelah memperoleh konfirmasi dari anggota kelompom yang lain atau dari Ibu Guru
c. Metode Matematika Jenis Executing Solutions
1. Apakah siswa melakukan kegiatan INDUKSI
Keterangan: Induksi dapat berupa: menemukan pola, menemukan rumus,
Jawab:
a. Bagi siswa yang belum tahu melakukan induksi untuk menemukan rumus.
b. Bagi siswa yang sudah tahu, melakukan induksi untuk reconfirm rumus yang telah mereka ketahui (induksi semu)
c. Induksi dilakukan untuk menemukan rumus
2. Dengan cara apa saja dan sebutkan ISTILAH-ISTILAH matematika yang digunakan untuk melakukan INDUKSI
Jawab:
a. Luas permuk Tabung, induksi dilakukan dengan :
- Pengamatan model tabung
- Manipulasi model Tabung
- Menggambar komponen tabung: lingkaran bawah, lingkaran atas, dan bagian tengah tabung
- Menentukan luas masing-masing komponen
- Menjumlahkan luas masing-masing komponen
Catatan: ada siswa melakukan kekeliruan dengan mengalikan luas.
b. Luas permuk. Bola, induksi dilakukan dengan:
- Pengamatan model Bola
- Melakukan lilitan menutup muka setengah Bola dengan tali
- Memikirkan bahwa panjang lilitan = luas permukaan setengah bola
- Lilitan pada bola digunakan untuk menutup luas daerah lingkaran
- Menemukan bahwa Luas permukaan setengah bola = dua kali luas lingkaran
- Menemukan bahwa luas permukaan bola = 4 kali luas lingkaran.
c. Volume kerucut, induksi dilakukan dengan :
- pengamatan model
- praktek mengisi penuh tabung dengan volume kerucut
- (Terjadi kesalahan prosedur di dalam praktek, karena tidak teliti membaca petunjuk yg dibuat guru)
3. Keadaan yang bagaimana siswa melakukan INDUKSI
Jawab:
a. Ketika mengerjakan LKS
b. Ketika bekerja di dalam kelompok
4. Apakah siswa melakukan kegiatan DEDUKSI
Keterangan: Deduksi dapat berupa: mengerjakan contoh,
Jawab:
a. Bagi siswa yang belum tahu rumusnya, tidak melakukan deduksi untuk menemukan rumus
b. Bagi siswa yang sudah tahu rumusnya, melakukan deduksi untuk reconfirm rumus yang telah mereka ketahui
c. Mereka semua melakukan deduksi bahwa rumus yang mereka temukan berlaku untuk semua (Tabung, Bola, Kerucut); dan ditunjukkan dengan mengerjakan soal yang diberikan oleh gurunya.
5. Dengan cara apa saja dan sebutkan ISTILAH-ISTILAH matematika yang digunakan untuk melakukan DEDUKSI
Jawab:
a. Mengerjakan soal
6. Keadaan yang bagaimana siswa melakukan DEDUKSI
Jawab:
a. Bekerja di dalam kelompok
b. Mengerjakan soal
c. Diberi pertanyaan lisan
7. Apakah siswa menggunakan GAMBAR/Model Matematika/Alat Peraga untuk menyelesaikan soal matematika? Jika “ya” sebut dan gambarlah serta sebut pula tujuannya.
Jawab:
a. Menggunakan Alat Peraga untuk menyelesaikan soal
b. Tetapi tanpa alat peraga juga bisa
8. Apakah siswa menggunakan ANGKA/BILANGAN/LAMBANG MATEMATIKA/Model Matematika/Alat Peraga untuk menyelesaikan soal matematika? Jika “ya” sebutkanlah dan sebut pula tujuannya.
Jawab:
a. Menggunakan Alat Peraga untuk menyelesaikan soal
b. Tetapi tanpa alat peraga juga bisa
d. Metode Matematika Jenis Logical Organization
1) Apakah siswa mempertanyakan KEBENARAN suatu konsep matematika?
Jika “Ya” sebutkan KEBENARAN dari konsep-konsep yang mana?
Jawab: Ya
a. Menanyakan benarkah selimut tabung = bentuk persegi panjang
b. Lilitan Bola kepanjangan
c. Volume pasir pada Tabung kelebihan/kekurangan (kemudian di jelaskan oleh guru beberapa factor penyebabnya a.l. siswa kurang teliti; ukuran tidak tepat, dan pasir tercampur kerikil, dsb)
d. Menanyakan benarkah Volume Tabung = 3 x Volume Kerucut
e. Menanyakan benarkah Luas muka bola = 4 kali luas lingkaran
2) Dengan cara apa saja dan sebutkan ISTILAH-ISTILAH matematika yang digunakan siswa untuk mencek KEBENARAN konsep matematika?
Jawab: Ya
Dengan cara mengajukan pertanyaan kepada Guru/ Siswa yang lain
3) Keadaan yang bagaimana siswa melakukan ceking terhadap KEBENARAN suatu konsep?
Jawab:
Setelah praktek
Pada diskusi kelompok
4) Apakah siswa menggunakan ISTILAH/LAMBANG/NOTASI/MODEL MATEMATIKA/ALAT PERAGA secara BENAR atau SALAH?
Jawab:
a. Terjadi kesalahan prosedur di dalam praktek, karena tidak teliti membaca petunjuk yg dibuat guru, misal:
- mengisi tabung lebih dulu
- melilitkan dengan tali yang menumpuk
b. Salah dalam menulis rumus
c. Salah dalam menemukan rumus.
5) Sebutkan ISTILAH/LAMBANG/NOTASI secara BENAR atau SALAH?
- Salah dalam menulis rumus Karen Kurang teliti
- Salah konsep, mestinya dijumlahkan luasnya, tetapi dikalikan
- Salah menulis rumus L permuk tabung = 2 phi r (r + t) benar = 2 phi r^2 t (salah)
6) Keadaan yang bagaimana siswa menggunakan ISTILAH/LAMBANG/NOTASI/MODEL MATEMATIKA/ALAT PERAGA secara BENAR atau SALAH?
Jawab:
Dalam diskusi kelompok dan presentasi
Pengembangan Model Pembelajaran Matematika
Oleh: Marsigit
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan (1995, 1997, 1999, 2002, 2004) menunjukkan bahwa sebagaian besar guru matematika masih mengimplementasikan pembelajaran matematika tradisional, yaitu pembelajaran matematika dengan mengandalkan metode tunggal ekspositori dengan siklus: menjelaskan, memberi contoh, mengajukan pertanyaan dan memberi tugas secara klasikal. Dengan metode demikian maka guru matematika mengalami kesulitan dalam : 1) melayani berbagai kebutuhan/tuntutan siswa dalam belajar matematika, 2) mendorong siswa berprestasi rendah untuk meningkatkan prestasi belajarnya, 3) mendorong siswa belajar secara aktif, 4) menggunakan dan mengembangkan alat peraga matematika dan 5) mendorong siswa belajar melalui kerjasama.
Melalui penelitian tindakan, peneliti memperoleh kesempatan untuk mengembangkan metode pembelajaran agar dapat mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut di atas. Pengembangan metode pembelajaran mengacu kepada rekomendasi Cockroft Report (1982, para 243, hal 198) yang menyatakan bahwa pada setiap level pembelajaran matematika hendaknya merupakan wahana bagi guru untuk dapat mewujudkan pemilihan satu atau beberapa metode secara dinamis dan fleksibel : (1)Metode Eskposisi, (2)Metode Diskusi, (3)Metode Latihan dan Pemberian Tugas, (4) Metode Penemuan, (5) Metode Problem Solving, (6) Penggunaan Alat Peraga
Melalui siklus kegiatan diagnosis, terapeutik dan perbaikan, Penelitian Tindakan ini bertujuan untuk mengembangkan metode pembelajaran matematika yang dapat memenuhi kebutuhan/tuntutan berbagai macam tuntutan akademik siswa, meningkatkan prestasi belajar, mendorong siswa belajar secara aktif, mengembangkan alat peraga dan mendorong kerjasama. Penelitian tindakan ini membatasi dirinya dalam lingkup gaya mengajar guru yang direfleksikan oleh model pembelajaran yang dikembangkan pada suatu kelas tertentu pada kurun waktu yang telah ditentukan pula. Dengan demikian konteks pembelajaran yang bersifat tetap adalah ruang kelas, siswa dan guru itu sendiri; sedangkan konteks pembelajaran yang bersifat berubah adalah model pembelajaran, gaya mengajar dan aspek pembelajaran yang lainnya termasuk materi, sumber ajar, waktu pelaksanaan pembelajaran.
Penulis menyimpulkan bahwa pengembangan model pembelajaran matematika melalui penelitian tindakan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan pelayanan guru terhadap para siswanya memberikan dampak positif, namun dalam pelaksanaannya mengalami hambatan baik teknis, akademis, maupun sosio-kultural.
1. Usaha guru dalam memenuhi berbagai macam tuntutan akademik siswa, mendorong siswa berprestasi rendah untuk meningkatkan prestasinya, mendorong siswa belajar secara aktif, dan mendorong siswa belajar melalui kerjasama, dapat dilakukan dengan :
a. Mengembangkan Lembar Kerja Siswa (LKS)
Manfaat pengembangan LKS :
- memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja secara mandiri
- memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama
- memberi kesempatan kepada guru untuk mengembangkan berbagai macam kegiatan
- menyediakan dokumen yang bermanfaat bagi siswa dan memberikan alternatif sumber materi pembelajaran
- memberi kesempatan kepada siswa melakukan kegiatan penemuan
Hambatan atau kendala pengembangan LKS :
- menambah beban pekerjaan guru
- memerlukan tambahan biaya
- memerlukan pengetahuan dan ketrampilan guru
- memerlukan kekontinuan pengembangannya
- memerlukan teknik pengelolaan/managemen LKS
- memerlukan dukungan sekolah agar dapat dilaksanakan secara komprehensif
b. Pembentukan kelompok belajar
Manfaat pembentukan kelompok belajar :
- mendorong siswa melakukan diskusi
- memberi konteks dan suasana belajar yang bervariasi
- memberi kesempatan kepada guru untuk mengembangkan berbagai macam kegiatan
- memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama
c. Pengembangan metode diskusi kelas/kelompok
Manfaat pengembangan metode diskusi :
- memberi kesempatan kepada siswa untuk berinisiatif
- memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir dan menemukan metode yang berbeda
- melatih siswa menerima pendapat orang lain
- memperdalam pemahaman suatu konsep
- menghubungkan konsep satu dengan yang lainnya
- memberi masukan kepada guru
Hambatan atau kendala dalam pengembangan metode diskusi :
- pemahaman guru akan makna metode diskusi relatif kurang
- para siswa belum terbiasa dalam melakukan diskusi
- memerlukan tambahan waktu bagi penyajian suatu materi
- materi yang dapat didiskusikan relatif sedikit
- didominasi oleh siswa yang pandai
- belum sesuai dengan paradigma pembelajaran yang sedang berlaku
- kendala budaya misal adanya pepatah : “diam adalah emas” dan “tong kosong berbunyi nyaring”
d. Pengembangan alat peraga dan media pendidikan.
Manfaat pengembangan alat peraga dan media pendidikan :
- memberikan variasi kegiatan
- memberikan variasi metode pembelajaran
- memberikan variasi konteks dan suasana pembelajaran
- memperperjelas pemahaman konsep
Hambatan atau kendala pengembangan alat peraga dan media Pendidikan :
- alat peraga tidak terlalu relevan untuk beberapa materi pembelajaran matematika di SMU
- penggunaan alat peraga menyita bayak waktu
- memerlukan kerampilan dan kreativitas guru untuk mengembangkan alat peraga dan media pendidikan
- memerlukan tambahan biaya untuk alat peraga dan biaya yang tinggi untuk pengembangan alat peraga
- memerlukan komitmen yang tinggi bagi sekolah
- belum sesuai dengan paradigma pembelajaran yang berlaku
2. Di dalam usahanya mengembangkan model pembelajaran dapat disimpulkan :
a. Guru masih mengalami kesulitan dalam memenuhi berbagai macam tuntutan akademik siswa.
b. Guru belum mengembangkan skema untuk mendorong siswa berprestasi rendah untuk meningkatkan prestasinya
c. Guru telah berhasil menciptakan kondisi sehingga mendorong siswa belajar secara aktif; namun masih mengalami kesulitan dalam mengembangkan skemanya.
d. Guru telah berhasil menciptakan kondisi untuk mendorong siswa belajar melalui kerjasama; namun masih megalami kesulitan dalam mengembangkan skemanya.
e. Guru telah berusaha mengembangkan metode diskusi, problem solving dan latihan dan pemberian tugas; namun masih mengalami kesulitan dalam mengembangkan skemanya.
f. Secara umum, guru telah berusaha mengembangkan metode pembelajaran sesuai dengan tujuan penelitian tindakan ; namun guru mengalami kesulitan teknis, akademik dan fundamental. Kesulitan teknis guru dalam mengembangkan metode pembelajaran yaitu belum tersediannya alat-alat atau fasilitas pembelajaran ang diperlukan. Kesulitan akademik guru dalam mengembangkan metode pembelajaran adalah belum sesuainya persepsi guru tentang model pembelajaran matematika dengan makna model pembelaaran sesuai dengan teori yang diacu.
Saran-saran dapat diberikan agar guru mampu mengembangkan model-model pembelajaran matematika secara optimal adalah sebagai berikut :
1. Saran bagi guru
a. Guru dapat melakukan usaha-usaha peningkatan kualitas pembelajaran matematika melalui pengembangan cara/metode untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan/tuntutan akademik siswa, mendorong siswa belajar secara aktif, mendorong siswa belajar secara bekerjasama, dan mencoba memulai mengembangkan alat bantu pembelajaran menggunakan teknologi modern.
b. Dalam mengembangkan metode pembelajarannya, kepada guru disarankan :
• merencanakan lingkungan belajar matematika
• merencanakan kegiatan matematika
• mengembangkan peranan guru
• mengatur waktu kepada siapa dan kapan melakukan kegiatan matematika bersama/tidak bersama siswa
• mengamati kegiatan siswa
• mengevaluasi diri sendiri
• menilai pengertian, proses, ketrampilan, fakta dan hasil
• menilai hasil dan memonitor kemajuan siswa
• bekerjasama dengan guru yang lain atau MGMP
2. Saran bagi Sekolah (Kepala Sekolah)
Sekolah (Kepala Sekolah) hendaknya :
a. mendorong suasana yang kondusif agar para guru dapat mengembangkan kreatifitasnya dalam mengembangkan model pembelajarannya.
b. mendorong keanekaragaman sumber dan metode pembelajaran
c. mengubah peran Kepala Sekolah dari fungsi pengawasan ke fungsi layanan dan kerjasama
d. menciptakan kondisi agar para guru maupun siswa dapat memberikan inisiatif
e. mendorong guru dan siswa agar bersikat mandiri dan mengembangkan etika serta sikap saling menghargai
f. memberi kesempatan kepada guru untuk berpartisipasi aktif dalam melakukan revisi KTSP
g. melibatkan orang tua/murid untuk berpartisipasi dalam pengembangan program pembelaaran
h. menjalin kerjasama dengan lembaga kependidikan yang lain agar dapat diperoleh wawasan tentang perlunya inovasi pendidikan matematika
i. mengembangkan evaluasi pembelajaran yang berorientasi kepada proses dan hasil
j. mengusahakan kelengkapan peralatan dan fasilitas pendidikan
3. Saran bagi pemerintah
a. memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan program-program pembelajaran sesuai dengan karakteristik sekolah dan masyarakat disekitarnya
b. melakukan restrukturisasi sistem pendidikan agar sistem pendidikan yang dikembangkan mampu menyerap aspirasi/kondisi lokal
c. mendorong dan menfasilitasi agar selalu dapat dilakukan review terhadap KTSP
d. melanjutkan program sertifikasi guru
4. Saran bagi lembaga perguruan tinggi kependidikan (LPTK)
a. mengembangkan LPTK sebagai fungsi inovatif dalam bidang kependidikan (matematika)
b. mempelopori pembaharuan bidang pendidikan
c. memberi saran kepada pemerintah tentang pembaharuan kurikulum dan sistem pendidikan
d. mengembangkan program-program pendidikan berdasarkan hasil penelitian dan kajian-kajian teoritis
e. menjalin kerjasama dengan sekolah dalam melakukan inovasi kependidikan
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan (1995, 1997, 1999, 2002, 2004) menunjukkan bahwa sebagaian besar guru matematika masih mengimplementasikan pembelajaran matematika tradisional, yaitu pembelajaran matematika dengan mengandalkan metode tunggal ekspositori dengan siklus: menjelaskan, memberi contoh, mengajukan pertanyaan dan memberi tugas secara klasikal. Dengan metode demikian maka guru matematika mengalami kesulitan dalam : 1) melayani berbagai kebutuhan/tuntutan siswa dalam belajar matematika, 2) mendorong siswa berprestasi rendah untuk meningkatkan prestasi belajarnya, 3) mendorong siswa belajar secara aktif, 4) menggunakan dan mengembangkan alat peraga matematika dan 5) mendorong siswa belajar melalui kerjasama.
Melalui penelitian tindakan, peneliti memperoleh kesempatan untuk mengembangkan metode pembelajaran agar dapat mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut di atas. Pengembangan metode pembelajaran mengacu kepada rekomendasi Cockroft Report (1982, para 243, hal 198) yang menyatakan bahwa pada setiap level pembelajaran matematika hendaknya merupakan wahana bagi guru untuk dapat mewujudkan pemilihan satu atau beberapa metode secara dinamis dan fleksibel : (1)Metode Eskposisi, (2)Metode Diskusi, (3)Metode Latihan dan Pemberian Tugas, (4) Metode Penemuan, (5) Metode Problem Solving, (6) Penggunaan Alat Peraga
Melalui siklus kegiatan diagnosis, terapeutik dan perbaikan, Penelitian Tindakan ini bertujuan untuk mengembangkan metode pembelajaran matematika yang dapat memenuhi kebutuhan/tuntutan berbagai macam tuntutan akademik siswa, meningkatkan prestasi belajar, mendorong siswa belajar secara aktif, mengembangkan alat peraga dan mendorong kerjasama. Penelitian tindakan ini membatasi dirinya dalam lingkup gaya mengajar guru yang direfleksikan oleh model pembelajaran yang dikembangkan pada suatu kelas tertentu pada kurun waktu yang telah ditentukan pula. Dengan demikian konteks pembelajaran yang bersifat tetap adalah ruang kelas, siswa dan guru itu sendiri; sedangkan konteks pembelajaran yang bersifat berubah adalah model pembelajaran, gaya mengajar dan aspek pembelajaran yang lainnya termasuk materi, sumber ajar, waktu pelaksanaan pembelajaran.
Penulis menyimpulkan bahwa pengembangan model pembelajaran matematika melalui penelitian tindakan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan pelayanan guru terhadap para siswanya memberikan dampak positif, namun dalam pelaksanaannya mengalami hambatan baik teknis, akademis, maupun sosio-kultural.
1. Usaha guru dalam memenuhi berbagai macam tuntutan akademik siswa, mendorong siswa berprestasi rendah untuk meningkatkan prestasinya, mendorong siswa belajar secara aktif, dan mendorong siswa belajar melalui kerjasama, dapat dilakukan dengan :
a. Mengembangkan Lembar Kerja Siswa (LKS)
Manfaat pengembangan LKS :
- memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja secara mandiri
- memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama
- memberi kesempatan kepada guru untuk mengembangkan berbagai macam kegiatan
- menyediakan dokumen yang bermanfaat bagi siswa dan memberikan alternatif sumber materi pembelajaran
- memberi kesempatan kepada siswa melakukan kegiatan penemuan
Hambatan atau kendala pengembangan LKS :
- menambah beban pekerjaan guru
- memerlukan tambahan biaya
- memerlukan pengetahuan dan ketrampilan guru
- memerlukan kekontinuan pengembangannya
- memerlukan teknik pengelolaan/managemen LKS
- memerlukan dukungan sekolah agar dapat dilaksanakan secara komprehensif
b. Pembentukan kelompok belajar
Manfaat pembentukan kelompok belajar :
- mendorong siswa melakukan diskusi
- memberi konteks dan suasana belajar yang bervariasi
- memberi kesempatan kepada guru untuk mengembangkan berbagai macam kegiatan
- memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama
c. Pengembangan metode diskusi kelas/kelompok
Manfaat pengembangan metode diskusi :
- memberi kesempatan kepada siswa untuk berinisiatif
- memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir dan menemukan metode yang berbeda
- melatih siswa menerima pendapat orang lain
- memperdalam pemahaman suatu konsep
- menghubungkan konsep satu dengan yang lainnya
- memberi masukan kepada guru
Hambatan atau kendala dalam pengembangan metode diskusi :
- pemahaman guru akan makna metode diskusi relatif kurang
- para siswa belum terbiasa dalam melakukan diskusi
- memerlukan tambahan waktu bagi penyajian suatu materi
- materi yang dapat didiskusikan relatif sedikit
- didominasi oleh siswa yang pandai
- belum sesuai dengan paradigma pembelajaran yang sedang berlaku
- kendala budaya misal adanya pepatah : “diam adalah emas” dan “tong kosong berbunyi nyaring”
d. Pengembangan alat peraga dan media pendidikan.
Manfaat pengembangan alat peraga dan media pendidikan :
- memberikan variasi kegiatan
- memberikan variasi metode pembelajaran
- memberikan variasi konteks dan suasana pembelajaran
- memperperjelas pemahaman konsep
Hambatan atau kendala pengembangan alat peraga dan media Pendidikan :
- alat peraga tidak terlalu relevan untuk beberapa materi pembelajaran matematika di SMU
- penggunaan alat peraga menyita bayak waktu
- memerlukan kerampilan dan kreativitas guru untuk mengembangkan alat peraga dan media pendidikan
- memerlukan tambahan biaya untuk alat peraga dan biaya yang tinggi untuk pengembangan alat peraga
- memerlukan komitmen yang tinggi bagi sekolah
- belum sesuai dengan paradigma pembelajaran yang berlaku
2. Di dalam usahanya mengembangkan model pembelajaran dapat disimpulkan :
a. Guru masih mengalami kesulitan dalam memenuhi berbagai macam tuntutan akademik siswa.
b. Guru belum mengembangkan skema untuk mendorong siswa berprestasi rendah untuk meningkatkan prestasinya
c. Guru telah berhasil menciptakan kondisi sehingga mendorong siswa belajar secara aktif; namun masih mengalami kesulitan dalam mengembangkan skemanya.
d. Guru telah berhasil menciptakan kondisi untuk mendorong siswa belajar melalui kerjasama; namun masih megalami kesulitan dalam mengembangkan skemanya.
e. Guru telah berusaha mengembangkan metode diskusi, problem solving dan latihan dan pemberian tugas; namun masih mengalami kesulitan dalam mengembangkan skemanya.
f. Secara umum, guru telah berusaha mengembangkan metode pembelajaran sesuai dengan tujuan penelitian tindakan ; namun guru mengalami kesulitan teknis, akademik dan fundamental. Kesulitan teknis guru dalam mengembangkan metode pembelajaran yaitu belum tersediannya alat-alat atau fasilitas pembelajaran ang diperlukan. Kesulitan akademik guru dalam mengembangkan metode pembelajaran adalah belum sesuainya persepsi guru tentang model pembelajaran matematika dengan makna model pembelaaran sesuai dengan teori yang diacu.
Saran-saran dapat diberikan agar guru mampu mengembangkan model-model pembelajaran matematika secara optimal adalah sebagai berikut :
1. Saran bagi guru
a. Guru dapat melakukan usaha-usaha peningkatan kualitas pembelajaran matematika melalui pengembangan cara/metode untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan/tuntutan akademik siswa, mendorong siswa belajar secara aktif, mendorong siswa belajar secara bekerjasama, dan mencoba memulai mengembangkan alat bantu pembelajaran menggunakan teknologi modern.
b. Dalam mengembangkan metode pembelajarannya, kepada guru disarankan :
• merencanakan lingkungan belajar matematika
• merencanakan kegiatan matematika
• mengembangkan peranan guru
• mengatur waktu kepada siapa dan kapan melakukan kegiatan matematika bersama/tidak bersama siswa
• mengamati kegiatan siswa
• mengevaluasi diri sendiri
• menilai pengertian, proses, ketrampilan, fakta dan hasil
• menilai hasil dan memonitor kemajuan siswa
• bekerjasama dengan guru yang lain atau MGMP
2. Saran bagi Sekolah (Kepala Sekolah)
Sekolah (Kepala Sekolah) hendaknya :
a. mendorong suasana yang kondusif agar para guru dapat mengembangkan kreatifitasnya dalam mengembangkan model pembelajarannya.
b. mendorong keanekaragaman sumber dan metode pembelajaran
c. mengubah peran Kepala Sekolah dari fungsi pengawasan ke fungsi layanan dan kerjasama
d. menciptakan kondisi agar para guru maupun siswa dapat memberikan inisiatif
e. mendorong guru dan siswa agar bersikat mandiri dan mengembangkan etika serta sikap saling menghargai
f. memberi kesempatan kepada guru untuk berpartisipasi aktif dalam melakukan revisi KTSP
g. melibatkan orang tua/murid untuk berpartisipasi dalam pengembangan program pembelaaran
h. menjalin kerjasama dengan lembaga kependidikan yang lain agar dapat diperoleh wawasan tentang perlunya inovasi pendidikan matematika
i. mengembangkan evaluasi pembelajaran yang berorientasi kepada proses dan hasil
j. mengusahakan kelengkapan peralatan dan fasilitas pendidikan
3. Saran bagi pemerintah
a. memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan program-program pembelajaran sesuai dengan karakteristik sekolah dan masyarakat disekitarnya
b. melakukan restrukturisasi sistem pendidikan agar sistem pendidikan yang dikembangkan mampu menyerap aspirasi/kondisi lokal
c. mendorong dan menfasilitasi agar selalu dapat dilakukan review terhadap KTSP
d. melanjutkan program sertifikasi guru
4. Saran bagi lembaga perguruan tinggi kependidikan (LPTK)
a. mengembangkan LPTK sebagai fungsi inovatif dalam bidang kependidikan (matematika)
b. mempelopori pembaharuan bidang pendidikan
c. memberi saran kepada pemerintah tentang pembaharuan kurikulum dan sistem pendidikan
d. mengembangkan program-program pendidikan berdasarkan hasil penelitian dan kajian-kajian teoritis
e. menjalin kerjasama dengan sekolah dalam melakukan inovasi kependidikan
Subscribe to:
Posts (Atom)